Mohon tunggu...
Khalid Wahyudin
Khalid Wahyudin Mohon Tunggu... -

Hanya seorang guru sekolah gunung yang tengah berpacu dengan asa terindahnya. Guru SMP Negeri 2 Pagerwojo, sekolah gunung yang terletak di anak Pegunungan Argo Wilis, sekitar 30 km arah Barat Kota Tulungagung, Jawa Timur. Belajar bermimpi menuliskan banyak makna kehidupan di Kompasiana. Saat ini, tengah menimba setetes ilmu yang dititipkan Sang Khalik di MM UGM Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Ibu Inspirasi Guru

27 Desember 2012   01:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:59 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sejarah hari Ibu sarat makna perjuangan mengentaskan bangsa dari penindasan dan buta aksara. Kepedulian terhadap nasib kaum perempuan, juga keyakinan terhadap pendidikan sebagai jalan perubahan, menjadi nafas pergerakan perempuan di masa itu. Sebagai penghargaan, tak heran jika 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Sejarah mencatatnya sebagai hari gemilang saat kaum perempuan berkumpul mendeklarasikan perjuangan dalam Kongres Perempuan I di kota ini pada 1928 silam.

Kini, semangat itu menitis dalam kesadaran tanggung jawab ibu sebagai penentu arah masa depan anak-anaknya untuk mengukir prestasi gemilang generasi bangsa. Karena perempuan bukan hanya ibu bagi anak-anaknya, juga ibu bagi bangsanya. Bisa jadi, di sinilah momentum hari Ibu itu menemukan wujud kesejatiannya.

Ibu, guru dari segala guru, seperti sekolah besar yang mengajarkan banyak hikmah kehidupan. Hari ibu tak hanya mengungkap memori indah perjuangan ibu, namun titik balik kesadaran arti pendidikan yang meraga dan berjiwa. Mendidik tak hanya agar anak sehat dan cerdas, tapi berkarakter budi dan mulia. Ibu mengajarkan itu kepada kita, mendidik sepenuh hati tanpa pamrih, penuh kasih sayang dan pengertian. Tak siapa pun meragukan hal itu. Sadar atau tidak, peristiwa ini memberikan inspirasi pendidikan yang lebih bermakna dan manusiawi, utamanya bagi guru.

Guru tak ubahnya ibu bagi anak didiknya. Bukan sekadar ladang ilmu, juga tempat berteduh dari terik pancaroba dunia yang semakin membakar dari hari ke hari. Pancaroba yang menjelma dalam wujud tantangan globalisasi, teknologi, dan pertarungan sosial-budaya. Karena guru adalah tempat bertanya, menimba analisa, teman diskusi yang menyenangkan, bahkan menumpahkan keluh kesah. Bagaimana ia tidak memiliki arti penting di mata anak didiknya? Guru, inspirasi dan juga energi yang menggerakkan semangat pantang menyerah anak didiknya dalam berkarya dan berinovasi. Inilah gambaran fisiologi guru sejati.

Sayangnya, di tengah kehidupan berbangsa dewasa ini, masih saja ada guru yang belum menyadari makna-makna mulia itu. Tugas mendidik tak ubahnya seperti transaksi bisnis berhitung untung dan rugi. Makna dedikasi dan pengabdian seperti kehilangan muka. Kalau pun harus menjalankan kewajiban, hampir-hampir itu tak menyentuh hati dan jiwa anak didiknya. Pendidikan pun berjalan hambar seperti masakan tanpa garam. Mendidik hanya periodic; mengajar seperti kejar setoran; membimbing dan mengarahkan sekadar berharap imbalan; melatih dan menilai hanya agar uang sertifikasi tak tergadai; mengevaluasi sekadar syarat administrasi bukan panggilan nurani. Sebuah ironi guru memaknai tugas utamanya dalam bingkai PP No. 74 Tahun 2008.

Persoalan zaman begitu rumit dan sulitnya seperti mencari jarum di malam gelap. Guru semestinya menjadi pelita di malam gelap bagi anak didiknya. Kesempatan mendampingi anak didik dalam belajar menjadi hari menyenangkan; kelelahan dalam membimbing dan mengarahkan menjadi jalan pembuka pintu surga. Kedekatan dengan anak didiknya bisa mungkin melebihi ikatan darah, dalam kasih sayang dan pengorbanan. Kalau bagi ibu, surga ada di bawah telapak kakinya. Bagi guru, mungkin surga ada di telapak tangannya. Sejatinya, hanya Allah yang tahu.

Maka, momentum hari Ibu bisa menjadi jalan pacu guru belajar banyak bagaimana ibu menjadi guru dengan menjelmakan surga di telapak tangannya. Menjadi guru yang mendidik dan mengabdi demi terwujudnya generasi yang saleh bagi bangsa ini. Di telapak tangan guru, sangat mungkin itu terjadi!

*) Guru SMPN 2 Pagerwojo, Tulungagung, Jatim, sedang tugas belajar di MM UGM Yogyakarta.

Dimuat pada Surat Kabar Harian “Kedaulatan Rakyat” Yogyakarta, Sabtu Kliwon, 22 Desember 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun