Solusi atas Pengangguran di Industri Migas
Untuk dapat meningkatkan total investasi sektor migas tentunya Indonesia harus menjadikan iklim investasinya menjadi semenarik mungkin bagi investor. Parameter ketertarikan investor untuk melakukan investasi di suatu negara dapat dinilai melalui Policy Perception Index. Bila angka PPI mendekati 100 maka negara tersebut semakin menarik bagi investor untuk melakukan investasi.Â
Namun bila PPI mendekati 0 maka negara tersebut semakin tidak diminati oleh investor. Menurut Survei yang dilakukan oleh Global Petroleum Survey, Indonesia memiliki angka PPI sebesar 35,02. Buruknya angka PPI Indonesia ini disebabkan oleh faktor utama yakni panjang dan rumitnya birokrasi di Indonesia dalam bidang perijinan pengembangan suatu lapangan. Ada banyak sekali ijin yang harus diurus oleh suatu perusahaan dalam mengembangkan suatu lapangan eksplorasi, dan setiap ijin bisa memakan waktu yang sangat lama bahkan mencapai angka tahunan.
Pada tahun 2017 lalu Menteri ESDM Ignasius Jonan telah mengeluarkan sebanyak 42 Permen selama 2017. Ditengarai Permen ESDM justru menyebabkan investor migas enggan untuk berinvestasi di Indonesia, bahkan beberapa investor hengkang dari Indonesia.
Dari berbagai Permen ESDM itu, beberapa Permen tumpang tindih dengan Permen Kementerian lainnya, yang berpotensi menghambat investasi di sektor migas. Tidak berlebihan kalau Presiden Joko Widodo, dalam rapat kabinet terbatas, menegur Menteri ESDM, lantaran terlalu banyak menerbitkan Permen ESDM yang menghambat investasi migas.
Permen ESDM 34/2017 tentang perizinan investasi migas dan Permen ESDM 42/2017 tentang pengawasan pengusahaan sektor migas nyata-nyata tumpangtindih dengan kewenangan Menteri BUMN.
Permen ESDM 42/2017 mengatur perlunya persetujuan Menteri ESDM dalam perubahan kepemilikan saham, pengalihan saham, dan penetapan kepengurusan perusahaan, termasuk perubahan direksi dan komisaris. Bagi investor, adanya tumpangtindih kewenangan dua kementerian tersebut menimbulkan hambatan investasi, yang memicu iklim investasi di sektor migas semakin tidak kondusif.
Demikian juga dengan Permen ESDM 8/2017, yang mewajibkan investor migas menggunakan skema gross split, telah menimbulkan keraguan bagi investor migas. Gross split merupakan bentuk kontrak migas baru yang menetapkan bagi hasil antara pemerintah dengan investor berdasarkan hasil produksi bruto migas. Dalam skema gross split, semua biaya, capital expenditure dan operational expenditure, serta risiko ditanggung oleh investor. Cost recovery, yang selama ini ditanggung oleh pemerintah, telah dihapuskan dalam skema gross split.
Dengan kondisi demikian tentunya Indonesia harus mencari solusi atas permasalahan yang ada untuk mendongkrak angka PPI. Angka Rp 2200 triliun tentunya bukan jumlah yang sedikit. Pemangkasan birokrasi sektor migas diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia kedepannya.
Penutup
Investasi di sektor migas yang terus menurun akan membuat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi semakin berkurang. Â Bila kegiatan di sektor minyak dan gas berkurang maka perusahaan cenderung mengurangi tenaga kerja yang membuat lulusan teknik dibidang migas tidak terserap dengan baik. Â Terus turunnya investasi diakibatkan oleh PPI Indonesia yang rendah sehingga perusahaan asing tidak tertarik untuk berinvestasi. Â Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia harus memperbaiki iklim investasi agar PPI naik dan menjadi daya tarik untuk mendatangkan investor. Â Setelah investasi di sektor migas meningkat maka secara otomatis tenaga kerja yang dibutuhkan meningkat. Â Hal ini akan mengurangi tingkat pengangguran di sektor minyak dan gas. Â