Melodi Nusantara : Keindahan Angklung dalam Kebudayaan IndonesiaÂ
UAS Komunikasi Antar Budaya
Ilmu Komunikasi -Universitas Muhammadiyah Jakarta
Khalda Khairunnisa Fitriani 23010400103
Nabila Fitriani 2301040099,
Alma Zahra Tanjung 23010400151
Humairah Azzahra 23010400125
Annida Aqiilah 23010400122
Alat musik angklung diyakini sudah ada sebelum Indonesia dipengaruhi agama Hindu. Era Hindu sendiri dimulai sekitar abad ke-5 Masehi, dan meskipun dikenal di Jawa sebagai alat musik tradisional Jawa Barat, Â alat musik angklung juga ada di pulau Sumatera Selatan dan Kalimantan, menurut Jaap Kunst of Music. Sejarah penggunaan angklung di Jawa Barat sendiri tercatat pada masa Kerajaan Sunda, Â sekitar abad ke-12 hingga ke-16. Pada masa ini, angklung dimainkan untuk memuja Nyai Sri Pohachi sebagai lambang Dewi Sri (Dewi padi atau kesuburan). Menurut sejarah yang tercatat di Kidung Sunda, Â alat musik bernama angklung juga dimainkan bersamaan dengan doa untuk merangsang semangat prajurit pada masa perang.
Meski seiring berjalannya waktu, angklung masih digunakan sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan. Pasca deklarasi, pada perundingan Lingarjati tahun 1946, pertunjukan Angklung dibawakan oleh tokoh nasional Deen Soetinya. Dehn Soetinya dikenal dengan julukan "Bapak Angklung Indonesia". Ia berhasil menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis sehingga  bisa dimainkan berbarengan dengan alat musik Barat lainnya. Usahanya melestarikan Angklung dilanjutkan oleh muridnya Ujo Ngaragena. Udjo Garregna dikenal sebagai pendiri Saung Angklung Udjo, salah satu objek wisata seni dan budaya yang mewakili Bandung. Karena popularitasnya di luar negeri, UNESCO menetapkan Angklung sebagai situs warisan budaya yang harus dilestarikan.
Angklung merupakan alat musik melodis yang menghasilkan bunyi apabila digoyang. Bunyi tersebut berasal dari benturan antara tabung dan bilah bambu yang dirangkai sedemikian rupa.