Lebih dari tiga purnama, hati yang gundah nan kelam terus tenggelam bersama gelapnya rasa.Â
Senyum yang seakan telah tiada, tertawa yang seakan terus tenggelam dengan tangisan dan kedewasaan berfikir yang terus terkikis oleh kekerdilan penguasa rasa, terus menghantui seluruh makna dalam cinta.Â
Lebih dari tiga purnama tak lagi tampak cerahnya senyuman, bagaikan sang mentari yang tenggelam oleh mendung dan seakan tak merdeka dan ditelan oleh kacaunya rasa.Â
Gurat-gurat cekungan risau terus tergambar pada sebuah tatanan semiotik yang tak lagi bisa disembunyikan oleh kuas pada kanvas sang pelukis makna.Â
Namun, kini semua telah berubah, guratan-guratan kelam yang tergambar oleh gelapnya langit tak beraturan kini berubah menjadi sinaran yang cerah bak lukisan apik dengan senyuman sang pelukis.Â
Gelap dan kelam, semunya berubah menjadi cerah bermakna dan sinaran sang mentari kembali menghiasi langit kelam sebagai bukti selesainya sebuah tangisan-tangisan bagaikan amukan sang alam yang tak semestinya ditangisi dan disesalkan.Â
Kini 'Matahari' itu kembali bersinar, dihiasi burung-burung kecil petanda bahagia penikmat cahaya terang yang terus berkicau lantang dengan rasa haram untuk sebuah kelirihan.Â
Cahaya yang selama ini redup dibalik dikegelapan, kini berubah menjadi sebuah cahaya cerah nan gagah sebagai lambang kebahagiaan yang newakilkan seberkas sinaran ketulusan tanpa keterpaksaan.Â
Brebes, 17 Mei 2020
KBC-24 | Kompasianer Brebes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H