Halilintar menyapa, diiringi derasnya langit menangis menyapa genting. Jeritan sang angin menyambar-nyambar didamainya siang yang seketika berubah mencekam.
Silih berganti, turut menurut awang menangis membanjiri tanah ibu pertiwi. Tanah yang subur penuh dengan cinta, seketika berubah tertutup air bah.
Air yang awalnya begitu tenang, menjadi kelam dan menghantam seluruh yang menahan. Selokan-selokan yang penuh dengan sampah, menjadi saksi kemarahan sang air kedamaian.
Namun, kemarahan itu pun berubah menjadi pelampiasan oleh sang kapak yang tak lagi tajam terhujam kepenutup selokan. Namun sayang, kapak ku tak lagi tajam tuan.
Kapak penuh kenangan, yang terbeban dengan seluruh karat, seluruh peluh dan penuh dengan cerita bersama sang tuan.
Ya, sang Tuan Azam yang terus menghujamkan sang Kapak yang tak lagi tajam. Kapak itu tak lagi tajam, Tuan Azam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H