Pendahuluan
Korupsi adalah salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai kejahatan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang besar tetapi juga menghancurkan fondasi sosial, moral, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Di Indonesia, korupsi telah menjadi isu sistemik yang merasuki hampir semua sektor, mulai dari pemerintahan, pendidikan, hingga dunia usaha. Hal ini menjadikan pemberantasan korupsi sebagai tantangan yang sangat kompleks dan memerlukan pemahaman mendalam tentang akar penyebabnya serta pendekatan yang strategis untuk mengatasinya.
Dalam memahami korupsi sebagai fenomena yang kompleks, teori dan pendekatan ilmiah memberikan wawasan yang penting. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan yang ditawarkan oleh Robert Klitgaard, seorang ekonom dan pakar tata kelola, yang merumuskan formula sederhana namun kuat untuk memahami penyebab korupsi:
C = M + D - A
di mana korupsi (corruption) terjadi karena adanya kekuasaan monopoli (monopoly power), keleluasaan tanpa akuntabilitas (discretion), dan minimnya akuntabilitas (accountability). Formula ini memberikan gambaran bahwa korupsi terjadi ketika individu atau kelompok memiliki kekuasaan yang besar, keleluasaan dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan, serta tidak adanya mekanisme yang memastikan mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Selain pendekatan Klitgaard, Jack Bologna, seorang pakar forensik keuangan, juga memberikan perspektif yang relevan dalam memahami korupsi. Melalui model segitiga kejahatan atau fraud triangle, Bologna menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena kombinasi tiga faktor utama: kesempatan (opportunity), tekanan (pressure), dan rasionalisasi (rationalization). Tekanan dapat muncul dari kebutuhan finansial, sementara kesempatan timbul akibat lemahnya sistem kontrol atau pengawasan. Rasionalisasi terjadi ketika pelaku meyakinkan dirinya bahwa tindakan tersebut dapat dibenarkan. Perspektif ini membantu mengidentifikasi bagaimana individu tergoda untuk melakukan tindakan korupsi.
Pendekatan Klitgaard dan Bologna memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami penyebab mendasar dari kasus-kasus korupsi di Indonesia. Ketika formula Klitgaard menggarisbawahi pentingnya reformasi struktural dalam tata kelola, segitiga Bologna mengingatkan kita akan pentingnya aspek psikologis dan kontrol internal untuk mencegah korupsi. Dalam konteks Indonesia, kedua pendekatan ini saling melengkapi, menawarkan sudut pandang yang holistik untuk mengurai akar masalah yang memicu praktik korupsi yang merajalela.
Tulisan ini akan mengeksplorasi penerapan penyebab korupsi di Indonesia dengan pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Dengan mengintegrasikan kedua model ini, diharapkan kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas korupsi serta menemukan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantasnya. Pendekatan ini tidak hanya akan menyoroti penyebab utama korupsi, tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana Indonesia dapat menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh Kasus Korupsi di Indonesia: Kasus E-KTP
1. Latar Belakang Kasus: Kasus korupsi yang melibatkan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) adalah salah satu kasus korupsi besar yang terjadi di Indonesia. Proyek ini dimulai pada tahun 2011 dengan tujuan untuk membuat sistem perekaman data kependudukan yang lebih modern dan efisien. Namun, proyek ini menjadi salah satu contoh paling mencolok dari penyalahgunaan dana negara yang melibatkan banyak pejabat tinggi dan anggota legislatif.
Pada tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengungkap skandal besar ini, yang melibatkan anggaran negara sebesar Rp 5,9 triliun. Proyek ini ternyata diselewengkan oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), anggota DPR, dan perusahaan swasta yang terlibat dalam pengadaan. Beberapa nama besar seperti Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, terlibat dalam kasus ini dan dihukum atas perannya dalam penggelapan dana dan suap terkait pengadaan E-KTP.