Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kisah Anak Autis: Aku, Mereka, dan Anak-Anak Autis (1)

22 September 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:04 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_265303" align="alignleft" width="275" caption="Foto diambil dari www.matanews.com"][/caption] Tidak ada seorang ibu yang ingin memiliki anak berkebutuhan khusus. Jujur, saya pun tidak. Tapi jika Allah menakdirkan, kita tidak bisa menolaknya. Seperti halnya ibu-ibu yang lain, saya pasti akan mengalami "masa depresi" ketika harus menerima takdir tersebut. Berikutnya, ada 3 kemungkinan yang bisa terjadi. Saya akan menjaga amanah tersebut dengan sepenuh hati dan jiwa karena ikhlas atas takdir Allah. Atau saya akan menjaganya dengan apa adanya. Atau saya akan menjaganya dengan mencari "pelarian"... Saya tidak tahu akan termasuk yang mana. Saya tentu berharap tidak akan berada pada keadaan untuk memilih menjadi seperti yang mana... Saya "tertarik" dengan anak-anak autis bukan tanpa sebab. Tahun 2004, saya berkenalan dengan seseorang yang memiliki anak autis. Beliau seorang pejabat publik di otoritas keuangan di Jakarta. Kami bersahabat meski usia kami bak seorang ayah dan anak. Banyak cerita tentang, sebut saja,  Bintang. Saya cukup menghayati bagaimana suka duka beliau merawat anak autis. Saya bisa merasakan sedihnya beliau ketika Bintang marah, mengamuk, melempar, mencaci maki, dan meludahi orang lain. Saya ikut meresapi gundahnya beliau ketika Bintang beranjak remaja dan mulai menyukai lawan jenis. Saat-saat itu adalah masa yang cukup sulit bagi beliau. Terlebih ketika beliau harus tersandung kasus yang membuatnya berpisah sekitar 2,5 tahun dengan Bintang. Bintang kian temperamental. Apalagi jika Bintang mengalami penolakan dari anak perempuan yang disukainya. Banyak yang sudah dikisahkan tentang Bintang. Saya merasa Bintang bukan orang lain. Karena begitu ingin mengenalnya, saya berkenalan via Fesbuk. Komunikasi kami sempat cukup intens. Hingga atas permintaan ayahnya, saya terpaksa me-remove Bintang dari pertemanan di Fesbuk. Sejak mengenal Bintang, saya bergabung dengan milis Putera Kembara. Saya ingin sekali belajar bagaimana merawat anak autis. Saya ingin tahu lebih banyak bagaimana kehidupan anak autis. Dari situlah, saya berkesimpulan bahwa: 1. Kekuatan cinta kasih orang tualah yang bisa menyelamatkan masa depan anak-anak autis. 2. Kerjasama yang baik dari Ayah dan Ibulah yang bisa menjadi "road map" bagaimana menjaga dan membesarkan anak-anak autis. Dengan teamwork itulah mereka saling bahu-membahu membuka mata, telinga, dan seluruh inderanya untuk membuat "road map" tersebut. 3. Ibu adalah kunci utama untuk menemukan kespesialan dari anak autis. (Dalam perkembangannya, saya ternyata menemukan bahwa Ibu tak selalu menjadi kunci utama. Ayah ternyata bisa mengambil peran itu). 4. Hanya dari Ibu atau Ayah yang bermental "pejuang" dan memiliki "karakter"-lah yang bisa bertahan dan menjadikan anak-anak autis memiliki kepribadian. (Saya juga melihat, anak-anak autis yang berprestasi ternyata memiliki seorang Ibu yang berpendidikan tinggi, memiliki naluri keibuan yang kuat, dan tangguh). 5. Hanya dari Ibu atau Ayah yang bersedia merawat "24 jam"-lah yang berhasil membuat anak-anak autis memiliki masa depan. Saya tidak bermaksud untuk sok tahu, apalagi sok pintar. Saya pun belum tentu memiliki kesabaran, kebaikan, dan ketangguhan yang lebih baik dan lebih besar dalam merawat anak autis. Saya hanya orang luar dari kehidupan anak-anak autis. Tapi setidaknya saya yakin saya akan tahu, mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang tidak baik dilakukan. Tentang Bintang. Dia banyak bergelimang kemewahan dan kemudahan dari kedua orang tuanya. Bintang selalu sekolah di sekolah internasional dengan seorang guru pendamping pribadi. Saya tidak setuju dengan cara pendidikan seperti itu. Saya merasa, perlu ada sedikit "ketegaan" dari orang tuanya untuk menjadikan Bintang seorang pribadi yang sederhana, bekerja keras, dan mandiri. Saya tidak membayangkan bagaimana jika ayahnya tiada dan terjadi perubahan besar-besaran secara finansial terhadap keluarganya, terutama pada Bintang. Bintang terbiasa dengan perangkat elektronik canggih dan berbagai fasilitas yang membuat hidupnya serba mudah. Entahlah... Saya tidak tahu bagaimana Bintang kini. Ayahnya sudah mulai jarang berkomunikasi dengan saya, meski sesekali tetap menghubungi saya via telpon. Sesekali kami juga masih say hello via email. Keadaanlah yang membuat kami harus seperti ini. Untuk Bintang, saya tetaplah orang lain. Ayah dan ibunya lah yang paling tahu bagaimana seharusnya memperlakukan Bintang. Saya hanya bisa membangun semangat dan keyakinan kepada Ayahnya bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan makhlukNya dengan "kecacatan". Pasti ada yang lebih dari Bintang yang tak dimiliki anak-anak lain... Tahun ini, saya berkenalan kembali dengan seseorang yang memiliki anak autis. Saya terpikat dengan, sebut saja, Perwira, karena kesamaan dirinya dengan Bintang. Dari sinilah, saya akhirnya semakin mengenal dekat Ayahnya. Hmmmfhhh... Jujur saja, saya "geregetan" dengan Ibunya Perwira. Ibunya memilih bekerja daripada "berkorban" untuk menemani Perwira. Sehari-hari, Perwira bersama 2 adiknya yang cantik ditemani seorang pembantu dan neneknya. Perwira baru bertemu Ibu dan Ayahnya, biasanya setelah maghrib. Ketika saya bertanya mengapa Ibunya Perwira tetap bekerja, Ayahnya menjawab bahwa istrinya mungkin khawatir jika suaminya tak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mmm... Meski saya "geregetan" dengan Ibunya Perwira, saya tetap berusaha prasangka baik. Jujur saja, saya ingin tahu sekali berapa sih Ibunya Perwira memperoleh gaji? Saya ingin tahu apakah sebanding gaji yang ia peroleh dengan pengorbanan dari Perwira dalam menghadapi masa depannya. Ada 3 kemungkinan. 1. Penghasilan sang suami memang tidak begitu besar atau tidak sebanyak penghasilan sang istri sehingga istri harus bekerja. Bisa jadi benar, hal inilah yang utama menjadi alasan Ibunya Perwira bekerja. Terlebih merawat anak autis membutuhkan biaya ekstra. 2. Bisa jadi penghasilan sang suami sebenarnya lebih dari cukup, tapi sang istri yang sedikit abai dengan pendidikan karakter anak memilih tetap bekerja. Ditambah lagi dengan pola pikir yang dibangun keluarganya bahwa "perempuan harus bekerja" dan prinsip dirinya "sarjana tidak boleh menganggur" diterjemahkannya secara absolut bahwa ia harus bekerja sebagai karyawan. Berapapun penghasilan yang ia terima. Meski mungkin tak sebanding dengan yang ia korbankan untuk masa depan Perwira. 3. Bisa jadi juga bekerja adalah bentuk "pelarian" dan "perlindungan diri" dari Ibunya Perwira bahwa ia harus mengurus anak seperti Perwira selama 24 jam. Dengan bekerja, ia tidak terbebani untuk selalu mengurus kenakalan dan kebiasaan Perwira yang begitu mudah mengundang murkanya dan menguji kesabaran serta ketabahannya sebagai seorang Ibu. Entahlah. Saya memang hanya orang luar. Tentu gampang untuk saya berkomentar dan memberi kritik. Tapi sungguh, saya bukan tidak ada kerjaan memikirkan hingga menuliskan apa isi hati dan kepala saya ini. Semata karena rasa sayang kepada Bintang juga Perwira, dan juga kepada anak-anaklah yang membuat saya seperti tidak ada kerjaan mengurus anak orang lain. Sungguh, dengan segala kelemahan dan keterbatasan saya, saya menikmati bagaimana membangun karakter, kepribadian, dan mempersiapkan mereka untuk meraih masa depan. Sungguh, pengorbanan kita terbayar tuntas dan lunas ketika melihat anak-anak berprestasi, beribadah dengan baik, dan berbuat kebaikan kepada sesama. Sungguh, Ibu adalah madrasah pertama hingga akhir hayat. Kebanggaan dan kepuasan seorang Ibu tak tergantikan jika bisa mengantarkan buah hatinya meraih dunia dalam genggaman dan akherat dalam hatinya. Sungguh, Ibu seharusnya bukan sekedar hamil, melahirkan, dan menyekolahkan anak. Tapi Ibu sesungguhnya adalah pencetak generasi masa depan. Generasi rabbani. Generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga generasi yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Generasi yang berkepribadian serta berkarakter. Hanya dengan inilah, para Ibu bisa berkontribusi dalam membangun peradaban negeri ini... Bahkan, juga peradaban umat manusia... Bukan hanya untuk dunia, tetapi juga akheratnya... ~~ Teriring doa, rindu, cinta, dan sedikit air mata untuk Bintang dan Perwira~~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun