Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Literasi Media, Menyikapi dari Sisi Berbeda

5 Februari 2017   23:06 Diperbarui: 6 Februari 2017   00:22 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, saya senang dalam setiap memikirkan sesuatu, mengakhirinya dengan penutup ‘How come...’. Seperti halnya ketika beberapa tahun lalu, setiap kali saya presentasi di konferensi dan saya mengenalkan diri sebagai ‘Ibu rumah tangga biasa’, maka akan terpampang sejumlah mimik wajah yang bisa dikira-kira apa yang ada di benaknya dalam menilai saya dengan atribut status tersebut. 

Ya, seperti halnya test the water, mengenalkan diri sebagai ‘Ibu rumah tangga biasa’ dapat menjadi bahan kontemplasi untuk saya berbalik menilai mereka-mereka dalam memposisikan orang-orang yang berstatus Ibu rumah tangga...

Gara-gara kalimat ‘How come...’ pada status saya di sosial media, tiba-tiba saya jadi ingin menulis hoax sebagai komoditas dan like & share sebagai instrumen test the water. Dalam 6 bulan terakhir, terdapat 4 sahabat di jejaring sosial media yang men-japri sebagai respon tentang berita yang saya atau ia share.

Sahabat pertama, ia menanyakan mengapa saya me-link berita tentang sikap sederhana salah satu menteri yang naik transportasi massal yang dinilainya sebagai bentuk dukungan saya kepada pemerintah yang sekarang. Beberapa waktu kemudian, sahabat kedua, menanyakan, eh bukan menanyakan, tetapi mengingatkan bahwa berita yang saya share mengenai prestasi pemerintah yang sekarang itu adalah hoax. Meskipun yang saya link merujuk pada media terkemuka, jelas bukan abal-abal, tetapi ternyata beritanya lebih kepada ‘interpretasi’ dan bukan terjemahan sesuai sumber aslinya dari luar negeri sana (baca: Bloomberg).  

Nah, sahabat ketiga, Desember lalu men-japri saya dengan capture akunnya yang me-link berita tentang aksi ormas ke pusat perbelanjaan yang ia beri komen ‘Gak ada cara lain ta untuk membela Islam... bikin gaduh terus’. Sahabat saya yang pengusaha ini kemudian mengirimkan capture statusnya dengan memberi caption “Ada yang keliru dengan status qu? Menurut Iis salah kah aq?”.

Sahabat keempat, tadi sore ini men-japri menanyakan foto dari status saya di sosial media kemarin sore yang saya beri caption “Mmm... 3 KTP dengan identitas berbeda, tetapi orang yang sama...? How come...” dengan komen terbaru di bawahnya tadi sore yang saya beri link dari sejumlah media yang memberitakan klarifikasi bahwa foto tersebut adalah hoax. Saya sudah mengetahui bahwa foto itu termasuk hoax karena salah satu sahabat yang komen pada status tersebut kemarin malam memberi link klarifikasi dari KPUD DKI. Namun, sahabat saya yang menjapri masih menanyakan apakah saya tahu kalau foto KTP tersebut adalah hoax.

============================

Pada sahabat pertama, saya menjelaskan bahwa saya belajar untuk tidak menyukai atau membenci sesuatu secara berlebihan. Setiap orang pasti punya kelemahan dan kelebihan. Tidak adil bila kita hanya mengkritisi pemerintah, namun tidak mengapresiasi bila pemerintah melakukan sesuatu yang baik. Jika memang ada yang tidak benar dari pemerintah, ya tidak apa-apa mengkritisi. Tetapi jika memang ada hal-hal baik, ya harus berbesar hati juga untuk mengakuinya. Jika sang menteri itu memang menunjukkan sikap kebersahajaan, maka sebagai tokoh publik, tentu saja hal tersebut menjadi teladan. 

Meskipun saya merasa banyak yang ‘berbeda’ dengan pemerintah hari ini, lagi-lagi saya berusaha belajar untuk adil menyikapi untuk tidak berlebihan ketika setuju atau tidak setuju dengan kebijakannya, termasuk ketika suka atau tidak suka dengan kebijakannya. Intinya, ya proporsional. Sepanjang kita meyakini bahwa hal tersebut akan membawa kebaikan sebesar-besarnya untuk bangsa dan negara, maka tentu kita harus mendukung. Dan bila kita meyakini bahwa ada kebijakannya yang kurang benar, ya seharusnya mengkritisi dapat disikapi sebagai upaya untuk memperbaiki kebijakan, jangan diartikan sebagai mencari-cari kesalahan pemerintah....

Pada sahabat kedua, saya memilih bahasa netral bahwa media yang saya rujuk mungkin ‘menginterpretasi’ dan bukan menerjemahkan. Seingat saya, dalam komen terbuka pada status saya tersebut juga saya sampaikan senada. Bila tidak hati-hati memilih kata dalam menyikapi ‘perbedaan’ antara berita di media dengan sumber rujukan aslinya, maka saya yakini dapat menjadi pemantik emosi di hati haters atau lovers yang menjadi teman-teman saya. Maksud saya, memang benar bahwa paparan pada sumber berita asli terdapat perbedaan dengan media-media besar di Indonesia yang mengutipnya. 

Fakta itu ya menyiratkan bahwa ada pemlintiran sehingga menjadi good news bagi kelompok pendukung yang diberitakan tersebut. Jika ternyata berita itu menjadi semi hoax karena ternyata tidak sesuai aslinya, saya kira ya tidak perlu menjadi good news bagi kelompok yang selama ini kontra terhadap yang diberitakan dan tidak perlu seolah menjadi bad news bagi kelompok yang selama ini mendukung. Intinya, yang ingin saya sampaikan, kita tidak bisa menjamin pasti apakah yang kita share adalah hoax atau tidak meski prosedur normatif sudah kita patuhi. Kita mungkin bisa mengeliminir, tetapi kita tidak selalu mampu memastikan karena literasi media tetap punya keterbatasan atas semakin smooth dan complicated-nya industri media. 

Sepanjang kita menyediakan berita penyeimbang atau klarifikasi atas berita yang ternyata semi hoax atau full hoax, saya menilai hal tersebut menjadi bagian dari literasi media. Kadang kita bisa mengetahui sesuatu itu benar setelah kita mengetahui bagaimana salah itu. Terkait dengan sikap dalam menilai good news atau bad news, pada konteks inilah kita sama-sama perlu belajar menahan diri untuk tidak mudah memojokkan mereka yang berseberangan pandangan...

Pada sahabat ketiga, saya menulis balasan agak panjang mengenai statusnya tersebut. Kamu gak salah... Kamu juga punya hak menyuarakan hati dan pikiran. Situasi beberapa bulan ini di sosmed memang sensitif. Mungkin juga sudah mulai puncaknya. Kalau aku pribadi, aku sedih baca statusmu... Tapi aku gak bisa komen yang nge-judge kamu karena kita berbeda cara pandang... Sama, aku juga menghindari perdebatan. Makanya hati-hati menulis status meski kadang gemes... Dan kita memang harus belajar berbesar hati untuk tidak memperbesar perbedaan cara pandang agar kita tdk terpecah belah... Aku percaya kamu bukan tipikal orang yg membabi buta menyerang ormas tersebut

Aku juga bukan orang yg membabibuta membela ormas tersebut. Aku yakin ormas tersebut juga mungkin ada oknum di dalamnya. Mereka juga bisa salah dalam bersikap. Isinya ormas tersebut kan manusia juga, bukan malaikat. Tapi, ormas tersebut juga banyak menolong masyarakat kan.... Ketika ada bencana, mereka terdepan... Ketika ummat Islam didzalimi, mereka juga terdepan... Dan ketika kita sibuk dengan rutinitas, mereka masih meluangkan untuk mikirin ummat Islam. Jika diantara cara-caranya ada yg kurang baik atau kurang pas dengan hati kita, ya harus kita akui. Tapi juga kita harus mau mengakui kebaikan2nya...”.

Obrolan saya dengan sahabat saya ketiga dilanjutkan dengan capture komen-komen pedas dari jejaringnya pada statusnya. “Yang repot ngadepin sahabat2 yang begini ini Is. Gak tahu ke-Islamannya, eh udah menilai seseorang belum dapat hidayah segala”. Saya kemudian membalas “Yang sabar.. Kamu gemes sama mereka... Mereka juga aslinya gemes sama kamu...”. Jawabnya, “Iis kok tahu?”. Sahut saya, “Laaaah, kan aku bilang kalau aku juga sedih baca statusnya kamu. Artinya, posisiku sama dengan mereka. Saking menyikapinya berbeda. Aku sama kamu beda pandangan, tapi kita bisa ngobrol enak kan...”. Di akhir percakapan, sahabat saya menutup dengan “Udah capek berdebat, Is. Di ranjang aja berdebat. Istriku pun sejalan sama Iis. Hehehe...”. Saya pun menutup percakapan dengan “I do love her”.

Pada sahabat keempat, saya menyampaikan agar ia membaca komen-komen yang hadir di status yang saya buat kemarin sore tersebut. Salah satu komen sudah menjelaskan klarifikasi dari KPUD DKI mengenai foto hoax tersebut. No defense. It was clear. Saya meyakini sahabat saya hanya membaca caption, tidak utuh dengan obrolan yang merespon bahwa foto tersebut adalah hoax

Saya juga menyampaikan ketika seseorang men-share berita, itu tidak selalu berarti orang tersebut mendukung atau punya misi atas berita tersebut meski kebanyakan mungkin memang menyiratkan demikian. Namun, ada kalanya seseorang men-share berita, terlepas ternyata itu hoax atau tidak, adalah dalam posisi netral karena menganggap penting untuk di-share, dipikirkan, didiskusikan dengan harap teman-teman di jejaringnya dapat memberi informasi lebih yang mencerahkan atau untuk dicarikan solusi. Pada konteks inilah, saya biasanya menyertakan embel-embel kalimat ‘Mmmm...’ atau ‘How come...’. 

Namun demikian, yang beberapa kali terjadi, ‘How come...’ saya berujung pada seolah-olah bahwa saya membenarkan berita tersebut atau membela atau menolak tokoh yang diberitakan. Ya, bergantung pada sahabat saya yang menilai tersebut berada pada pihak atau posisi mana dalam menyikapi berita tersebut sehingga berkorelasi dengan apa yang ia akan nilai dari kalimat ‘How come...’ saya. Ternyata ‘How come...’ saya menjadi seperti instrumen test the water yang dapat menjadi bahan kontemplasi untuk saya berbalik menilai bagaimana teman-teman saya menilai sesuatu. Tapi, syukurlah saya mengenal baik teman-teman yang men-japri saya sehingga kami tetap bisa mengobrol dengan enak...

Btw, sahabat saya keempat ini ternyata mensyukuri bahwa banyak yang men-share foto hoax 3 KTP beridentitas berbeda dengan foto sama tersebut sehingga KPUD DKI dan pemerintah segera memberi klarifikasi mengenai hal tersebut. Ia mensyukuri karena menurutnya dengan foto hoax tersebut justru akan semakin banyak nantinya masyarakat yang waspada dengan modus-modus demikian. Menurutnya, KTP berganda itu selama ini benar adanya, entah fotonya yang berganda atau identitasnya berganda, intinya KTP hoax itu sebenarnya benar adanya di lapangan. Dan hal tersebut menurutnya adalah persoalan lama yang selalu terjadi berulang sebagai bagian dari upaya ilegal untuk memenangkan pemilihan. Ya, bisa jadi benar yang disampaikan sahabat saya bahwa ada hikmah dari penyebaran foto hoax tersebut di sosial media... 

============================

Buat saya, berita hoax kini menjadi komoditas.  Berita hoax dapat diciptakan menjadi tidak hoax, begitu juga sebaliknya. Terkadang berita hoax atau fakta yang didesain menjadi hoax memang diciptakan, dihembuskan, dan dikobarkan oleh siapapun dia, apapun motifnya. Namun, kita juga tidak bisa menutup kemungkinan kondisi tersebut dapat terjadi karena ketidaksengajaan atau kesalahpahaman. Lagi-lagi, meski ada panduan normatif untuk menilai sesuatu hoaxatau tidak, kita tidak selalu dapat memastikan kebenaransejatinya. 

Terkadang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Menyikapi hoax atau tidak, menurut saya juga tidak bisa selalu diselesaikan dengan hitam atau putih, salah atau benar, ya atau tidak. Menilai hoax atau tidak, terkadang bukan dengan cara pandang tekstual, tetapi harus dengan kontekstual.

Buat saya, like & share dapat menjadi instrumen test the water. Apalagi bila diberi caption menggantung atau dengan kalimat-kalimat pertanyaan. Seharusnya pernyataan tersebut dapat disikapi sebagai kehati-hatian dalam menilai sesuatu yang ia like & share. Lain persoalan bila pernyataan yang mengikutinya sudah menunjukkan kecenderungan sikap dan pandangan. Kalaupun seseorang memiliki kecederungan sikap dan pandangan yang berbeda, cukuplah dipahami saja. 

Tidak perlu memantiknya. Intinya, perbedaan itu seharusnya dapat kita sikapi tidak berlebihan, apalagi untuk memvonis orang lain. Cukup jadi muhasabah untuk menjaga ukhuwah. Namun demikian, saya tidak memungkiri, kalaupun saya mungkin juga pernah gemas sehingga membuat status yang ‘menggemaskan’. Ya, saya kan manusia biasa yang bisa lepas juga...

Secara keseluruhan, saya mau bilang, sehandal-handalnya literasi media dilakukan, tetaplah pendekatan tersebut punya keterbatasan. Sejarah menunjukkan bahwa berbagai kisah dan peristiwa di masa lalu ternyata memiliki sejumlah versi yang terkadang saling kontra. Pengalaman empirik juga membuktikan bahwa penilaian baik, buruk, salah, benar itu kerap kali tergantung keberpihakan hati. Keputusan terkadang diambil bukan karena kebaikan, melainkan karena di bawah tekanan. Apalagi di penghujung zaman seperti saat ini yang sarat dengan warna-warna yang saling mendegradasi...

Lalu bagaimana menyikapi perbedaan? Mungkin kita perlu merenungkan nasehat Imam Syafi’i, “...Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi SAW, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku. Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi, baik semasa hidupku maupun sesudah matiku. Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.....”

Catatan:

Tulisan ini sejatinya adalah mengingatkan diri saya sendiri dalam menghadapi dunia nyata dan dunia maya yang semakin menggundahkan untuk tidak selalu merasa paling tahu, merasa paling benar, merasa paling bijak, merasa paliiiiing segalanya. Karena ketika itu terjadi, tanpa sadar penyakit hati telah menyemai. 

Padahal saya hanya manusia biasa dengan iman yang pasang surut, kerap kali pula mengalami futur, bahkan mungkin tanpa sadar belum lepas dari dosa khilaf maksiat. Ketika kita mengetahui sesuatu, tidak semua harus diungkap. Ketika kita tidak setuju, tidak semua harus ditunjukkan. Ketika kita senang, tidak semua harus diceritakan. Ketika perbedaan menguak, belajar untuk menahan diri. Ketika dipojokkan, belajar berbesar hati...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun