Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Literasi Media, Menyikapi dari Sisi Berbeda

5 Februari 2017   23:06 Diperbarui: 6 Februari 2017   00:22 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
letitcomefromyourheart.wordpress.com/ | edited

Sepanjang kita menyediakan berita penyeimbang atau klarifikasi atas berita yang ternyata semi hoax atau full hoax, saya menilai hal tersebut menjadi bagian dari literasi media. Kadang kita bisa mengetahui sesuatu itu benar setelah kita mengetahui bagaimana salah itu. Terkait dengan sikap dalam menilai good news atau bad news, pada konteks inilah kita sama-sama perlu belajar menahan diri untuk tidak mudah memojokkan mereka yang berseberangan pandangan...

Pada sahabat ketiga, saya menulis balasan agak panjang mengenai statusnya tersebut. Kamu gak salah... Kamu juga punya hak menyuarakan hati dan pikiran. Situasi beberapa bulan ini di sosmed memang sensitif. Mungkin juga sudah mulai puncaknya. Kalau aku pribadi, aku sedih baca statusmu... Tapi aku gak bisa komen yang nge-judge kamu karena kita berbeda cara pandang... Sama, aku juga menghindari perdebatan. Makanya hati-hati menulis status meski kadang gemes... Dan kita memang harus belajar berbesar hati untuk tidak memperbesar perbedaan cara pandang agar kita tdk terpecah belah... Aku percaya kamu bukan tipikal orang yg membabi buta menyerang ormas tersebut

Aku juga bukan orang yg membabibuta membela ormas tersebut. Aku yakin ormas tersebut juga mungkin ada oknum di dalamnya. Mereka juga bisa salah dalam bersikap. Isinya ormas tersebut kan manusia juga, bukan malaikat. Tapi, ormas tersebut juga banyak menolong masyarakat kan.... Ketika ada bencana, mereka terdepan... Ketika ummat Islam didzalimi, mereka juga terdepan... Dan ketika kita sibuk dengan rutinitas, mereka masih meluangkan untuk mikirin ummat Islam. Jika diantara cara-caranya ada yg kurang baik atau kurang pas dengan hati kita, ya harus kita akui. Tapi juga kita harus mau mengakui kebaikan2nya...”.

Obrolan saya dengan sahabat saya ketiga dilanjutkan dengan capture komen-komen pedas dari jejaringnya pada statusnya. “Yang repot ngadepin sahabat2 yang begini ini Is. Gak tahu ke-Islamannya, eh udah menilai seseorang belum dapat hidayah segala”. Saya kemudian membalas “Yang sabar.. Kamu gemes sama mereka... Mereka juga aslinya gemes sama kamu...”. Jawabnya, “Iis kok tahu?”. Sahut saya, “Laaaah, kan aku bilang kalau aku juga sedih baca statusnya kamu. Artinya, posisiku sama dengan mereka. Saking menyikapinya berbeda. Aku sama kamu beda pandangan, tapi kita bisa ngobrol enak kan...”. Di akhir percakapan, sahabat saya menutup dengan “Udah capek berdebat, Is. Di ranjang aja berdebat. Istriku pun sejalan sama Iis. Hehehe...”. Saya pun menutup percakapan dengan “I do love her”.

Pada sahabat keempat, saya menyampaikan agar ia membaca komen-komen yang hadir di status yang saya buat kemarin sore tersebut. Salah satu komen sudah menjelaskan klarifikasi dari KPUD DKI mengenai foto hoax tersebut. No defense. It was clear. Saya meyakini sahabat saya hanya membaca caption, tidak utuh dengan obrolan yang merespon bahwa foto tersebut adalah hoax

Saya juga menyampaikan ketika seseorang men-share berita, itu tidak selalu berarti orang tersebut mendukung atau punya misi atas berita tersebut meski kebanyakan mungkin memang menyiratkan demikian. Namun, ada kalanya seseorang men-share berita, terlepas ternyata itu hoax atau tidak, adalah dalam posisi netral karena menganggap penting untuk di-share, dipikirkan, didiskusikan dengan harap teman-teman di jejaringnya dapat memberi informasi lebih yang mencerahkan atau untuk dicarikan solusi. Pada konteks inilah, saya biasanya menyertakan embel-embel kalimat ‘Mmmm...’ atau ‘How come...’. 

Namun demikian, yang beberapa kali terjadi, ‘How come...’ saya berujung pada seolah-olah bahwa saya membenarkan berita tersebut atau membela atau menolak tokoh yang diberitakan. Ya, bergantung pada sahabat saya yang menilai tersebut berada pada pihak atau posisi mana dalam menyikapi berita tersebut sehingga berkorelasi dengan apa yang ia akan nilai dari kalimat ‘How come...’ saya. Ternyata ‘How come...’ saya menjadi seperti instrumen test the water yang dapat menjadi bahan kontemplasi untuk saya berbalik menilai bagaimana teman-teman saya menilai sesuatu. Tapi, syukurlah saya mengenal baik teman-teman yang men-japri saya sehingga kami tetap bisa mengobrol dengan enak...

Btw, sahabat saya keempat ini ternyata mensyukuri bahwa banyak yang men-share foto hoax 3 KTP beridentitas berbeda dengan foto sama tersebut sehingga KPUD DKI dan pemerintah segera memberi klarifikasi mengenai hal tersebut. Ia mensyukuri karena menurutnya dengan foto hoax tersebut justru akan semakin banyak nantinya masyarakat yang waspada dengan modus-modus demikian. Menurutnya, KTP berganda itu selama ini benar adanya, entah fotonya yang berganda atau identitasnya berganda, intinya KTP hoax itu sebenarnya benar adanya di lapangan. Dan hal tersebut menurutnya adalah persoalan lama yang selalu terjadi berulang sebagai bagian dari upaya ilegal untuk memenangkan pemilihan. Ya, bisa jadi benar yang disampaikan sahabat saya bahwa ada hikmah dari penyebaran foto hoax tersebut di sosial media... 

============================

Buat saya, berita hoax kini menjadi komoditas.  Berita hoax dapat diciptakan menjadi tidak hoax, begitu juga sebaliknya. Terkadang berita hoax atau fakta yang didesain menjadi hoax memang diciptakan, dihembuskan, dan dikobarkan oleh siapapun dia, apapun motifnya. Namun, kita juga tidak bisa menutup kemungkinan kondisi tersebut dapat terjadi karena ketidaksengajaan atau kesalahpahaman. Lagi-lagi, meski ada panduan normatif untuk menilai sesuatu hoaxatau tidak, kita tidak selalu dapat memastikan kebenaransejatinya. 

Terkadang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Menyikapi hoax atau tidak, menurut saya juga tidak bisa selalu diselesaikan dengan hitam atau putih, salah atau benar, ya atau tidak. Menilai hoax atau tidak, terkadang bukan dengan cara pandang tekstual, tetapi harus dengan kontekstual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun