Belakangan, saya senang dalam setiap memikirkan sesuatu, mengakhirinya dengan penutup ‘How come...’. Seperti halnya ketika beberapa tahun lalu, setiap kali saya presentasi di konferensi dan saya mengenalkan diri sebagai ‘Ibu rumah tangga biasa’, maka akan terpampang sejumlah mimik wajah yang bisa dikira-kira apa yang ada di benaknya dalam menilai saya dengan atribut status tersebut.
Ya, seperti halnya test the water, mengenalkan diri sebagai ‘Ibu rumah tangga biasa’ dapat menjadi bahan kontemplasi untuk saya berbalik menilai mereka-mereka dalam memposisikan orang-orang yang berstatus Ibu rumah tangga...
Gara-gara kalimat ‘How come...’ pada status saya di sosial media, tiba-tiba saya jadi ingin menulis hoax sebagai komoditas dan like & share sebagai instrumen test the water. Dalam 6 bulan terakhir, terdapat 4 sahabat di jejaring sosial media yang men-japri sebagai respon tentang berita yang saya atau ia share.
Sahabat pertama, ia menanyakan mengapa saya me-link berita tentang sikap sederhana salah satu menteri yang naik transportasi massal yang dinilainya sebagai bentuk dukungan saya kepada pemerintah yang sekarang. Beberapa waktu kemudian, sahabat kedua, menanyakan, eh bukan menanyakan, tetapi mengingatkan bahwa berita yang saya share mengenai prestasi pemerintah yang sekarang itu adalah hoax. Meskipun yang saya link merujuk pada media terkemuka, jelas bukan abal-abal, tetapi ternyata beritanya lebih kepada ‘interpretasi’ dan bukan terjemahan sesuai sumber aslinya dari luar negeri sana (baca: Bloomberg).
Nah, sahabat ketiga, Desember lalu men-japri saya dengan capture akunnya yang me-link berita tentang aksi ormas ke pusat perbelanjaan yang ia beri komen ‘Gak ada cara lain ta untuk membela Islam... bikin gaduh terus’. Sahabat saya yang pengusaha ini kemudian mengirimkan capture statusnya dengan memberi caption “Ada yang keliru dengan status qu? Menurut Iis salah kah aq?”.
Sahabat keempat, tadi sore ini men-japri menanyakan foto dari status saya di sosial media kemarin sore yang saya beri caption “Mmm... 3 KTP dengan identitas berbeda, tetapi orang yang sama...? How come...” dengan komen terbaru di bawahnya tadi sore yang saya beri link dari sejumlah media yang memberitakan klarifikasi bahwa foto tersebut adalah hoax. Saya sudah mengetahui bahwa foto itu termasuk hoax karena salah satu sahabat yang komen pada status tersebut kemarin malam memberi link klarifikasi dari KPUD DKI. Namun, sahabat saya yang menjapri masih menanyakan apakah saya tahu kalau foto KTP tersebut adalah hoax.
============================
Pada sahabat pertama, saya menjelaskan bahwa saya belajar untuk tidak menyukai atau membenci sesuatu secara berlebihan. Setiap orang pasti punya kelemahan dan kelebihan. Tidak adil bila kita hanya mengkritisi pemerintah, namun tidak mengapresiasi bila pemerintah melakukan sesuatu yang baik. Jika memang ada yang tidak benar dari pemerintah, ya tidak apa-apa mengkritisi. Tetapi jika memang ada hal-hal baik, ya harus berbesar hati juga untuk mengakuinya. Jika sang menteri itu memang menunjukkan sikap kebersahajaan, maka sebagai tokoh publik, tentu saja hal tersebut menjadi teladan.
Meskipun saya merasa banyak yang ‘berbeda’ dengan pemerintah hari ini, lagi-lagi saya berusaha belajar untuk adil menyikapi untuk tidak berlebihan ketika setuju atau tidak setuju dengan kebijakannya, termasuk ketika suka atau tidak suka dengan kebijakannya. Intinya, ya proporsional. Sepanjang kita meyakini bahwa hal tersebut akan membawa kebaikan sebesar-besarnya untuk bangsa dan negara, maka tentu kita harus mendukung. Dan bila kita meyakini bahwa ada kebijakannya yang kurang benar, ya seharusnya mengkritisi dapat disikapi sebagai upaya untuk memperbaiki kebijakan, jangan diartikan sebagai mencari-cari kesalahan pemerintah....
Pada sahabat kedua, saya memilih bahasa netral bahwa media yang saya rujuk mungkin ‘menginterpretasi’ dan bukan menerjemahkan. Seingat saya, dalam komen terbuka pada status saya tersebut juga saya sampaikan senada. Bila tidak hati-hati memilih kata dalam menyikapi ‘perbedaan’ antara berita di media dengan sumber rujukan aslinya, maka saya yakini dapat menjadi pemantik emosi di hati haters atau lovers yang menjadi teman-teman saya. Maksud saya, memang benar bahwa paparan pada sumber berita asli terdapat perbedaan dengan media-media besar di Indonesia yang mengutipnya.
Fakta itu ya menyiratkan bahwa ada pemlintiran sehingga menjadi good news bagi kelompok pendukung yang diberitakan tersebut. Jika ternyata berita itu menjadi semi hoax karena ternyata tidak sesuai aslinya, saya kira ya tidak perlu menjadi good news bagi kelompok yang selama ini kontra terhadap yang diberitakan dan tidak perlu seolah menjadi bad news bagi kelompok yang selama ini mendukung. Intinya, yang ingin saya sampaikan, kita tidak bisa menjamin pasti apakah yang kita share adalah hoax atau tidak meski prosedur normatif sudah kita patuhi. Kita mungkin bisa mengeliminir, tetapi kita tidak selalu mampu memastikan karena literasi media tetap punya keterbatasan atas semakin smooth dan complicated-nya industri media.