Tapi... Allah baik sekali. Keraguan saya langsung pudar. Mbak-mbak petugas bersih-bersih di Masjidil Haram menunjukkan tempat wudhu tepat persis di belakang area sholat kami. Jaraknya hanya sekitar 10 m. Saya mengantar Bu Yatmi hanya sekali, selanjutnya beliau yang wira-wiri seorang diri. “Sudah Mbak, saya sekali saja diantarnya. Tempatnya kan dekat. Tuuuh, kelihatan. Saya bisa jalan sendiri kok ke sana.”
Alhamdulillaah, Engkau ringankannya dan juga aku ya Rabb...
---------------
Memang, sejak mengikuti manasik haji di Pendopo Kabupaten, saya sudah meniatkan diri bahwa kepergian saya bukan sekedar beribadah haji, tapi juga untuk membantu para lansia mengingat banyak sekali calon jamaah yang mayoritas lansia. Rata-rata usia jamaah haji dari kabupaten saya berusia 50 tahun ke atas dengan dominasi usia di atas 60 tahun.
Mengingat kondisi saya sebelum keberangkatan mengalami drop, saya selalu berdoa minta diberi kesehatan dan dimampukan Allah untuk melaksanakan ibadah haji dan juga membantu mereka. Ya, jujur saja, selain jarang olahraga karena rutinitas yang menyita waktu, saya sebenarnya tidak yakin dengan kemampuan diri untuk menjalani seluruh rangkaian prosesi ibadah haji. Obat semprot asma selalu setia berada dalam tas paspor saya...
Seperti yang satu tulis di Cerita Haji (1), teman sekamar saya di pemondokan di Mekkah, dua orang berusia 65 tahun dan satu berusia 58 tahun. Satu diantaranya yang berusia 65 tahun itu selalu pipis tanpa ia menyadarinya. Beberapa hari pertama, kamar mandi sering berbau pesing. Setelah selidik penuh selidik, akhirnya saya mengetahui penyakit Ibu tersebut.
Saya ajak Ibu itu ke klinik kesehatan sembari berupaya mencari diapers untuk orang tua untuk mengurangi dampak pipisnya itu. Ibu satunya lagi yang berusia 58 tahun, memang tidak bermasalah dengan pipis, tetapi untuk kegiatan yang diperkirakan sulit baginya untuk bolak-balik ke toilet, ia juga menggunakan diapers. Dan saya juga membantu memasangkannya...
Ya, faktor usia menjadi persoalan tersendiri bagi jamaah haji. Saya yang belum genap usia 40 tahun pun merasakan betapa beratnya prosesi haji, terlebih bagi mereka yang lansia. Ujian dimulai ketika turun dari bandara Jeddah. Proses administrasi di imigrasi, menunggu, dan naik turun tangga dengan tas tenteng lebih dari 10 kilo itu berasa beraaat sekali setelah sebelumnya harus melalui penerbangan selama hampir 10 jam.
Setelah itu, beberapa waktu kami masih harus menunggu di bandara yang kemudian melanjutkan perjalanan Jeddah-Mekkah dan sampai di hotel langsung dilanjutkan dengan umroh wajib. Memang benar jarak hotel yang menjadi pemondokan kami itu sekitar 1 km, namun dengan kondisi jalan yang menanjak, kami semua merasakan ngos-ngosan setiba di Masjidil Haram. Umroh wajib yang kami jalani berasa sekali beratnya ..
Selama 5 hari pertama di Mekkah, KBIH kami memiliki program 4 kali umroh. Umroh ke-1, 2, 3... masih bisa dilalui. Umroh ke-4, banyak yang tidak hadir karena sudah ‘bertumbangan’. Waktu umroh yang berdekatan memang kurang kondusif buat kami. Namun karena keinginan kuat untuk bisa melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan ibadah yang telah diagendakan, maka kami semua berjuang untuk mengikuti umroh sunnah.
Selanjutnya, ketika keberangkatan ke Arafah untuk menanti waktu wukuf, kloter saya mendapat nomor urut 1 sehingga harus berada di Arafah sekitar 33-35 jam. Hari pertama, 8 Dzulhijah, kami benar-benar ‘digembleng’ Allah. Ada yang menyebutkan temperatur saat itu 57 derajat celcius, tapi juga ada yang menyebut 50 derajat celcius.