Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kisah Anak Autis: Ketika Mereka akan Dikhitan, maka Ceritakanlah Perubahan yang Akan Terjadi… (5)

14 Juli 2011   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:41 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang ini, tiba-tiba saja mendadak saya membenci Ibunya Wira. Dengan seabrek pekerjaan menginput data penelitian, saya belanin menulis tulisan ini demi meredakan bebal di kepala dan marah di hati. Sudah dari kemarin saya menyimpan rasa ini. Tetapi hari ini, justru ketika saya sedang berpuasa, marah ini malah menjadi memuncak.

Sebenarnya tak ada alasan bagi saya untuk marah pada Ibunya Wira. Kenal dekat, ya tidak. Hanya kenalan biasa dan tak punya ikatan apa-apa dengan saya. Kemarahan saya ini lebih karena saya tidak bisa memahami cara berpikirnya dalam membesarkan anaknya yang autis.

Ya, mungkin sudah 5 hari ini keautisannya Wira kumat. Wira tidak bisa berkomunikasi. Entahlah, tidak bisa berkomunikasi atau tidak mau berkomunikasi, saya tidak bisa memastikannya. Yang jelas, Wira sampai tidak mau makan. Sudah 5 hari hanya mengandalkan susu pengganti makanan. Ayahnya Wira hanya bisa menjelaskan bahwa autisnya Wira kumat setelah dikhitan.

Dengan informasi yang serba terbatas, saya menghubungi Ayahnya Bintang untuk menanyakan kira-kira mengapa Wira menjadi demikian. Ayahnya Bintang menebak Wira berlaku demikian karena ia mengalami trauma dan ia tidak mampu menyampaikannya. “Saya yakin, Wira itu kaget melihat perubahan pada penisnya. Apalagi kalau Wira dikhitan tanpa bius total. Anak normal saja bisa shock, apalagi anak autis.”

Kemarin, saya menanyakan hal yang sama pula tentang Wira kepada suami. Suami menjawab hal senada dengan Ayahnya Bintang. “Anak demikian yang penting itu sosialisasi. Kalau mau, ya harus dibawa ke dokter jiwa,” kata suami.

Lho? Kok dokter jiwa?

“Iya, dokter jiwa yang punya ilmu untuk bisa memahami masalah kejiwaan anak autis. Yang terjadi dengan Wira itu dugaan saya ya masalah jiwanya sampai kayak demikian,” sahut suami.

Mmm…

Saya kemudian menceritakan pandangan suami kepada Ayahnya Wira. Ayahnya Wira bercerita, Wira dulu pernah dibawa ke seorang dokter jiwa yang juga menyandang Profesor untuk dikonsultasikan. Tetapi dokter tersebut malah menawarkan produk suplemen kesehatan untuk Wira.

Ketika saya ceritakan pada suami, suami menjawab, “Mungkin dokternya menyambi berjualan produk itu juga. Tidak semua dokter demikian dong. Coba cari opini dokter jiwa yang lain,” kata suami saya terkekeh-kekeh mendengar cerita saya tentang dokter yang menawarkan produk suplemen kesehatan.

Tadi pagi saya lama mengobrol dengan Ayahnya Bintang. Ayahnya Bintang menceritakan kembali pengalamannya menangani Bintang ketika khitan. Ya, Bintang sampai 2 kali menjalani khitan. Yang pertama di Singapura. Ayahnya Bintang mengatakan bahwa dokter SIngapura member penawaran khitan pada Bintang dengan menggunakan teknologi laser terbaru. Eeeeeeeeh, ternyata kemudian kulit penisnya Bintang menutup. Akhirnya Bintang pun melakukan khitan yang kedua kalinya di Jakarta. Alhamdulillah, sudah oke. Tempo hari suami saya yang mendengar cerita saya tentang Bintang dikhitan di Singapura berseloroh, “Urusan khitan, kok ke Singapura. Dokternya Indonesia lebih jago untuk urusan mengkhitan. Sama kayak menangani penyakit-penyakit tropis, biasanya dokter Indonesia yang lebih mengerti…”.

13106352831184930516
13106352831184930516
Panjang lebar Ayahnya Bintang bercerita. Sudah 5 tahun ini saya memang menjadi pendengar setia Ayahnya Bintang yang selalu bercerita tentang Bintang. Dikatakannya, anak autis umumnya predictable sehingga ketika sesuatu berlaku tidak sesuai dengan perkiraannya, dia dapat mengalami trauma. “Mungkin itu yang terjadi dengan Wira. Saya menebak, sebelumnya tidak ada orang yang menjelaskan pada Wira tentang perubahan yang terjadi pada penisnya, apalagi sampai memperlihatkan bagaimana perubahan bentuk fisik yang akan terjadi. Mungkin juga Wira tidak dibius total sehingga bisa menyaksikan proses khitannya. Saya kira itu sebenarnya yang membuat Wira sampai tidak bisa ngomong,” urai Ayahnya Bintang.

“Kami kalau bepergian ke suatu tempat atau hendak melakukan sesuatu, saya dan istrinya biasanya sampai belanin memotret segala sesuatu yang akan kami kunjungi atau yang akan kami lakukan supaya Bintang bisa membayangkan yang akan kami lalui. Dan ini sangat membantu sekali mencegah hal-hal yang membuat autisnya Bintang kumat. Hal-hal demikian yang kerap terjadi dengan anak autis ketika melewati sesuatu yang baru dari hidupny tanpa ada yang 'mendampinginya' utk 'memperkenalkan’ segala sesuatunya. Kalau orang normal melihat mobil ya mobil, tapi anak autis yang melihat mobil bisa menganggap berbeda. Cara berpikir mereka berbeda dengan orang normal,” tambah Ayahnya Bintang.

“Memang harus ada orang di rumah yang bisa diandalkan utk mendampinginya. Istri saya dulu berhenti bekerja karena alasan ini pula. Tidak ada tangan kanan suami yang paling baik selain istrinya sendiri dalam mengurus anak-anak, apalagi anak autis. Kalau memang ibunya tidak bisa berhenti kerja, Ayahnya Wira sebetulnya bisa juga ‘memberdayakan' adik-adiknya Wira untuk menjadi tangan kanan Ayah Ibunya. Tapi ya harus diajarkan dan diberi pemahaman mendalam. Tapi… yang paling baik ya memang Ibunya,” papar Ayahnya Bintang.

13106363081610565394
13106363081610565394
Siang tadi saya mendapat kabar bahwa Wira sudah mulai mau bicara meski masih sedikit. Tapi, Wira belum mau makan. Jadi Ayahnya Wira hanya bisa memberi asupan susu agar Wira tetap punya tenaga. Seharian tadi Wira diajak ke kantor oleh ayahnya, tetapi baru setengah hari Wira minta pulang. Ya, ini bukan yang pertama. Setiap kali Wira kumat atau sedang sakit, Ayahnya Wira yang selalu mengalah menjaga Wira.

Lalu, dimana Ibunya? Ayahnya Wira biasanya selalu memberi pembelaan untuk istrinya yang sedang sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

Mmm… Inilah yang tidak pernah masuk di otak kepala saya tentang Ibunya Wira. Meski kepala saya sudah saya jejali dengan pikiran-pikiran “Ibunya sayang pada Wira, tetapi ingin membantu suami secara ekonomi “ atau “Ibunya juga dilematis kok meninggalkan Wira” atau “Ibunya bekerja begitu karena terpaksa. Justru ia bekerja karena begitu mencintai anak-anaknya agar terpenuhi segala kebutuhannya yang mungkin tidak bisa sepenuhnya ditopang dari penghasilan suami”, dan lain-lainnya, tetapi… tetap saja perasaan jengkel ini selalu muncul. Suami saya, juga Ayahnya Bintang, pun bolak-balik memberi kemungkinan-kemungkinan penjelasan pada saya yang menyebabkan Ibunya Wira enggan berhenti kerja untuk mendampingi Wira. Tapi, ketika saya bercerita bagaimana Ayahnya Wira yang selalu berkorban untuk mengalah menemani Wira di rumah atau membawanya ke kantor agar bisa memantau Wira atau bagaimana Ayahnya Wira yang selalu mengeloni Wira hampir setiap malam dan yang selalu bangun tengah malam untuk mengurus Wira ketika sakit, mereka pun hanya bisa terdiam. Ketika mereka saya tanya bila berada dalam posisi Ayahnya Wira, ternyata mereka pun mengharapkan sang istri dapat mendampingi Wira.

Ya, lalu di mana Ibunya Wira?

Saya membandingkan dengan Feny, seorang Tionghoa yang sudah saya anggap adik saya sendiri, yang ingin berhenti kerja di pabrik demi menyusui Daniel. Tapi, mertua, orangtua, bahkan suaminya sendiri tak ada yang menyetujui keinginan Feny. Alasannya, “Punya ilmu kok gak dimanfaatkan. Kok cuman untuk mengurus anak” dan “Kebutuhan kita ini banyak”…

Mmm… Feny, dengan kondisinya yang sangat sulit untuk bisa memerah ASI di tempat kerjanya, berjuang untuk bisa mengumpulkan 400ml ASI setiap harinya. Keinginannya untuk berhenti bekerja dan berkonsentrasi memberi ASI juga didorong oleh kondisi Daniel saat dalam kandungan yang begitu rentan karena Feny positif memiliki Tokso.

Mmm… saya membandingkan naluriah seorang Ibu antara Feny dan Ibunya Wira begitu berbeda. Ayahnya Wira yang menyanggupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan profesinya sebagai pengacara, ditambah juga Ibu dari Ibunya Wira yang tinggal serumah yang merupakan pensiunan bank BUMN, ternyata tetap membuatnya Ibunya Wira tidak bergeming dan bertahan untuk bekerja karena alasan ekonomi. Berangkat mungkin pukul 7 dan baru pulang sekitar 18.30 malam, dan kemudian malamnya Ayahnya Wira yang banyak mendampingi Wira, lalu ke mana Ibunya untuk Wira? Menonton Sinetron? Mmm, saya bertambah kesal mengetahui waktu yang harusnya dapat dioptimalkan untuk mengganti waktunya berinteraksi dengan Wira malah habis untuk sesuatu yang tidak bermanfaat…

Mmm…

Ya, sudah 5 tahun saya menjadi pendengar setia dan pengamat Bintang yang autis. Begitu menyelaminya, ini pulalah yang mungkin menjadi pemicu tidak simpatik saya pada Ibunya Wira yang bagi saya adalah bentuk pengabaian masa depan Wira. Jujur saja, saya lebih melihat kemauan keras Ibunya Wira untuk bertahan bekerja lebih karena menghindari ribetnya mengurus anak autis. Saya tidak yakin alasan ekonomi menjadi alasan utamanya. Jika dalih yang disampaikan adalah “sudah kuliah tinggi-tinggi kok cuman di rumah”, ah dia meremehkan pekerjaan mulia seorang Ibu Rumah Tangga yang menjadi madrasah dan pembangun karakter anak-anaknya. Lagipula, bagi saya, Ibunya Wira sudah salah orientasi bahwa kuliah adalah bertujuan untuk mencari kerja. Inilah akibatnya, ketika sudah memperoleh pekerjaan, ia enggan melepaskannya dan menjadikannya pekerjaan sebagai prioritas ketimbang pekerjaan utamanya yang dianugerahkan Allah sebagai seorang Ibu. Bukankah banyak cara yang bisa dilakukan dirinya untuk tetap dapat memiliki eksistensi dan mengaktualisasikan dirinya tanpa harus mengenyampingkan Wira…?

Mmm…

Buat Ayahnya Wira, saya mohon maaf jika membaca tulisan ini. Semoga Anda tidak tersinggung. Saya tidak menerima manfaat apapun dengan tulisan ini. Saya hanya bersimpatik dengan Wira, juga Anda. Sudah berulangkali saya mencoba memahami cara berpikir Ibunya Wira, tapi tetap saja saya tidak bisa memahaminya. Mungkin memang hanya Anda yang dapat memahaminya...

Sumber Gambar: Google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun