Hari Sabtu lalu, tanggal 26 Februari 2011, saya berkunjung ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jenggawah, Jember. Saya membawa 'pasukan' yang terdiri dari 80 anak SD kelas 4 (4A 4B, dan 4C), 6 ustadz/ustadzah wali kelas dan pendamping, serta 4 orang anggota Forum Orang Tua Wali Murid dan Lembaga Kelas 4 (FORMULA 4) RSDBI Al-Ikhlash Lumajang. Saya memang merekomendasikan kegiatan outing class ini sebagai program kegiatan FORMULA 4 2010-2011 yang kebetulan saya pimpin. Dalam perkembangannya, saya kemudian bermaksud menunda atau meniadakan kegiatan ini lantaran sejumlah pertimbangan. Pertimbangan ini didasari oleh sejumlah persoalan yang muncul yang sudah pernah saya tuliskan postingannya di "Belajarlah Menghargai Orang Lain, Please...!!!".
Akhirul kalam, saya membelikan camilan, susu kotak instan rasa coklat, dan tentu saja cokelat itu sendiri sebagai hadiah ultah beratasnamakan Om Bagyo. Ya, anak-anak saya biasa memanggilnya Om Bagyo. Mereka bersahabat dan cukup rutin berkomunikasi via SMS.Nau, anak saya yang sulung, pun ikut kecipratan dan mendapat jatah hadiah dari budget yang diberikan Om Bagyo.
Ketika anak-anak menikmati cokelat batangan, suami saya memperhatikan label yang tertera di pembungkus cokelat tersebut. Ia kemudian menyeletuk, “Jangan-jangan cokelat impor ini sebenarnya bahan bakunya dari Jember. Kualitas cokelatnya Jember kan terkenal dan dikirim ke mana-mana.” Hmm...
Ya, gara-gara hadiah cokelat dari Om Bagyo dan celetukan suami itulah yang membuat saya ingin menulis topik cokelat dalam Perspektif kali ini. Selain tembakau, cokelat sesungguhnya juga bisa menjadi ikon Jember. Siapa sangka, kota kecil ini ternyata menyimpan sejarah panjang sekaligus modernitas dari teknologi kakao.
Mmm… Ada yang bingung ya apa bedanya cokelat dan kakao? Ya, cokelat itu adalah sebutan untuk makanan yang diolah dari biji kakao (Theobroma cacao). Dengan kata lain, biji kakao adalah penghasil bahan baku cokelat. Nah, Indonesia yang dikenal sebagai produsen kakao terbesar kedua di dunia sesungguhnya banyak memperoleh kontribusi besar dari Jember.
Selain mampu diproduksi secara massal, benih kakao hasil SE juga terbukti mempunyai produktivitas sangat tinggi. Konon, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang mampu memproduksi benih kakao secara massal dari satu tanaman induk. Puslitkoka Jember bahkan dikabarkan memperoleh hak pengembangan dari Nestle, perusahaan multi nasional asal Perancis.
Ya, Puslitkoka bukan saja sebuah bangunan sejarah yang menjadi saksi kejayaan kakao Jember. Tempat ini juga adalah museum pertanian dan perkebunan karena menyimpan varietas tanaman pertanian dan perkebunan yang usianya sudah tua. Sejak zaman Belanda, potensi alam Jember sangat dipahami betul oleh pemerintah kolonial. Budidaya tanaman pertanian dan perkebunan memang tumbuh sangat baik di kawasan ini. Kakao adalah salah satu komoditas unggulannya. Belanda kemudian mendirikan Puslitkoka untuk riset pengembangan komoditas.
Aduuuh, apa sih yang enggak ada di Jember ini!!! Semua sudah ada di sini. Tinggal bagaimana kita mengelolanya saja. Kakao Jember harusnya mampu menjadi pemain utama nasional. Setidaknya, Puslitkoka harusnya mampu menjadi think-tank bagi masa depan kakao nasional. Dari sini, pemerintah harusnya dapat mengambil banyak manfaat. Di tempat ini terdapat teknologi pengolahan kakao hingga pemanfaatan kulit kakao sebagai sumber energi. Selain itu, terdapat juga teknologi biogas dan pengkomposan dengan aerasi pasif untuk berbagai limbah padat hasil kakao.
Mengapa pemerintah daerah perlu turun tangan? Ya, ini tidak lepas dari visipemerintah pusat yang berencana untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar di dunia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian memperkirakan Indonesia pada 2015 mampu mewujudkannya.
Hasil uji coba di lapangan, benih kakao SE mampu menghasilkan lebih dari 2 ton per ha. Potensi kemampuannya bahkan diperkirakan dapat mencapai 4 ton per ha. Dengan tingkat produktivitas seperti itu, keinginan Indonesia untuk menjadi produsen kakao terbesar dunia pada 2015 bukanlah mimpi. Peluang inilah yang harusnya dapat direspon cepat oleh pemerintah daerah. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H