Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalaman Pertama Menjadi Ketua Dharma Wanita

9 November 2010   09:55 Diperbarui: 2 Agustus 2022   17:52 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir Oktober lalu, saya akhirnya resmi menjadi Ketua Dharma Wanita (DW) di lingkungan fakultas tempat suami saya mengabdikan diri. Sejak Mei, saya sudah diwacanakan untuk menjadi Ketua DW seiring dengan terpilihnya pimpinan fakultas yang baru.

Ya, Dekan terpilih di fakultas tersebut adalah seorang perempuan. Akhirnya, posisi Ketua DW harus diisi oleh istri pimpinan fakultas tepat di bawah Dekan, yaitu Pembantu Dekan (PD) 1.

Ya, suami saya menjadi PD 1 yang akibatnya berimbas pada saya yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus bersedia menerima amanah menjadi Ketua DW.

Entahlah ada persoalan apa antara fakultas dan rektorat sehingga pimpinan fakultas yang baru tersebut dilantik sekitar September-Oktober. Akhirnya, serah terima kepengurusan DW pun baru berlangsung akhir Oktober.

Eiiiiiitsss, jangan dikira saya senang dengan amanah tersebut. Sudah bolak-balik saya menyatakan keberatan pada suami.

Saya juga sudah bolak-balik melobi suami untuk membantu mempengaruhi Dekan agar tidak menunjuk saya menjadi Ketua DW. Kalau mengikuti perasaan, saya tentu merasa tak mampu. melaksanakan amanah tersebut. Setidaknya ada 5 alasan utama. 

Pertama, domisili saya berbeda dengan kota tempat suami saya bekerja. Setidaknya saya membutuhkan waktu sekitar 1-5-2 jam untuk menempuh perjalanan. 

Kedua, setiap pekan saya hampir selalu wira-wiri 2-3 kota. Untuk kota tempat suami saya bekerja, saya boleh kata paling jarang menghampirinya. Paling pol menginap semalam. Paling sering berangkat pagi pulang sore.

Dengan menjadi Ketua DW, otomatis saya harus meluangkan waktu lebih banyak untuk berkunjung ke sana. Secara teoretis, pertemuan sebulan sekali memang tidak menyita waktu.

Tapi kenyataannya, hampir setiap 1-2 pekan, selalu ada undangan dan kegiatan yang menuntut kehadiran Ketua DW.

Ketiga, saya sebelumnya juga didapuk menjadi Ketua Forum Orang Tua Wali Murid di SD anak saya. Memimpin organisasi ini sebenarnya tidak repot, tapi cukup menyita waktu dan pikiran. 

Keempat, selama 8 tahun suami saya bekerja di sana, saya belum pernah hadir dalam rapat DW. Alasannya, klise. Saya tinggal di kota berbeda sehingga kesulitan untuk hadir. Pertama kali hadir, ya akhir Oktober itu dengan posisi langsung sebagai Ketua DW. 

Kelima, saya bukan termasuk ibu-ibu yang gaul dengan kegiatan kewanitaan. Saya juga bukan orang yang gampang berinteraksi dengan ibu-ibu yang gemar dengan urusan jalan-jalan, belanja, kecantikan, dan urusan rumah tangga.

Jadi tidak heran, seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ketika acara serah terima, banyak yang tercengang dengan style Ketua DW baru yang “BEDA BANGET” dengan Ketua DW lama.

Ya, saya dengan sepatu kets n ransel setengah PD setengah ciut nyalinya harus bersalaman dan berfoto bareng dengan Ketua DW lama yang modis n fashionable.... *Banyak yang berbisik, “Maklum, Ketua DW-nya kan masih mahasiswa....”. Hehehe*

Sepekan pertama menjadi Ketua DW, saya cukup mengalami beban pikiran. Setidaknya ada 5 persoalan utama yang membebani saya. 

Pertama, Ketua DW lama memberikan saya saldo Rp 0. Uang sebesar Rp 23 juta di awal Januari 2010 terserap habis hingga September 2010 yang merupakan masa terakhir jabatan Ketua DW lama.

Dengan saldo kosong, jelas saya tidak mungkin membuat kegiatan. Pantang untuk saya “mengorbankan” uang belanja rumah tangga untuk kegiatan organisasi.

Itu artinya, organisasi tidak dikelola dengan baik, tidak disiplin, dan tidak profesional. Apalagi ini organisasi yang bernaung dalam kepegawaian negeri sipil yang sudah memotong iuran wajib bagi anggotanya. 

Kedua, laporan keuangan yang diserahkan Ketua DW lama pada saya menunjukkan pos-pos yang tidak jelas.

Misal, pos penerimaan dari bina lingkungan yang selama 3 tahun mengalami tren kenaikan dari Rp 7 juta, menjadi Rp 9 juta, dan kemudian sekitar 19 juta. Saya tidak tahu definisi operasional dari “bina lingkungan”. Saya sudah bertanya kepada Ketua DW lama, termasuk pula pada Dekan, Sekretaris DW, dan juga pengurus lama yang kembali menjadi pengurus baru, tapi tidak ada yang tahu. Anehhh kan???

Penting untuk saya mengetahui secara detil pos tersebut agar saya bisa tahu berapa banyak penerimaan yang akan saya peroleh sepanjang tahun dan kapan saya bisa menerimanya.

Ini tidak lain agar saya bisa mengelola kegiatan. Jika kas sedang minim, berarti saya hanya bisa melaksanakan kegiatan yang ringan-ringan saja dan tidak banyak mengeluarkan dana. Tapi ketika uang kas penuh, berarti saya bisa mengadakan kegiatan yang relatif agak besar. 

Ketiga, saya tidak bermaksud “mencurigai” pos-pos pengeluaran dalam kepengurusan lama. Tapi saya butuh informasi tentang kegiatan-kegiatan di masa lalu, baik yang rutin maupun insidentil, untuk dipertimbangkan kelayakannya untuk ditindaklanjuti atau di-pending atau dihilangkan sama sekali.

Nah, satu-satunya sumber informasi paling detil yang saya miliki hanya laporan kegiatan dari Ketua DW lama. Tapi kegiatan-kegiatan tersebut juga mengundang sejumlah pertanyaan.

Buat saya, sangat tidak pas jika pengeluaran kegiatan ternyata paling banyak diserap oleh “pembelian kenang-kenangan bagi pengurus lama”. Waddduuuuh, uang segitu besar rasanya akan lebih bermakna dan bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan pembinaan atau pemberdayaan masyarakat atau pengentasan kemiskinan atau apa sajalah yang bersinggungan dengan kelompok masyarakat kecil. 

Keempat, Ketua DW lama mewanti-wanti saya ketika serah terima untuk membeli alat musik hadrah. Ya, sebagian besar sudah dibeli dengan uang kas, tapi ada 1 alat musik yang belum terbeli. Ketua DW lama meminta saya untuk mengalokasikan uang untuk membelinya.

Alasannya, universitas rutin mengadakan lomba hadrah setiap tahun. Sehingga, daripada menyewa, lebih baik langsung saja membelinya.

Nah, titipin ini yang saya merasa berat untuk memenuhinya. Saya sudah menyampaikan argumen kepada para pengurus inti.

Alhamdulillah, semua bisa menerimanya dan menganggap bahwa titipan tersebut sebaiknya memang tidak dipenuhi. 

Kelima, para pengurus organisasi DW seolah bekerja secara sporadis dan kepemimpinan yang sentralistik. Satu sama lain tidak mengetahui bidang kerja yang digeluti masing-masing.

Masalah keuangan sangat melekat hanya pada Bendahara dan Ketua. Intinya, minim koordinasi dan kooperasi. Mmmmm *Menarik nafas dalam-dalam*

Ya, key person dari beban pikiran saya adalah Bendahara. Laporan keuangan yang saya terima dari Ketua DW lama banyak menimbulkan pertanyaan.

Dalam 3 kali kunjungan ke fakultas, saya tidak ada kesempatan untuk berbicara dengan Bendahara. Beliau selalu kedapatan sedang dalam kesibukan sehingga tidak sempat untuk berbicara secara khusus lebih lama dengan saya.

Kemudian saya meminta pertemuan nonformal di hari Sabtu sesuai kesepakatan dengan pengurus inti, tapi ternyata beliau juga tidak bisa hadir.

Sekali lagi saya katakan, saya sudah mencoba bertanya pada semua pihak. Kepada Ketua DW lama, termasuk pula pada Dekan, Sekretaris DW, dan juga pengurus lama yang kembali menjadi pengurus baru. Tapi, tidak ada yang tahu.

Aneh bukan. Bagaimana mungkin dalam satu organisasi hanya Bendahara saja yang mengetahui Anggaran Pendapatan dan Belanja Dharma Wanita (APBDW).

Dua hari lalu, saya mengajak Wakil Ketua 1 saya untuk menemui Bendahara. Ternyata Bendahara masih belum bisa menemui karena sedang rapat pimpinan.

Akhirnya saya berdua konsolidasi dengan Sekretaris terkait dengan struktur kepengurusan baru, kegiatan rutin hingga akhir tahun, dan penugasan bagi anggota untuk menghadiri sejumlah kegiatan wajib dari Universitas. Hahahahaha, ternyata bukan saya saja yang senang “menghindari” kegiatan-kegiatan seremonial.

Para pegawai di fakultas dan istri para dosen yang menjadi pengurus DW ternyata juga senang “menghindar”... Kecuali, tentu saja ketika ada urusan makan-makan...

Akhirul kalam, setelah dirembuk bersama dan bicara hati ke hati, semua teratasi... Alhamdulillah. Akhirnya ada yang bersedia memesankan makanan takir (nasi yang ditampahi daun pisang) untuk tasyakuran dies natalis, menjadi petugas konsumsi dies natalis, menjadi petugas konsumsi wisuda, serta banyak yang mau hadir dalam tasyakuran (ini nih makan-makan besarnya)...

Empat persoalan selesai. Satu persoalan tak selesai. Ya, tak ada satupun yang bersedia hadir dalam orasi ilmiah. Termasuk saya (Maklum, saya kan harus bimbingan ke Surabaya)

Ketika saya menunggu suami di ruang tamu pimpinan, ternyata Bendahara menghampiri saya dengan buku kas keuangan DW. Saya senang dan sedikit gugup.

Ya, saya senang akhirnya bisa berbicara lebih lama dengan orang yang saya nanti-nanti dengan tidak disangka-sangka. Sedikit gugup karena saya khawatir jika saya terlalu banyak bertanya akan menimbulkan persepsi bahwa saya “cerewet” dan “mencurigai”.

Alhamdulillah, Bendahara DW saya cukup murah senyum ala-ala birokrat. Ya, beliau memang termasuk pejabat di lingkungan fakultas. Yang terpenting lagi, alhamdulillah beliau cukup terbuka dan mengakui beberapa kelemahan dalam manajemen laporan keuangan.

Saya tidak tahu apa memang DW Kantor Pusat tidak pernah meminta laporan keuangan DW fakultas. Informasi yang saya peroleh, DW Kantor Pusat hanya meminta laporan kegiatan TANPA PERLU ada laporan keuangan.

Akhirul kalam, beban pikiran saya akhirnya tereliminir. Setidaknya 5 persoalan utama yang saya miliki dalam memulai menata organisasi DW sudah terjelaskan.

Bendahara menyatakan siap membantu saya untuk lebih transparan dan akuntabel. Beliau bersedia memenuhi sejumlah permintaan saya untuk melengkapi data dan rincian laporan...

Mmm, sayang, ada 1 permintaan saya yang kelihatannya tidak bisa dipenuhi. Dari bahasa tubuhnya, saya tahu bahwa beliau menolak memindahkan atau mem-back up laporan keuangan dalam buku kas tersebut ke komputer.

Ya, beliau pasti sudah sangat sibuk dengan pekerjaan rutinnya. Tentu saja beliau keberatan untuk mengerjakan pekerjaan DW yang bukan prioritas.

Ya sudahlah, saya saja yang meluangkannya untuk memindahkan catatan keluar masuk uang kas organisasi.

Mmm, saya membayangkan jika buku kas andalan Bendahara saya itu hilang, bagaimana dia mempertanggungjawabkan keuangan organisasi jika tak ada satu pun back up datanya dalam komputer atau bahkan kopian arsipnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun