Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mereorientasi Surat Berharga Negara

31 Oktober 2010   16:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini diambil dari Harian Kontan, Halaman Surat & Opini, 26 Oktober 2010, Hlm. 23.

Utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) terus meningkat. Sebagai instrumen utama pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), SBN dibutuhkan antara lain untuk membiayai kembali utang lama yang jatuh tempo. Ke depan, reorientasi SBN dibutuhkan agar APBN tidak terjebak ke dalam perangkap utang gaya baru. Oleh: Khairunnisa Musari

Pascakrisis, persentase utang pemerintah yang berasal dari SBN terus meningkat. Beralihnya pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari non-utang menjadi utang merupakan penyebab utama. Pembiayaan yang bersumber dari utang sebelumnya berasal dari pinjaman dalam negeri (DN) dan luar negeri (LN). Dalam perkembangannya, instrumen pinjaman beralih pada SBN.

Sejak 2005, SBN telah menjadi sumber utama pembiayaan utang. Hingga Agustus 2010, dari total nilai utang pemerintah yang sebesar USD 182,97 miliar, sebesar USD 65,53 miliar berasal dari pinjaman dan sisanya sebesar USD 117,43 miliar berasal dari SBN. Jika dikonversi dalam bentuk rupiah, maka sekitar Rp 1.061,71 triliun dari 1.654,19 triliun berbentuk utang SBN dengan dominasi denominasi rupiah sebesar Rp 905,62 triliun.

Sejauh ini, pemerintah terkesan cukup agresif menerbitkan SBN. Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara menjadi andalan utama SBN. Pemerintah perlu mengerem penerbitan SBN. Data cashflow pembiayaan menunjukkan porsi pembayaran utang kian mendominasi seluruh kebutuhan pembiayaan. Keberadaan SBN secara nyata turut serta membangun ilusi fiskal karena membangun APBN melalui refinancing utang.

Hingga 10 September 2010, utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 62,93 triliun menjadi Rp 1.653,59 triliun. Jika dihitung dengan denominasi dolar Amerika Serikat (USD),jumlah utang pemerintah selama sembilan bulan ini mencapai USD 185,30 miliar atau bertambah USD 16,08 miliar dari akhir 2009. Kementerian Keuangan secara jelas menyatakan kenaikan realisasi nilai utang tahun ini bukan berasal dari pinjaman baru, melainkan dari penambahan utang akibat refinancing utang jatuh tempo. Pola refinancing dilakukan karena pemerintah tidak sanggup membayar utang jatuh tempo.

Belajar dari Krisis

Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada pertengahan 1997 telah memberi dampak yang sangat luas bagi bangsa Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik adalah keberadaan program penyehatan dan rekapitalisasi perbankan nasional yang diterapkan pemerintah sebagai bagian dari upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi ternyata menimbulkan tekanan fiskal. Beban pembayaran bunga atas obligasi dan surat utang yang diterbitkan untuk membiayai program penyehatan ternyata menyandera APBN kita.

Ditambah lagi, pengelolaan utang yang cenderung diarahkan pada upaya-upaya untuk mengisi kesenjangan pembiayaan dalam jangka panjang. Secara keseluruhan, hal ini berakibat pada munculnya peradaban utang Indonesia yang seolah benar demi atas nama pengelolaan portofolio yang mendukung kesinambungan fiskal.

Adanya kebutuhan untuk menutup defisit APBN dan membayar kewajiban utang jatuh tempo (debt refinancing), baik DN maupun LN, adalah alasan utama yang mendorong pemerintah menggunakan utang dalam bentuk SBN. SBN diterbitkan dengan maksud sebagai instrumen fiskal untuk pembiayaan umum (general refinancing) APBN.

Namun demikian, kita dapat melihat adanya indikasi bahwa SBN kini berkontribusi besar terhadap meningkatnya utang Indonesia. Meski pinjaman bilateral, multilateral, dan komersial juga turut berkontribusi, namun nyatanya utang yang bersumber dari SBN ternyata berakselerasi lebih cepat. Belum lagi dengan adanya tambahan bunga utang SBN.

Tidak bisa dipungkiri, APBN kini harus membayar bunga utang DN yang kebanyakan berasal dari penerbitan SBN. Sepanjang 2002-2010, pembayaran bunga utang DN ternyata jauh lebih besar dari bunga utang LN. Pada 2010, dari total pembayaran bunga utang sebesar Rp 105,65 triliun, 68,01% digunakan untuk membayar bunga utang DN dan 31,99% untuk bunga utang LN. Jelas, meningkatnya volume penerbitan SBN sesungguhnya menambah beban utang Indonesia.

Ke Depan

Harus diakui, pemanfaatan SBN yang mengarah pada upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal sesungguhnya adalah kebijakan yang berorientasi pada pola ‘gali lubang tutup lubang’. Pola ini hanya menjadikan SBN sebagai alat untuk menutupi lemahnya fondasi APBN dengan beratasnama menjaga kesinambungan fiskal.

Tidak bisa dipungkiri, pemanfaatan dana SBN yang tidak tersalurkan pada sektor produktif jika berkepanjangan akan mereduksi kemampuan keuangan negara untuk mewujudkan pembangunan. SBN yang menjadi tulang punggung bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan dapat menjadi tak berarti apa-apa jika hanya dimanfaatkan untuk menambal sulam utang negara. Meski kerap dinyatakan biaya penerbitan SBN jauh lebih murah dari pinjaman komersil, namun nyatanya SBN ternyata menambah total beban utang pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus tetap mengendalikan penerbitan SBN melalui manajemen jatuh tempo dan kalkulasi cost-benefit.

Ke depan, SBN tampaknya masih akan menjadi sumber utama pembiayaan defisit dan pembayaran utang jatuh tempo. Pemerintah hendaknya mereorientasi SBN agar tidak menjadi bemper defisit APBN. SBN seyogyanya menjadi stimulus fiskal melalui pembiayaan proyek pembangunan Hal ini dimaksudkan tidak lain agar dana yang terhimpun dapat dikelola secara produktif dan menghindarkan pemerintah dari jebakan utang gaya baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun