Agus buntung, seorang pria disabilitas yang menjadi tersangka kekerasan seksual kepada belasan perempuan. Terhitung saat tulisan ini ditulis, sudah ada 17 korban yang melapor. Kasus ini menggegerkan media karena Agus dilaporkan atas tindak kekerasan seksual, sedangkan Agus merupakan tunadaksa yang tidak memiliki tangan sejak lahir. Banyak pertanyaan yang meluap ke permukaan tentang cara Agus melakukan tindak kekerasan seksual dengan keterbatasan yang Ia miliki.
Ramai di sosial media, kasus I Wayan Agus Suartama aliasMenurut ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi, semua korban Agus memiliki kondisi yang hampir sama. Korban merupakan perempuan yang sedang duduk sendirian di sekitar taman udayana atau taman sangkareang. Korban rata-rata duduk sendirian lantaran tengah mengalami masalah dan pikiran sedang kacau. Hal tersebut dimanfaatkan Agus untuk memanipulasi korban. Proses Agus dalam memanipulasi disampaikan oleh Joko Jumadi dalam podcast bersama Deddy Corbuzier.
“Dimulai dengan menunjukkan keibaan, bahwa dia ini stabilitas, tidak bisa apa-apa, dia mau ngapain-ngapain aja susah, direndahkan, gitu. Akhirnya kemudian, korban kan iba, kemudian korban menaruh kepercayaan. Kemudian dia menggali informasi, sampai hal-hal yang sensitif, yang seharusnya tidak disampaikan oleh korban, itu disampaikan. Nah, setelah itu, dia mencoba melakukan trick-nya dengan memberikan solusi. Dia kemudian mengaku sebagai orang yang bisa memberikan solusi. Karena menebak-nebak tadi masalahnya itu, korbannya menjadi percaya bahwa si pelaku ini, orang pinter ini, karena dia bisa tahu masalah saya, kira-kira begitu. Sampai kemudian pada tahap bahwa saya bisa membantu masalah kamu.”
Dalam kasus ini dapat dianalisis dari segi pragmatik, yaitu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bagaimana konteks mempengaruhi makna bahasa dan menjadi kunci taktik manipulasi Agus. Melalui subteori pragmatik yaitu teori tindak tutur dari John Austin, kita dapat memahami bagaimana ucapan-ucapan Agus melebihi sekadar kata-kata, melainkan tindakan yang mempengaruhi mental dan emosional korbannya. Dalam banyak kesempatan, Agus menggunakan tindak tutur performatif untuk menutupi niat jahatnya. Ucapan seperti “Saya hanya ingin membantu kamu” terdengar seperti niat baik di permukaan, namun secara ilokusioner, ucapan tersebut berfungsi untuk memanipulasi dan mengisolasi korban dari orang lain. Agus menebak-nebak masalah dan masalalu korban dan memancing agar korban menceritakan masalah pribadinya, namun cerita itulah yang akan digunakan sebagai senjata untuk mengancam korban jika tidak mau menuruti perkataannya.
Efek perlokusioner dari ucapan-ucapan Agus juga berpengaruh secara signifikan dalam memanipulasi emosi korban. Misalnya, ketika Agus berkata, “Kamu tahu aku satu-satunya yang bisa kamu percaya,” efek perlokusioner dari ucapan ini adalah menanamkan rasa takut dan ketergantungan. Korban merasa tidak punya pilihan lain selain bergantung pada Agus, meskipun dalam kondisi yang berbahaya dan tidak sehat.
Agus menggunakan taktik mengajak korban berbincang sampai tengah malam agar korban tidak berani pulang sendirian, Agus beralibi akan menunjukkan arah jalan pulang, namun malah mengarahkan korban ke sebuah homestay. Agus juga menggunakan ancaman-ancaman, seperti akan membongkar rahasia korban atau akan digrebek dan dinikahkan oleh warga jika ketahuan mereka sedang berdua di kamar homestay.
Manipulasi bahasa yang dilakukan Agus sukses karena pelanggaran maksim kualitas, yaitu dengan menyatakan bahwa ia tidak melakukan sebuah tindak kejahatan, meskipun fakta menunjukkan bahwa dengan kuasanya ia telah memerintahkan orang lain untuk melakukan tindakan asusila. Dalam manipulasi bahasa, informasi dihilangkan, dilesapkan, atau dimainkan sedemikian rupa agar korban percaya dengan apa yang disampaikan. Sebab itulah, manipulasi bahasa sulit dikenali dan dihindari oleh korban.
Dapat disimpulkan bahwa kasus Agus Buntung memperlihatkan betapa bahasa bisa menjadi alat yang kuat untuk manipulasi dan kontrol. Ucapan-ucapan Agus tidak hanya mencerminkan niatnya tetapi juga strateginya dalam mempertahankan kekuasaan atas korban. Melalui tindak tutur, implikatur percakapan, dan efek perlokusioner, Agus berhasil menciptakankeadaan di mana korbannya merasa terisolasi, bingung, dan takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H