Maisi sasuduik (biasa disebut juga sasuduik, manyuduik, atau isi biliak) merupakan salah satu tradisi pernikahan urang Minangkabau di Luhak Lima Puluh Kota, Pesisir, Kabupaten Agam, Bukittinggi. Tradisi ini menjadi syarat bagi pihak laki-laki untuk meminang perempuan Minangkabau. Dinamakan maisi sasuduik dikarenakan syarat yang mesti di penuhi oleh laki-laki  yaitu melengkapi isi kamar perempuan, paling sedikit : tempat tidur, kasur, meja rias, lemari, selebihnya di sesuaikan dengan kesanggupan dari pihak laki-laki.
Tradisi maisi sasuduik hanya bersifat adat salingka nagari yang artinya tradisi ini hanya berlaku di wilayah yang di sebutkan sebelumnya. Jika ada pernikahan yang beda nagari serta berbeda adat nya dan berbeda luhak, tradisi ini boleh ada boleh juga tidak akan tetapi harus ada kata mufakat dari kedua belah pihak yang akan menikah. Seiring dengan sisitem yang di anut oleh masyarakat Minangkabau yaitu matrilinear, hal ini berakibat sang suami harus tinggal di rumah mertuanya sehingga maisi sasuduik dirasa perlu.
Perkara maisi sasuduik disampaikan waktu acara manaiakan siriah atau disebut juga makan lamang, atau manjarah. Waktu pelaksanaan ini kurang lebih dua bulan atau paling lambat satu bulan sebelum diadakannya akad nikah, sehingga maisi sasuduik selain menjadi syarat pernikahan juga menjadi tanda mula baso rencana pernikahan kedua belah pihak alah samo-samo direstui dan indak diungkai lai atau masalah dikudian ari sebelum acara akad berlangsungÂ
mangkanya maisi sasuduik menjadi penentu keluarga mana yang memulai masalah. Katiko isi sasuduik dikaluaan sarato dibaliakan ka pihak nan laki-laki mangko disimpulkan baso pihak padusilah nan maungkai janji, atau sabaliaknyo kok isi sasuduik indak dibaliakan mangko pihak laki-lakilah nan maungkai jani.
Maisi sasuduik juga menandakan bahwa sanya laki-laki tersebut memang berniat untuk meminang perempuan tersebut. Sebenarnya adat maisi sasuduik ini tidak akan merugikan pihak laki-laki, karena isi kamar perempuan yang telah diisi oleh pihak laki-laki  akan mejadi milik dari laki-laki itu juga, laki-laki juga yang akan memakai kamar tersebut. Sementara itu pihak perempuan juga harus membayar uang jemput kepada mamak dari pihak laki-laki.Â
Jadi sebenarnya adat ini dibuat untuk menguntungkan satu sama lai bukan untuk merugikan salah satu pihak atau menguntungkan salah satu pihak saja. Adat yang akan dipakai atau dilaksanakan tergantung oleh kesepatan antar dua belah pihak keluarga si mempelai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI