Salah satu program CSR yang dapat mengadopsi pendekatan pengembangan komunitas dalam mewujudkan SDGs-12 adalah program pengelolaan limbah organik maupun non-organik. Program pengelolaan limbah memiliki kaitan erat dengan tujuan 'Produksi dan Konsumsi yang Bertanggung Jawab' sesuai dengan SDG-12. Target utama dari pencapaian SDG ini adalah penurunan jumlah limbah yang dihasilkan masyarakat dan peningkatan pengolahan limbah tersebut sehingga mewujudkan zero waste atau tidak ada sampah. Pengolahan limbah yang efektif dan efisien dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dan mengurangi dampak negatif limbah terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, pengolahan limbah juga dapat mendukung pemulihan dan penggunaan kembali sumber daya, sehingga dapat membantu mengurangi konsumsi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Terdapat dua jenis limbah. Yaitu limbah organik dan anorganik. Para ahli telah memaparkan sejumlah bahaya dari kedua jenis limbah tersebut. Limbah organik dapat menjadi sumber patogen bagi manusia dan hewan ( Abia et al., 2019), menyebabkan produksi gas metana (Pongrcz et al., 2019), menimbulkan bau tidak sedap (Chen et al., 2018), menghasilkan senyawa kimia berbahaya (Asnani et al., 2021), dan mengurangi kualitas lingkungan hidup (Gncolu & zkan, 2018). Di sisi lain, limbah anorganik juga membawa kerusakan bagi kehidupan manusia. Plastik dapat menyebabkan kematian hewan laut dan berdampak negatif pada kesehatan manusia melalui rantai makanan. ( Asnani et al., 2021),
Penyebab utama pemborosan pangan adalah perilaku konsumsi yang dilakukan oleh aktor atau lembaga pada rantai pangan, seperti pedagang, pengangkut, rumah makan, hotel, hingga rumah tangga, dan anggota rumah tangga. Pemborosan pangan pada kegiatan konsumsi bersifat lebih kompleks dengan pelaku yang lebih beragam meliputi pengolah, pedagang/penjual makanan jadi, hotel, hingga konsumen rumah tangga. Perilaku konsumsi meliputi etika makan, jumlah porsi makan, penampilan makanan, pemilihan menu, dan pengaruh kebiasaan makan bersama berpengaruh pada pemborosan pangan (Rahman 2021). Faktor perilaku pemborosan pangan yang didasarkan pada budaya masyarakat Indonesia, antara lain kebiasaan makan bersama, penyediaan pangan untuk sebuah acara berlebihan karena ada perasaan malu bila terjadi kekurangan konsumsi, budaya yang menyertakan makan bersama dalam berbagai kegiatan seperti rapat/musyawarah, reuni, lamaran, syukuran, dan sebagainya.
Berdasarkan pengamatan khusus terhadap perilaku konsumen, Ruwayari (2021) menemukan penyebab pemborosan pangan adalah:
1. Membeli dan menyiapkan makanan terlalu banyak dan kurang memperhitungkan kebutuhan sehingga berpeluang menyisakan bahkan membuang makanan;
2. Kesalahan dalam proses industri dan kepatuhan terhadap kebijakan keamanan makanan mengakibatkan kualitas keamanan pangan tidak terpenuhi dan akhirnya pangan banyak dibuang;
3. Kendala manajerial berupa teknis yang kurang tepat, keuangan yang tidak memadai dan kesulitan teknis dalam hal metode
panen, penyimpanan, dan masalah pendinginan dalam kondisi cuaca buruk, pemrosesan, pengemasan, infrastruktur, dan sistem pemasaran yang menyebabkan kerusakan dan pembuangan pangan
4. Penyiapan makanan yang berlebihan di restoran, hotel, dan industri jasa makanan sebagai bentuk antisipasi pelanggan yang tinggi dan pertimbangan economic of scale, yakni skala produksi yang besar akan menghasilkan biaya produksi per satuan menjadi lebih rendah;
5. Over-merchandising dan over-ordering di toko makanan dan supermarket dalam rangka display yang tinggi dengan berbagai item untuk menarik pelanggan mengakibatkan makanan berpotensi besar kadaluarsa, sedangkan penyimpanan di toko atau supermarket dengan masa simpan terbatas sehingga beberapa di antaranya akan tetap tidak terjual. Selain itu, perilaku konsumen yang cenderung memilih-milih makanan yang berpenampilan dan kualitas baik mengakibatkan makanan yang kurang menarik dan dinilai kurang berkualitas akan dibuang.
Pemborosan pangan pada proses distribusi terjadi akibat penggunaan peralatan yang rusak, penyimpanan yang terlalu lama pada satu tempat, packing yang kurang aman, dan transportasi yang jauh dan sulit. Pada proses pemasaran, pemborosan pangan terjadi akibat penyediaan yang berlebih dan penyimpanan barang dalam waktu lama. Kualitas tempat penyimpanan yang rendah mengakibatkan terjadi kerusakan pangan. Akibatnya, seringkali dilakukan pemusnahan produk akibat pemesanan yang berlebihan dan kadaluarsa (Zuckerman 2020). Bappenas (2021b) mengidentifikasi terdapat 10 faktor penyebab langsung terjadinya kehilangan dan pemborosan pangan di Indonesia, yaitu (1) kurangnya implementasi good handling practice (GHP), (2) kualitas ruang simpan yang kurang optimal, (3) kelebihan porsi dan perilaku konsumen, (4) keterbatasan teknologi, (5) teknik pemanenan yang kurang baik, (6) kualitas kemasan atau wadah yang buruk, (7) misinterpretasi waktu kadaluarsa, (8) penyiapan bahan pangan yang belum optimal, (9) waktu panen yang kurang tepat, dan (10) produksi berlebih.
Faktor penyebab (3), (6), (7), (8), dan (10) terkait erat dan langsung dengan pemborosan pangan. Sementara itu, faktor tidak langsung adalah (1) standar kualitas pasar dan preferensi konsumen, (2) kurangnya informasi/edukasi pekerja pangan dan konsumen, (3) persaingan pasar dan keterbatasan daya beli konsumen, (4) keterbatasan infrastruktur, dan (5) kurangnya regulasi sampah makanan. Faktor ini mencakup kondisi ekonomi, budaya, dan politik dari sistem pangan yang memengaruhi aktor di rantai pasok pangan dalam beroperasi.
Mengamati berbagai faktor penyebab pemborosan pangan di atas, titik kritis pemborosan terdapat pada proses pemasaran oleh pedagang makanan; baik di pasar (eceran dan grosir), toko, restoran, hotel, warung, maupun katering. Pemborosan terjadi pada upaya meningkatkan volume pemasaran dan kualitas pelayanan. Penyimpanan pangan yang diproduksi maupun yang tersisa banyak berakhir dengan pembuangan pangan yang merugikan, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Demikian pula pemborosan pangan yang dilakukan oleh rumah tangga dipengaruhi oleh banyak faktor yang terkait dengan aspek teknis, ekonomi, sosial, dan budaya. Pengenalan titik kritis ini menjadi kunci strategis dalam upaya menekan pemborosan pangan.
1.2 TUJUAN PENELITIAN
1. Mengeksplorasi peran pedagang kaki lima dalam mempromosikan konsumsi dan produksi berkualitas guna mencapai keberlanjutan dalam konteks modern.
2.1 WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN
- Waktu : pukul 11.00 wib s/d 15.00 wib
- Lokasi Wawancara : Pedagang UMKM yang ada di Jln. Bunga Raya
Kota Medan merupakan kota yang terkenal dengan wisata kulinernya. Beragam kuliner yang sudah ada sejak puluhan tahun dan hingga saat ini terus menjadi makanan yang diburu ketika bertandang ibukota Sumatera Utara (Sumut) ini. Mulai dari kuliner-kuliner utama seperti soto, mi Aceh, dan lainnya, Medan juga menawarkan menu-menu yang cocok untuk menjadi oleh-oleh. Selain itu, Â Kota Medan juga terdapat banyak pedagang-pedagang kaki lima. Salahsatunya ada di Jln. Bunga raya merupakan salah satu kecamatan yang ada di medan sunggal, kabupaten kota medan, provinsi Sumatera utara, Indonesia. Â
2.2 Pembahasan
Dalam penelitian ini wilayah yang menjadi objek penelitian adalah wilayah Asam kumbang kecamatan medan sunggal dengan narasumber beberapa pemilik warung di wilayah tersebut. Wilayah ini adalah salah satu wilayah di kota medan dengan pedagang yang menjadi bagian dari produksi pangan. Hal yang dilakukan sebagai UMKM yang berkontribusi dalam mendorong konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab para pedagang kaki lima mengisi Kembali bahan baku mereka setelah bahan baku tersebut benar-benar habis terjual. Hal ini dilakukan selain untuk menghindari adanya kerugian juga untuk menghindari terbuang bahan baku tersebut. Selain itu, langkah-langkah yang telah dilakukan untuk memastikan produk yang dijual sesuai dengan standart keberlanjutann perkembangan untuk jangka panjang dalam usaha adalah membuat inovasi baru seperti tambah-tambahan menu yang sesuai permintaan konsumen.
Namun masih ada keluhan konsumen karena ketidaksesuaian pemesanan yang menyebabkan kerugian juga menjadi sisa hingga harus dibuang. Untuk beradaptasi dengan perubahan trend konsumsi di pasar para pedagang kaki lima membuat inovasi terbaru  yang dapat menarik pelanggan Kembali. Royalitas terhadap pelanggan dan mempertahankan kualitas produk masih menjadi cara yang paling masif dilakukan oleh para pedagang untuk dagangan untuk konsumen tetap berlangganan. Dan royalitas untuk mempertahankan harga dagangan agar pembeli kembali.
Dampak positif keberadaan pedagang kaki lima bagi ekonomi lokal. Pedagang kaki lima umumnya mempekerjakan orang-orang dari lingkungan sekitar, sehingga membantu meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengangguran. Kontribusi pedagang kaki lima dalam menjaga budaya kuliner lokal. Pedagang kaki lima seringkali menjual makanan tradisional yang tidak mudah ditemukan di restoran atau supermarket.
Pentingnya peran pemerintah dalam mendukung pedagang kaki lima. Pemerintah dapat membantu pedagang kaki lima dengan menyediakan akses ke pelatihan, pendanaan, dan infrastruktur yang lebih baik.
Peran penting pedagang kaki lima jalan Bunga Raya Medan dalam mendukung konsumsi dan produksi pangan yang Bertanggung jawab. Pedagang UMKM. Di jalan Bunga Raya Medan memainkan peran penting dalam mendorong konsumsi dan produksi pangan yang bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan beberapa temuan, pedagang kaki lima melakukan berbagai upaya untuk memastikan produk yang di jual sesuai dengan standar kelanjutan. Upaya-upaya ini termasuk mengisi kemabali bahan baku setelah habis terjual, membuat inovasi baru seperti penambahan menu, dan menjaga kualitas produk. Pedagang UMK beradaptasi dengan perubahan trend konsumsi dengan berbagai cara. Hal ini termasuk membuat inovasi baru yang menarik pelanggan dan menjaga royalitas terhadap pelanggan dan menjaga royalitas terhadap pelanggan dengan mempertahankan kualitas produk dan harga. Peagang UMKM memiliki peran penting dalam menyediakan akses pangan bagi Masyarakat, terutama bagi Masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli. Hal ini karena pedagang UMKM umumnya menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan supermarket atau restoran. Meskipun memiliki peran penting, pedagang UMKM di jalan Bunga Raya Medan juga menghadapi beberapa tantangan, seperti keluhan konsumen dan perubahan trend konsumsi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, pedagang kaki lima perlu terus berinovasi meningkatkan kualitas produk dan layanannya. Penelitian ini memberikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu menganalisis lebih mendalam tentang peran pedagang kaki lima dalam ketahanan pangan di kota medan. Meneliti strategi pedagang UMKM dalam menghadapi persaingan dengan jenis usaha lain. Mempelajari dampak sosial dan ekonomi dari keberadaan pedagang UMKM di Jalan Bunga Raya Medan. Pedagang kaki lima di jalan bunga raya merupakan bagian penting dari sistem pangan di kota medan. Mereka memainkan peran penting dalam menyediakan akses pangan bagi Masyarakat dan mendorong konsumsi konsumsi dan produksi pangan yang bertanggung jawab. Meskipun menghadapi beberapa tantangan, pedagang kaki lima terus beradaptasi adan berinovasi untuk melayani pelanggan dengan lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H