Mohon tunggu...
khairullah aka
khairullah aka Mohon Tunggu... -

senang membaca dan berusaha untuk bisa menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Media Massa Tetap Netral?

16 Juni 2010   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : KHAIRULLAH AKA

06 Juni 2010

Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah di enam kabupaten kota di Provinsi Lampung, digelar serentak tanggal 30 Juni 2010 mendatang. Kurang dari 25 hari lagi, hajatan besar masyarakat Lampung untuk memilih pemimpin mereka 5 tahun kedepan, tinggal mengitung hari.

Pemilihan umum, sudah jamak bagi kita, betapa tidak, dalam 2 tahun belakangan ini saja, sudah dua kali pemilihan kita lewati. Pemilihan anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden wakil Presiden. Masyarakat sepertinya sudah mahfum dan mungkin jengah dengan banyaknya, janji-jani gombal para politisi serta alat peraga kampanye calon yang bertebaran dimana-mana.

Namun, hal itu akan berbanding terbalik dengan media massa. Pilkada justru adalah saat-saat dimana media massa akan meraup banyak keuntungan. Belanja iklan para kandidat, adalah incar dan sangat dikejar oleh media massa, bahkan bagaimanapun caranya.

Bagaimana tidak, ratusan juta bahkan milyaran rupiah, bisa diraup oleh lembaga media massa dalam kurun waktu yang tidak lama. Di Lampung, setidaknya ada puluhan media elektronik dan media cetak yang bakal berebut kue iklat dari para calon bupati atau walikota.

Para kandidat adalah ikan besar yang harus dipancing agar bisa ditangkap dan dinikmati renyah dagingnya. Tentu, berbagai cara dan taktik dilakukan untuk memancing para kandidat agar rela merogoh koceknya bersosialisasi dan memasang iklan.

Terkadang, cara-cara yang digunakan media massa justru merendahkan martabat dirinya sendiri. Ia mengobral diri dengan menawarkan pengawalan dan perlindungan berita-berita negative kandidat bersangkutan. Bahkan saat para kandidat tersebut belum sepeserpun membelanjakan iklannya pada media bersangkutan, berita buruk dan kritikan sudah dicegat duluan.

Protektif berita justru akan semakin kuat, ketika kandidat bersangkutan sudah memasang iklan dimedia tersebut. bisa kita liat dan saksikan, berita di media massa seperti, Koran atau televisi yang sudah menayang iklan salah satu atau beberapa kandidat. Jangan harap kita akan melihat berita kritikan atau

Berita yang berbau tidak sedap. Kalau pun ada, berita tersebut sudah dibungkus dengan sangat rapi dan tidak bisa tercium bau busuknya.

Media massa merupakan corong utama pencitraan bagi politisi. Media massa menjadi jembatan dari kepentingan politik. Melalui iklan, politisi mempresentasikan slogan dan visi/misi, reportase, karya investigatif dan opini beraroma keberpihakan. Media massa kemudian menjadi wahana untuk ’memutihkan’ berbagai isu negatif yang berkembang sekaligus menjadi wadah untuk menyerang pihak lawan.

Kemampuan media massa dalam mengarahkan opini dan pilihan sikap public, ditangkap oleh para kandidat dan dijadi sarana untuk menguarakan manisnya sikap dan tindak tanduk mereka yang jika dilihat dalam kehidupan mereka yang nyata, sangat bertolak belakang.

Uang memang bisa membeli segalanya. Walaupun tidak semua media massa bisa dibeli. Namun, secara alamiah, keinginan untuk bekerjasama dan saling menguntungkan antara pebisnis media massa dengan para politisi, tidak bisa dinafikan.

Iklan adalah makanan utama media massa agar bisa hidup lebih lama, dan pada masa pilkada, iklan dari para kandidat kepada daerah dan wakil kepala daerah, adalah kue lezat 5 tahunan, yang harus didapatkan. kerjasama yang saling menguntungkan, tentu tidak ada larangan.

Akan tetapi ketika masyarakat, mengharapakan informasi sebanyak-banyaknya tentang siapa kandidat yang layak mereka pilih, justru ditutupi oleh berita-berita manis yang jauh dari sebenarnya. Maka media massa sudah menanggung dosa.

Sebagai pilir ke-4 demokrasi, seyogyanya media massa, tetap pada khittahnya. Menyuarakan kebenaran dengan benar, walau terdengar klise, tapi sesungguhnya, itulah yang bisa membuat bangsa kita bermartabat dalam segala hal.

Jika uang sudah membutakan mata media massa, runtuhlah pilar penyangga terakhir. Dan yang tertimpa reruntuhan itu adalah masyarakat luas. Memang, idealisme itu sangat sulit ditegakkan, perjuangan berbalut “kemiskinan” dan kebangkrutan mungkin itu yang akan didapat perusahaan pengelola media massa.

Tetapi jika semua media massa, merasa uang adalah segalanya dan hanya menayangkan atau menerbitkan berita-berita pesanan, dari mereka yang memiliki kekuasaan, dan kekayaan, maka kita akan tetap terpuruk, terhempas dan runtuh dalam ketidak pastian.

Dan bangsa ini, Provinsi ini, Kabupaten ini, akan terus begini. Kemajuan dan kemakmuran hanya akan menjadi dongeng, yang hanya bisa kita cicipi didunia khayal. Atau bahkan mungkin berkhayal dan bermimpi untuk memiliki pemimpin pun kita sudah tidak bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun