Mohon tunggu...
khairullah aka
khairullah aka Mohon Tunggu... -

senang membaca dan berusaha untuk bisa menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menengahi Polemik Patung dan Jalan

21 Desember 2011   11:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik pembangunan patung Zaenal Abidin Pagar Alam, dan pergantian nama-nama jalan protokol kota Kalianda, kabupaten Lampung Selatan terus bergulir. Sejumlah elemen masyarakat lokal melakukan penolakan dengan cara berunjukrasa dan menyampaikan langsung keberatan atas rencana tersebut ke Pemerintah Daerah.
Hingga saat ini, belum ada indikasi pembangunan patung kakek dari bupati Rycko Menoza, atau ayah dari gubernur Lampung, Syahroedin ZP, itu akan dihentikan. Begitu juga dengan pergantian sejumlah nama-nama di jalan utama kota kecil ini. Pemerintah daerah bergeming dan bersikukuh untuk melanjutkan berjalannya konsep kota Kalianda Modern yang dicanangkan bupati.

Sama halnya dengan masyarakat yang menolak, tidak terlihat ada upaya untuk menghentikan laju pemrotesan atas pembangunan patung dan pergantian nama jalan. Menurut mereka, membangun patung Zainal Abidin Pagar Alam dan mengganti nama jalan protokol dengan nama lain diluar tokoh-tokoh yang berjasa atas berdirinya kota ini, merupakan penghinaan dan pengabaian sejarah.

Saya yakin, riak atas pro dan kontra terhadap pembangunan patung dan pergantian nama jalan ini akan terus menggeliat dan jika tidak diredam, saya yakin, riak akan menjadi gelombang yang mampu menggulung jalannya roda pemerintahan yang sejak awal mulai menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik. Kita tidak ingin hal itu terjadi. Diperluakan kearifan semua pihak dalam memandang dan menyelesaikan persoalan ini.

“Menyamakan sudut pandang”

Jika sudut pandang berbeda, bagaimana kuatnya pun upaya kita menyatukan visi, itu akan sia-sia. Yang sepatutnya dilakukan sekarang adalah menyamakan persepsi, tentang seberapa perlunya pembangunan patung, apa faedahnya dan mengapa harus Zainal Abidin Pagar Alam yang dibuatkan monumen. Kemudian, mengapa nama jalan harus diganti, apakah ada kait langsung nama jalan dengan upaya pembangunan kota? Dan apakah tokoh diluar pahlawan lokal layak disematkan namanya di kota kecil ini? Sejumlah pertanyaan itu yang menurut saya harus dijawab bersama.

Untuk mengurangi tajamnya perbedaan pandangan, penulis membagi waktu dan era bagi tokoh-tokoh yang berjasa di kabupaten Lampung Selatan, agar memudahkan kita menyeleksi dan menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas dan nilai historinya. Secara umum kita bisa membagi tokoh yang pernah berjasa di kabupaten ini, menjadi tiga kelompok besar, yang pertama, tokoh yang berjasa memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, kedua, tokoh yang berjasa mempertahankan kemerdekaan dan yang ketiga tokoh yang berjasa dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten paling ujung timur Sumatera ini.

“Berbeda Masa dan Era”
Tidak dapat dinafikan lagi nama dan ketokohan Raden Intan II*1 dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah Belanda. Dalam usia 16 tahun Raden Intan II dinobatkan sebagai Ratu Lampung, setahun kemudian, yakni pada tahun 1851, putra dari Raden Intan Kesuma Ratu II ini memulai perlawanannya terhadap Belanda. Pada tahun yang sama, sebanyak 400 pasukan penjajah eropa ini berhasil dihalau keluar dari garis pertahanan benteng merambung.

Tahun 1856, Belanda kembali mengirimkan pasukan dengan kekuatan sembilan kapal perang, dengan tiga buah kapal pengangkut yang dipimpin oleh empat Kolonel. Serangan besar-besaran penjajah ini dihadapi pasukan Raden Intan II dengan cara gerilya. Merasa kebingungan, belanda menjalankan stategi licik. Raden Intan II disergap saat bertemu bawahannya. Raden Intan II mengerahkan segala kemampuan melawan serangan belanda. Namun karena jumlah dan senjata yang tak seimbang. Singa Lampung tersebut akhirnya gugur pada tanggal 5 Oktober 1856 dalam usia 22 tahun.

Raden Intan II telah tiada, namun semangat juangnya masih dirasakan oleh masyarakat Lampung. dan pameo yang masih terus hidup diingatan tiap warga Lampung, adalah pertanyaan beliau kepada sang ibu, "api ubatne liyom indukku? Mati anakku." Tokoh sekaliber Raden Intan amat wajar mendapat penghormatan yang luar biasa. Penghormatan itu diwujudkan dengan ditetapkannya nama beliau sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Setelah zaman kemerdekaan, atau dalam rentan waktu 1945 hingga 1949, Muncul nama Kolonel Makmun Rasyid*2. Tercatat dalam buku sejarah, komandan pasukan pembela kemerdakaan yang pada waktu itu masih berpangkat Letnan Muda, memimpin langsung pertahanan atas invasi kedua pasukan belanda di Lampung. Lima jam pertempuran di kota Kalianda, menjadi kisah perjuangan yang hingga kini masih segar diingatan warga Kalianda. Puluhan prajurit muda gugur mempertahankan kota Kalianda dari tangan penjajah yang ingin kembali mencengkramkan kuku kuasaan mereka di Tanah Air.

Tanggal 21 Maret 1949 sekira Pukul 02:00 dini hari pasukan marinir belanda mendarat di kelurahan Way Urang, Kalianda. Dengan senapan otomatis membombardir kota yang dijaga sejumlah prajurit. Pertempuran tak imbang pun terjadi hingga pukul 07:00 pagi. Pasukan Makmun Rasyid mundur dan bertahan di benteng Pematang. 14 prajurit gugur, sementara sembilan tentara belanda tewas dan 11 lainnya luka-luka. Peristiwa heroik ini kemudian dikenang sebagai Pertempuran Lima Jam di Kalianda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun