Mohon tunggu...
Braga InsaN
Braga InsaN Mohon Tunggu... wiraswasta -

Follow My Twitter @irulinsan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ramadhan dan Mudik di Mata Mualaf

29 Juni 2014   07:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:20 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RAMADHAN DAN MUDIK DI MATA MUALAF

Bagaimana jika tradisi mudik lebaran Idul Fitri dihilangkan saja? Sebagai gantinya bagaimana jika tradisi mudik diganti waktunya sebelum Ramadhan tiba saja? Bagaimana jika untuk menjembatani hal itu pemerintah mengeluarkan kebijakan atau setidaknya himbauan?

Sungguh menarik Tarawih pertama Saya Ramadhan tahun ini. Seperti Ramadhan pada umumnya. Setiap tahun Masjid di Komplek rumah selalu dibanjiri jamaah untuk melaksanakan Tarawih bersama. Apalagi hari pertama Tarawih yang bertepatan dengan hari Sabtu. Maka tumplek bleklah masjid.

Seperti Tarawih pada umumnya. Biasanya selalu ada kegiatan ceramah oleh Ustad yang dilakukan selepas Shalat Isya dan menjelang Tarawih berlangsung. Namun yang agak luar biasa buat saya kali ini adalah penceramahnya. Yang berceramah ternyata adalah seorang Mualaf. Hal itu saya ketahui setelah Ustad yang bersangkutan menyatakan dirinya Mualaf di sela tausiah yang ia berikan. Namun bukan kemualafannya yang membuat unik. Tapi sudut pandang Ustad (mualaf) ini tentang tradisi mudik yang menurut saya orisinil.

Ada pemikiran yang menggelitik saya ketika Ustad (saya lupa namanya) memberi usul agar aktifitas mudik diganti saja waktunya sebelum Ramadhan. Sekilas usulan tersebut mungkin terdengar ringan. Namun dalam pemikiran saya saat itu terdengar agak nyeleneh.

Dalam hati saya berkata bukankah aktifitas mudik muncul lantaran kita Umat Muslim ingin merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga kita agar bisa bersilaturahim bermaaf-maafan ketika lebaran berlangsung. Dalam hati saya menambahkan, kok bisa ya Ustad itu mempunyai pandangan serupa tersebut. Apalagi Ustad itu menambahkan hendaknya pemerintah melalui badan yang berwenang memberi himbauan (paling tidak) agar Umat Muslim tanah air tidak melakukan kegiatan mudik menjelang lebaran dan menggantinya dengan mudik menjelang Ramadhan saja. Alasannya tapi cukup masuk akal jika direnungkan. Karena ritual mudik menjelang lebaran justru merusak konsentrasi umat muslim di Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa khususnya sepuluh hari akhir Ramadhan.

Jika alasan mudik adalah untuk bertemu sanak saudara agar dapat saling maaf-memaafkan di hari Idul Fitri, maka menurutnya (Ustad)  hal itu lebih baik dilakukan pada sebelum Ramadhan. Terkait dalil tersebut sang Ustad menyebutkan sebuah ayat yang saya lupa detilnya. Karena meminta maaf dan memaafkan akan lebih baik jika dilakukan sebelum Ramadhan. Ketika Idul Fitri tiba, seharusnya dijadikan ajang penutupan Puasa Ramadhan saja. Karena sesuai maknanya, bahwa Idul Fitri adalah hari dimana kita Umat Muslim meraih Fitrah setelah sebulan penuh berpuasa. Itu substansi hari Idul Fitri setidaknya menurut saya agar jika salah biarlah saya yang salah saja tanpa menyalahkan pihak lain. hehehehee

Sebagaimana kita tahu bersama bahwa di waktu sepuluh hari akhir Ramadhan diwajibkan bagi kita untuk beritikaf di masjid sebagai mana Sunah Rasulllah Muhammad SAW. Nah, bagaimana mau konsentrasi beritikaf jika justru pada sepuluh hari akhir Ramadhan tersebut, sebagian umat Muslim di tanah air justru disibukkan dengan tradisi mudik. Ditambah lagi dengan tradisi persiapan mudik yang banyak menguras tenaga, materi dan pikiran kita. Boro-boro mau beritikaf. Alhasil (menurut Ustad) gugurlah pencaipaian predikat Takwa yang diimpi-impikan mayoritas kita, seperti yang termaktub pada salah satu ayat dalam surat Al Baqarah.

Saya telah banyak mendengar ceramah terkait tema Ramadhan oleh banyak kalangan. Kebanyakan mereka sangat menyayangkan fenomena mudik yang kerap merusak nilai ibadah puasa Ramadhan. Namun kabanyakan pula hanya menyarankan untuk mempertebal ketakwaan masing-masing kita, agar tak tergoda untuk masuk dalam pemikiran mainstream tersebut.

Berbeda dengan Ustad Mualaf yang saya temui ini. Dalam penuturan mimik muka dan bahasa tubuhnya (yang sulit saya gambarkan), saya menangkap kekecewaan yang mendalam dari Ustad tersebut atas fenomena itu. Bahkan yang bersangkutan menyayangkan aksi diam pemerintah dengan fenomena tersebut. meski tak harus mengeluarkan larangan, namun hendaknya ada himbuan dari badan terkait untuk bermanuver demi kebaikan Umat muslim di Indonesia terkait fenomena mudik itu. Menurut sang Ustad.

Disini (menurut saya) orisinalias pemikiran Ustad Mualaf itu. Karena untuk kita yang terlahir Muslim, fenomena mudik menjadi hal yang sudah mendarah daging. Maka terlepas mudik dapat merusak kegiatan ibadah Ramadhan, pada akhirnya kita kembalikan kepada masing-masing kita. Kasarnya begini, kalo mau masuk surge ya harus berkorban tidak memikirkan mudik dan konsentrasi penuh beritikaf di sepuluh hari terakhir.

Tapi apa segampang itu?? Tentu tidak, karena kita hidup berkeluarga. Dalam keluarga mungkin ada satu dua yang beruntung mendapat hidayah tersebut. tapi sebagian yang lain belum tentu. Alhasil maka mau tidak mau, mengesampingkan kegiatan mudik akan menorehkan kekecewaan pada sebagian anggota keluarga yang lain. Itu baru di tingkat keluarga. Belum lagi di lingkungan social yang lebih luas. Jika ada langkah konkrit dari pemerintah untuk merubah tradisi ini (meski rasanya sulit), saya rasa akan berbeda.

Seorang Mualaf tentu berbeda dengan kita yang terlahir Muslim. Sudah umum jika hidayah nikmat Islam sudah menyentuh hati seorang Mualaf, maka sang mualaf cenderung lebih mendalami keislamannya bahkan dibanding muslim ‘tulen’ sekalipun. Apalagi terkait Ustad Mualaf yang saya ceritakan. Sebelumnya Ia adalah seorang penceramah pada salah satu Agama yang diakui keberadaannya di negeri ini. Maka tentu tak sembarang jika ia berpaling menjadi Mualaf. Butuh proses pendalaman lebih karena hidayah yang diperolehnya berdasarkan proses yang ketat.

Sebelum menjadi Mualaf, tentu Ia tak mengalami fenomena mudik lebaran. Atau setidaknya tak memahami secara mendalam tentang faedah ritual mudik tersebut dalam kaidah Islam. Maka wajar sekali jika sang Ustad (setelah mualaf) jadi heran dengan ritual tahunan Umat Muslim tanah air tersebut. saya sendiri yang Muslim dari lahir merasa memang ada yang salah dengan fenomena tersebut. Namun apa daya. Akhirnya seperti yang saya katakan sebelumnya. Keputusan dikembalikan kepada masing-masing individu. Mau masuk surga ya harus berkorban. Tapi bukankah pemerintah bisa menjembatani hal ini. Bukankah di belahan dunia lain yang mayoritas muslim berada tak memiliki ritual mudik menjelang Lebaran seperti di Indonesia?? jika tak menghilangkan substansi dari nilai ibadah, mengapa Pemerintah tak mengambil langkah untuk merubahnya??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun