Mohon tunggu...
Khairul Hamzah
Khairul Hamzah Mohon Tunggu... Segment Management Specialist -

Al Faqir Ilallah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

TKI Dirazia, TKI Semakin Menderita

29 Januari 2014   13:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13909812791895697904

[caption id="attachment_319036" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi/Admin (batam.tribunnews.com)"][/caption] Dalam sebuah kesempatan, saya pernah ngobrol-ngobrol ringan dengan Pak Haji Sakerah (nama disamarkan) di sebuah kantin di sebuah “kongsi” (*tempat permukiman sederhana di area konstruksi) yang terletak di dalam area ladang kelapa sawit, pedalaman Selangor, Malaysia.

Dilihat sepintas, mungkin tak ada yang menyangka jika di tempat terpencil di tengah rimbun kelapa sawit seperti itu terdapat kongsi yang dihuni ribuan orang di mana mereka berprofesi sebagai buruh pada tapak-tapak pembangunan tak jauh dari tempat itu. Permukiman tersebut ilegal, dan status mereka pun sebenarnya adalah pekerja ilegal. Dan ternyata, mayoritas dari pekerja ilegal dan penghuni permukiman ilegal tersebut adalah Warga Negara Indonesia.

Topik kami ketika itu seputar rencana operasi yang akan dilancarkan pemerintah Malaysia untuk memburu dan menangkap PATI (Pendatang Asing Tanpa Izin) di seluruh wilayah Malaysia.

Pak Haji Sakerah adalah pemilik kantin dan sekaligus sebagai “ketua” penduduk di situ, jadi beliau sangat tanggap dan prihatin dengan apa pun informasi yang menyangkut warganya.

Menyikapi Operasi Pemerintah Malaysia kali ini Pak Haji cukup khawatir, meskipun bukan pertama kali beliau menghadapi dan mengalami kejadian serupa, tapi selama ini beliau bisa selesaikan dengan aman karena beliau punya jalur “khusus”, tapi kali ini operasi dilakukan lebih intens dan masif, melibatkan banyak pihak seperti Polisi, Imigrasi dan Juga RELA (semacam Hansip), jadi jalur khusus tadi sepertinya sulit ditempuh.

“Sekarang ndak bisa main-main Dik...,” keluhnya dengan logat Madura yang masih sangat kental.

“Orang-orang bapak terpaksa duduk (*tinggal) dalam hutan,” sambungnya

“Hutan?... maksudnya tinggal di situ untuk bersembunyi Pak ya?” sahutku untuk meyakinkan

“Ya iya Dik.... Kalau ndak gitu bisa bahaya Dik. Bisa kena angkut lori (*truk) mereka...,” jelas beliau.

Saya terkesima mendengar cerita beliau, bagaimana ratusan orang terpaksa “mengungsi” sementara ke dalam hutan, tidur dan tinggal di sana untuk menghindari operasi yang biasanya dilakukan saat mereka terlelap tidur. Yang lebih memprihatinkan ada di antara mereka yang terpaksa membawa bayi dan anak-anak.

Dengan hati-hati saya bertanya kepada Pak Haji, kenapa mereka bisa illegal, dan mengapa mereka tidak memilih jalur yang resmi sehingga mereka tidak perlu menghadapi kondisi seperti ini.

Pak Haji menjabarkan bahwa sebenarnya mereka tidak ada yang sengaja berniat untuk illegal. Pada dasarnya mereka itu mudah percaya dan penurut, ditambah lagi kebutuhan akan pekerjaan yang mendesak sehingga ketika mendengar ada peluang pekerjaan di Malaysia mereka segera terima tanpa pikir panjang. Ditambah lagi mereka mendengar ada kerabat atau tetangga yang sudah berhasil di Malaysia, akhirnya mereka kurang memperhatikan persyaratan-persyaratan untuk menjadi pekerja legal, yang penting mereka segera dapat pekerjaan.

Biasanya mereka datang ke Malaysia dengan menggunakan visa pelancong (tourist visa) yang berlaku untuk sebulan. Belakangan mereka baru menyadari bahwa sebenarnya mereka tidak boleh menggunakan visa turis tersebut untuk bekerja. Tapi apa lacur, mereka sudah kadung berangkat dengan biaya yang tidak sedikit. Bahkan ada yang rela menjual sawah dan ternak untuk biaya keberangkatan.

Ditambah lagi ternyata mereka mendapati bahwa saudara-saudara mereka juga mengalami nasib yang sama tapi tetap bisa mendapat peluang pekerjaan meskipun berstatus illegal, akhirnya mereka berkesimpulan daripada pulang dengan tangan kosong lebih baik tetap bertahan dengan segala resikonya.

Sebenarnya pemerintah Malaysia beberapa kali memberikan keringanan berupa “pemutihan”, artinya mereka yang berstatus illegal tadi bisa menjadi legal dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dan tentu saja dengan sejumlah biaya yang ditetapkan oleh pemerintah Malaysia.

Akan tetapi, menurut pengakuan dari Pak Haji, mereka selalu menjadi korban penipuan. Setelah persyaratan-persyaratan dipenuhi dan ribuan ringgit sudah diserahkan, mereka tidak kunjung menerima “permit” yang dijanjikan. Uang lenyap, permit tak dapat. itulah yang sering terjadi. Nah, pengalaman inilah yang menjadikan mereka trauma dan apatis, tidak tahu lagi siapa yang layak mereka percaya.

“Bukan hanya tiga atau empat ribu ringgit Dik... sepuluh ribu pun kami bisa bayar.. tapi asal betul.. asal ndak nipu Dik!” keluh pak Haji

“Kalau slalu begini caranya, nanti clurit bisa main Dik!” sergah pak Haji seolah ingin melepaskan geramnya.

Begitulah fenomena warga Indonesia yang terpaksa menyabung nyawa di Malaysia. Peristiwa tersebut bukanlah peristiwa ganjil ataupun “special case”, akan tetapi ia sudah menjadi peristiwa jamak yang selalu dan berulang-ulang terjadi. Saking biasanya jugalah kita seolah menjadi kebal rasa dan kehilangan empati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun