Seorang Tiktoker yang tengah belajar di Australia, Bima Yudho Saputro (20) menggemparkan publik pada pertengahan bulan April 2023 ini dengan menyebut provinsi Lampung sebagai provinsi “Dajjal”. Bukan tanpa alasan Bima mengatakan se-ekstrem itu, hal tersebut lantaran kondisi jalan di provinsi tersebut banyak yang rusak dan tidak diperbaiki selama bertahun-tahun. Singkat cerita, kritik Bima lewat akun TikToknya ini mengundang respon dari netizen sampai pemerintah pusat. Bahkan ia sempat dilaporkan oleh seorang pengacara karena diksi “Dajjal” tersebut.
Terlepas dari bagaimana Bima mengkritik daerahnya sendiri di media sosial dan memancing pemerintah pusat untuk turun tangan, lagi-lagi kita disuguhkan fakta bahwa “harus viral dulu” untuk menyelesaikan masalah publik. Pemerintah daerah sering berujar bahwa mereka memiliki mekanisme lapor atau aduan masyarakat yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan masyarakat. Faktanya jika tidak viral yang terjadi justru sebaliknya, tidak diurus apalagi diperhatikan.
Seorang mahasiswa saya bahkan sempat berujar bahwa permasalahan fasilitas publik yang disediakan pemerintah tidak akan diurus kalau tidak ada korban terlebih dahulu. Ia mencontohkan ada salah satu rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat yang terkenal karena “sudah dipastikan meninggal” jika korban masuk rumah sakit tersebut. Tentu saja mahasiswa saya juga tidak sembarangan berbicara karena hal tersebut sudah jadi rahasia umum di kalangan masyarakat tempat ia tinggal. Ada lebih banyak sederet konten dan bukti serupa kasus-kasus di atas jika kita bedah untuk sekedar membungkam mulut pejabat yang kurang bertanggung-jawab terhadap daerah pemilihnya.
Karakteristik Komunikasi Politik 3.0
Blumler dan Kavanagh (1999) seperti yang dikutip oleh Gun-Gun Heryanto (2018) dalam bukunya “Media Komunikasi Politik” menyebut bahwa akan adanya generasi ketiga dalam komunikasi politik, yang mengesampingkan peran media massa dan penyiaran sebagai saluran utama komunikasi politiknya. Hari ini kita dengan jelas dapat melihat ramalan tersebut denga hadirnya internet sebagai saluran utama komunikasi politik atau kita kenal dengan istilah new media. Lanjut lagi menurut Heryanto, para aktor politik, birokrat, aktivis baik kelompok kepentingan maupun penekan mengandalkan internet dan semakin mengadaptasi cara-cara terkini baik yang sifatnya statis maupun dinamis (Heryanto, 2018:24).
Wood dan Smith (2005) dalam bukunya Online Communication menyebut ada dua karakteristik utama internet, yaitu interaktivitas dan multimedia. Interaktivitas berkaitan dengan publisitas konten dan interaksi yang bisa dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Sementara untuk aspek multimedia, pada intinya kita bisa menggunakan media apapun, baik dari handphone, laptop serta aplikasi yang juga beragam mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, bahkan TikTok untuk berpolitik.
Bima memang bukan politisi apalagi pejabat publik. Namun keluhannya soal pembangunan di daerahnya bisa dipandang sebagai aktivitas komunikasi politik mengingat sasarannya adalah Pemerintah Provinsi Lampung yang dirasa sangat tidak memperhatikan kondisi jalan di daerahnya. Menariknya ia melakukan itu dari Australia, tempat ia belajar saat ini dan menggunakan aplikasi TikTok sebagai saluran utama komunikasinya. Cara-cara yang ia gunakan dalam berkomunikasi sangatlah pas dengan defenisi konsep di atas, namun dengan penekanan yang menurut saya lebih luas dan kompleks.
Komunikasi Politik Generasi ketiga nampaknya tidak terlalu kaku dalam memandang siapa aktor yang terlibat didalamnya. Tidak ada lagi batas antara pejabat, birokrat, wartawan, dan rakyat ketika sudah menggunakan internet sebagai saluran komunikasinya. Netizen hari ini adalah warga dunia maya yang berkepentingan sekaligus sebagai penekan terhadap kebijakan pemerintah. Kita tidak lagi peduli siapa yang menyelesaikan masalah, meskipun kita tahu siapa yang harusnya bertanggung-jawab. Contohnya dalam kasus ini, kita tidak terlalu mempermasalahkan Presiden Joko Widodo yang harus turun tangan menyelesaikan masalah dengan menteri-menterinya. Namun kita layak menggugat Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi yang tidak bertanggung-jawab dan memilih untuk bercanda dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono yang justru terlihat “masygul” melihat jalanan rusak.
Dua Sisi Gelap Komunikasi 3.0.
Masalahnya sekarang adalah mengapa Bima harus membuat konten ini viral terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Viralnya konten Bima ini seolah membungkam mekanisme lapor atau aduan masyarakat yang selama ini digunakan pemerintah daerah untuk menampung aspirasi masyarakat terkait fasilitas publik –jika tidak ingin dikatakan “ngeles”-. Selama ini mekanisme lapor atau aduan masyarakat memang berjalan, namun tidak dapat memuaskan semua pihak. Hal ini lantaran mekanisme laporan tersebut ditanggapi berbeda oleh setiap daerah. Ada daerah yang pemerintahnya sigap dalam menanggapi laporan, ada juga yang tidak –yang mungkin terjadi di Lampung-. Selain itu dalam kenyataannya masyarakat tidak pernah tahu kemana aduan itu akan diarahkan. Bahkan ada beberapa kasus yang harus menunggu adanya jatuh korban terlebih dahulu untuk selanjutnya dibenahi oleh pemerintah setempat, seperti cerita salah seorang mahasiswa saya di atas.
Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah ketika aksi cor kaki dengan semen yang dilakukan oleh petani Kendeng, di depan istana kepresidenan untuk memprotes pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah (2017). Seorang petani bernama Patmi (47) meninggal dalam aksi tersebut dan menuai kecaman publik kala itu. Aksi ini dilakukan setelah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menerbitkan izin pembangunan pabrik semen tersebut dan bersikeras bahwa pabrik tersebut tidak menyalahi perizinan. Barulah setelah jatuh korban pemerintah pusat mau turun untuk menangani kasus tersebut dan pada akhirnya penambangan semen dihentikan. Aksi yang mengakibatkan korban meninggal ini harusnya sudah menjadi alarm bagi pemerintah, sayangnya pemerintah mengabaikan hal tersebut hingga jatuh nyawa.
Artinya Komunikasi Politik 3.0 mengandung dua sisi gelap untuk menggugah pemerintah baik pusat maupun daerah untuk bertindak, viral atau jatuh korban terlebih dahulu. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal pemaknaan politik, yaitu sebagai penanda darurat untuk segera ditangani bagi pemerintah. Sialnya hari ini kedua cara tersebut merupakan bentuk komunikasi politik yang sangat diandalkan oleh masyarakat untuk “menggugah hati” pemerintah. Terbukti tanpa kedua cara itu mustahil pemerintah hadir untuk menyelesaikan masalah, terlebih di tahun-tahun politik yang saat ini kita rasakan. Cara-cara tersebut efektif bukan hanya menggugah hati pemerintah untuk bertindak, namun juga mengubah kebijakan secara keseluruhan.
Perlunya Kepekaan Tingkat Tinggi
Pemaknaan terhadap viral atau jatuh korban dalam komunikasi politik 3.0 bukan berarti tidak ada solusi. Namun mekanisme lapor yang selama ini digaungkan utamanya oleh pemerintah daerah pada dasarnya sudah ketinggalan jaman dan kenyataannya terlalu berbelit, berjenjang dan pada akhirnya mengambang tanpa kejelasan. Masyarakat lebih suka memviralkan hal tersebut karena sudah terbukti efektif. Jatuhnya korban juga “ditunggu” bukan hanya masyarakat namun juga sebagai ukuran pemerintah untuk mawas diri.
Sisi gelap dalam komunikasi politik generasi ketiga ini merupakan efek samping yang tidak mudah dicarikan obat maupun penangkalnya. Dibutuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk membenahi masalah-masalah yang terkait dengan publik. Pemaknaan ini rasanya sangatlah tinggi untuk dicerna mengingat pemerintah pusat maupun daerah masih menunjukkan sisi birokratisnya yang berjenjang, sementara kebutuhan masyarakat tinggi terlepas dari kenyataan bahwa saat ini adalah tahun-tahun politik yang kritis. Namun tidak ada cara yang lebih manjur dengan membaca alarm dari masyarakat tersebut dari viralnya permasalahan. Setidaknya cara itu lebih baik daripada menunggu jatuhnya korban yang tentunya semua pihak tidak menginginkannya. Secara praktis komunikasi politik generasi ketiga ini menuntut adanya partisipasi aktif baik dari segi konsumen, produsen, sasaran, dan tujuan kepentingan semua pihak jika tidak ingin korban jatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H