Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah ketika aksi cor kaki dengan semen yang dilakukan oleh petani Kendeng, di depan istana kepresidenan untuk memprotes pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah (2017). Seorang petani bernama Patmi (47) meninggal dalam aksi tersebut dan menuai kecaman publik kala itu. Aksi ini dilakukan setelah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menerbitkan izin pembangunan pabrik semen tersebut dan bersikeras bahwa pabrik tersebut tidak menyalahi perizinan. Barulah setelah jatuh korban pemerintah pusat mau turun untuk menangani kasus tersebut dan pada akhirnya penambangan semen dihentikan. Aksi yang mengakibatkan korban meninggal ini harusnya sudah menjadi alarm bagi pemerintah, sayangnya pemerintah mengabaikan hal tersebut hingga jatuh nyawa.
Artinya Komunikasi Politik 3.0 mengandung dua sisi gelap untuk menggugah pemerintah baik pusat maupun daerah untuk bertindak, viral atau jatuh korban terlebih dahulu. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal pemaknaan politik, yaitu sebagai penanda darurat untuk segera ditangani bagi pemerintah. Sialnya hari ini kedua cara tersebut merupakan bentuk komunikasi politik yang sangat diandalkan oleh masyarakat untuk “menggugah hati” pemerintah. Terbukti tanpa kedua cara itu mustahil pemerintah hadir untuk menyelesaikan masalah, terlebih di tahun-tahun politik yang saat ini kita rasakan. Cara-cara tersebut efektif bukan hanya menggugah hati pemerintah untuk bertindak, namun juga mengubah kebijakan secara keseluruhan.
Perlunya Kepekaan Tingkat Tinggi
Pemaknaan terhadap viral atau jatuh korban dalam komunikasi politik 3.0 bukan berarti tidak ada solusi. Namun mekanisme lapor yang selama ini digaungkan utamanya oleh pemerintah daerah pada dasarnya sudah ketinggalan jaman dan kenyataannya terlalu berbelit, berjenjang dan pada akhirnya mengambang tanpa kejelasan. Masyarakat lebih suka memviralkan hal tersebut karena sudah terbukti efektif. Jatuhnya korban juga “ditunggu” bukan hanya masyarakat namun juga sebagai ukuran pemerintah untuk mawas diri.
Sisi gelap dalam komunikasi politik generasi ketiga ini merupakan efek samping yang tidak mudah dicarikan obat maupun penangkalnya. Dibutuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk membenahi masalah-masalah yang terkait dengan publik. Pemaknaan ini rasanya sangatlah tinggi untuk dicerna mengingat pemerintah pusat maupun daerah masih menunjukkan sisi birokratisnya yang berjenjang, sementara kebutuhan masyarakat tinggi terlepas dari kenyataan bahwa saat ini adalah tahun-tahun politik yang kritis. Namun tidak ada cara yang lebih manjur dengan membaca alarm dari masyarakat tersebut dari viralnya permasalahan. Setidaknya cara itu lebih baik daripada menunggu jatuhnya korban yang tentunya semua pihak tidak menginginkannya. Secara praktis komunikasi politik generasi ketiga ini menuntut adanya partisipasi aktif baik dari segi konsumen, produsen, sasaran, dan tujuan kepentingan semua pihak jika tidak ingin korban jatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H