Mohon tunggu...
Khairul Arief Rahman
Khairul Arief Rahman Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Singaperbangsa Karawang

hobi tidur sambil berpikir tentang kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harus Viral Dulu atau Menunggu Jatuh Korban Kemudian: Sisi Gelap Komunikasi Politik 3.0

13 Mei 2023   22:34 Diperbarui: 13 Mei 2023   22:35 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/

Seorang Tiktoker yang tengah belajar di Australia, Bima Yudho Saputro (20) menggemparkan publik pada pertengahan bulan April 2023 ini dengan menyebut provinsi Lampung sebagai provinsi “Dajjal”. Bukan tanpa alasan Bima mengatakan se-ekstrem itu, hal tersebut lantaran kondisi jalan di provinsi tersebut banyak yang rusak dan tidak diperbaiki selama bertahun-tahun. Singkat cerita, kritik Bima lewat akun TikToknya ini mengundang respon dari netizen sampai pemerintah pusat. Bahkan ia sempat dilaporkan oleh seorang pengacara karena diksi “Dajjal” tersebut.

Terlepas dari bagaimana Bima mengkritik daerahnya sendiri di media sosial dan memancing pemerintah pusat untuk turun tangan, lagi-lagi kita disuguhkan fakta bahwa “harus viral dulu” untuk menyelesaikan masalah publik. Pemerintah daerah sering berujar bahwa mereka memiliki mekanisme lapor atau aduan masyarakat yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan masyarakat. Faktanya jika tidak viral yang terjadi justru sebaliknya, tidak diurus apalagi diperhatikan.

Seorang mahasiswa saya bahkan sempat berujar bahwa permasalahan fasilitas publik yang disediakan pemerintah tidak akan diurus kalau tidak ada korban terlebih dahulu. Ia mencontohkan ada salah satu rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat yang terkenal karena “sudah dipastikan meninggal” jika korban masuk rumah sakit tersebut. Tentu saja mahasiswa saya juga tidak sembarangan berbicara karena hal tersebut sudah jadi rahasia umum di kalangan masyarakat tempat ia tinggal. Ada lebih banyak sederet konten dan bukti serupa kasus-kasus di atas jika kita bedah untuk sekedar membungkam mulut pejabat yang kurang bertanggung-jawab terhadap daerah pemilihnya.

Karakteristik Komunikasi Politik 3.0

Blumler dan Kavanagh (1999) seperti yang dikutip oleh Gun-Gun Heryanto (2018) dalam bukunya “Media Komunikasi Politik” menyebut bahwa akan adanya generasi ketiga dalam komunikasi politik, yang mengesampingkan peran media massa dan penyiaran sebagai saluran utama komunikasi politiknya. Hari ini kita dengan jelas dapat melihat ramalan tersebut denga hadirnya internet sebagai saluran utama komunikasi politik atau kita kenal dengan istilah new media. Lanjut lagi menurut Heryanto, para aktor politik, birokrat, aktivis baik kelompok kepentingan maupun penekan mengandalkan internet dan semakin mengadaptasi cara-cara terkini baik yang sifatnya statis maupun dinamis (Heryanto, 2018:24).

Wood dan Smith (2005) dalam bukunya Online Communication menyebut ada dua karakteristik utama internet, yaitu interaktivitas dan multimedia. Interaktivitas berkaitan dengan publisitas konten dan interaksi yang bisa dilakukan dari mana saja dan kapan saja. Sementara untuk aspek multimedia, pada intinya kita bisa menggunakan media apapun, baik dari handphone, laptop serta aplikasi yang juga beragam mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, bahkan TikTok untuk berpolitik.

Bima memang bukan politisi apalagi pejabat publik. Namun keluhannya soal pembangunan di daerahnya bisa dipandang sebagai aktivitas komunikasi politik mengingat sasarannya adalah Pemerintah Provinsi Lampung yang dirasa sangat tidak memperhatikan kondisi jalan di daerahnya. Menariknya ia melakukan itu dari Australia, tempat ia belajar saat ini dan menggunakan aplikasi TikTok sebagai saluran utama komunikasinya. Cara-cara yang ia gunakan dalam berkomunikasi sangatlah pas dengan defenisi konsep di atas, namun dengan penekanan yang menurut saya lebih luas dan kompleks.

Komunikasi Politik Generasi ketiga nampaknya tidak terlalu kaku dalam memandang siapa aktor yang terlibat didalamnya. Tidak ada lagi batas antara pejabat, birokrat, wartawan, dan rakyat ketika sudah menggunakan internet sebagai saluran komunikasinya. Netizen hari ini adalah warga dunia maya yang berkepentingan sekaligus sebagai penekan terhadap kebijakan pemerintah. Kita tidak lagi peduli siapa yang menyelesaikan masalah, meskipun kita tahu siapa yang harusnya bertanggung-jawab. Contohnya dalam kasus ini, kita tidak terlalu mempermasalahkan Presiden Joko Widodo yang harus turun tangan menyelesaikan masalah dengan menteri-menterinya. Namun kita layak menggugat Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi yang tidak bertanggung-jawab dan memilih untuk bercanda dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono yang justru terlihat “masygul” melihat jalanan rusak.

Dua Sisi Gelap Komunikasi 3.0.

Masalahnya sekarang adalah mengapa Bima harus membuat konten ini viral terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Viralnya konten Bima ini seolah membungkam mekanisme lapor atau aduan masyarakat yang selama ini digunakan pemerintah daerah untuk menampung aspirasi masyarakat terkait fasilitas publik –jika tidak ingin dikatakan “ngeles”-.  Selama ini mekanisme lapor atau aduan masyarakat memang berjalan, namun tidak dapat memuaskan semua pihak. Hal ini lantaran mekanisme laporan tersebut ditanggapi berbeda oleh setiap daerah. Ada daerah yang pemerintahnya sigap dalam menanggapi laporan, ada juga yang tidak –yang mungkin terjadi di Lampung-. Selain itu dalam kenyataannya masyarakat tidak pernah tahu kemana aduan itu akan diarahkan. Bahkan ada beberapa kasus yang harus menunggu adanya jatuh korban terlebih dahulu untuk selanjutnya dibenahi oleh pemerintah setempat, seperti cerita salah seorang mahasiswa saya di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun