Beberapa hari lalu, seorang teman bercerita kalau ia sibuk bekerja sehingga tidak punya cukup waktu untuk mengerjakan skripsi. Skripsi merupakan karya tulis yang menjadi syarat agar mahasiswa lulus dari perguruan tinggi. Dia merasa, dengan kesibukannya bekerja, membuatnya sulit menggarap skripsi. Mendengar cerita teman saya itu, saya lalu mikir, "apa benar seorang mahasiswa yang telah bekerja membuat studi-nya jadi terhambat?"Â
Kebetulan ada beberapa teman saya lainnya yang punya keluhan serupa. Mereka, yang mayoritas bekerja full time di beberapa tempat usaha, merasa kesulitan membagi waktu buat melaksanakan kewajiban akademik, dalam hal ini membuat skripsi. Sehingga skripsi mereka terbengkalai, akhirnya nggak lulus-lulus, dan pada kondisi yang lebih parah, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan menggarap skripsinya, alias ia putus asa dan lebih memilih bekerja sepenuhnya.
Sebelum tulisan ini melangkah lebih jauh. Saya ingin ngomong begini. Bahwa situasi dan kondisi seorang mahasiswa memang berbeda-beda. Misalnya, ada mahasiswa yang orang tuanya kaya raya sehingga ia bisa fokus dalam hal akademik, karena ia tak terlalu memikirkan besok mau makan apa, nanti bayar UKT bagaimana. Setidaknya, ia bisa lebih fokus mengerjakan skripsi, soal ia juga nyambi bekerja saat kuliah, itu urusan lain.Â
Kemudian, jenis mahasiswa yang lain, adalah mereka yang menerima beasiswa penuh selama masa studi. Kondisi mahasiswa seperti ini, ia juga bisa lebih fokus mengurusi 'pekerjaan' akademik. Ia tak terlalu mengkhawatirkan biaya pendidikan, karena sudah ditanggung oleh beasiswa tadi. Kalau toh ia juga nyambi bekerja (baik full time atau part time) untuk menambah kesibukan, misalnya, itu menjadi nilai plus bagi dirinya.Â
Nah, kondisi mahasiswa yang terakhir ini, bisa dikatakan yang paling parah. Mereka berada dalam situasi dan kondisi, misalnya, keluarganya hidupnya sederhana, ia juga tak menerima beasiswa dari mana pun. Sehingga, selain harus membagi waktunya untuk kuliah, ia juga harus mencari duit buat biaya kuliah serta juga menghidupi dirinya sendiri, keluarganya (entah orang tuanya, adiknya, dan lain-lain).
Nah, melihat situasi dan kondisi semacam itu, kita tentu tak bisa membandingkan antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya. Sebab, proses mereka dalam menempuh pendidikan tinggi sangat berbeda-beda. Ada mahasiswa yang mendapatkan dukungan penuh, termasuk dalam hal ini finansial, dari keluarga dan orang tuanya. Ada pula yang harus berjibaku di tempat pekerjaan yang ia jalani: banting tulang demi sesuap nasi.
Lantas, bagaimana dengan para mahasiswa yang kesulitan menyelesaikan skripsinya hanya gara-gara mereka sibuk bekerja. Ini memang hal dilematis menurut saya. Di sisi lain, mereka harus menyelesaikan studi sarjananya, di lain sisi mereka juga dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya.Â
Selama ini, salah satu alasan yang sering dilontarkan para mahasiswa ketika ditanya "kenapa nggak lulus-lulus?" adalah sibuk bekerja. Di lain sisi juga muncul jawaban sibuk berorganisasi, dosen pembimbingnya susah ditemui, dan lain-lain. Tapi, saya nggak akan membahas alasan-alasan yang terakhir itu. Saya lebih menyoroti "ketika sibuk bekerja kemudian dianggap sebagai penghambat kelulusan".
Begini. Rata-rata, mahasiswa yang bekerja full time adalah mereka yang duduk di semester tujuh keatas. Rata-rata lho ya, ini berdasar hasil pengamatan saya pribadi. Sebab di masa itu mereka sudah tak ada lagi perkuliahan di kelas. Yang ada hanyalah melaksanakan ujian-ujian sebagai syarat kelulusan, seperti ujian komprehensif, toefl toafl, hingga ujian skripsi. Mereka yang memilih nyambi kerja juga umumnya untuk mengisi waktu luang.
Dalam hal ini memang ada dilema, ketika seorang mahasiswa tingkat akhir, yakni mahasiswa yang sedang mengenyam semester tujuh keatas, Â yang ia sendiri butuh uang jajan, bayar UKT, dan lain-lain, tapi di lain sisi ia juga perlu membagi waktunya menggarap skripsi. Dilema terjadi karena mana yang harus diprioritaskan: Nyari duit atau menyelesaikan skripsi?
Bagi mahasiswa yang pragmatis, bisa saja ia akan menyewa jasa joki skripsi, sehingga ia bisa fokus bekerja atau nyari duit. Tapi, tentu saja, menjadi pelanggan joki skripsi adalah pelanggaran akademik. Itu harus kita hindari.Â
Nah, kembali ke pertanyaan awal "benarkah bekerja membuat studi terhambat?"
Sebenarnya, ini pertanyaan klasik. Dan jawabannya adalah lagi-lagi tergantung orang nya. Tergantung mahasiswanya. Apakah si mahasiswa bisa membagi waktu hidupnya dengan baik? Atau justru sebaliknya.
Yang perlu diingat adalah waktu merupakan sumber daya yang sangat berharga, sesuatu yang tidak bisa dibayar dengan uang. Setiap orang hanya memiliki waktu 24 jam per hari. Katakanlah, seorang mahasiswa bekerja 8 jam setiap harinya, dari pagi sampai sore, atau siang sampai malam. Sisanya ada 16 jam. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah: digunakan untuk apa waktu yang 16 jam ini oleh si mahasiswa tersebut?Â
Mahasiswa yang nggak pandai mengatur waktunya, pasti ia akan merasa waktu 24 jam sehari tidak cukup untuk melakukan semua aktivitas. Ia akan selalu merasa kekurangan waktu. Padahal, bila dicermati lagi, ada cukup banyak waktu tersedia, hanya saja pengelolaannya yang tidak maksimal.
Waktu 24 jam itu waktu yang cukup panjang. Bekerja 8 jam, tidur 7 jam katakanlah, dan sisanya ada 9 jam. Nah, 9 jam itulah penentu apakah mahasiswa bisa menyelesaikan skripsinya atau tidak?
Coba saya kerucutkan lagi, 9 jam tadi diambil 1 jam buat ibadah sholat lima waktu, 1 jam buat membantu pekerjaan rumah (bantu-bantu orang tua), dan 1 jam lagi buat beraktivitas sosial di masyarakat (tahlilan, yasinan, gotong royong atau lainnya). Masih sisa 6 jam.Â
Waktu enam jam ini saya rasa perlu betul-betul dimanfaatkan oleh mahasiswa pejuang skripsi. Misalnya, mengisinya dengan bimbingan sama dosen. Bersyukur kalau dosen Anda enak diajak komunikasi, tapi kalau dosennya susah ditemui, ya, bagaimanapun Anda harus berjuang lebih keras lagi haha.Â
Intinya, fokus pada penyelesaian skripsi. Waktu enam jam jangan dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat, seperti banyak rebahan, main game, atau keluyuran. Habiskan waktu enam jam itu buat mengerjakan skripsi. Baca-baca referensi, menulis latar belakang, dan lain sebagainya.Â
Pengalaman pribadi saya, ketika mengerjakan skripsi, cukup membutuhkan waktu 2 jam saja setiap harinya. Dan itu pun harus dilakukan konsisten, sampai skripsi itu benar-benar tuntas. Juga yang paling penting, kita jangan suka menunda-nunda pekerjaan.Â
Mempunyai skill seni mengatur waktu, bagi seorang mahasiswa (yang nyambi bekerja) adalah sesuatu yang sangat penting. Pentingnya kenapa? Supaya sebuah pekerjaan tidak lagi dikambinghitamkan atas terbengkalainya skripsi haha. Â Kasihan pekerjaannya kalau terus-terusan disalahkan atas ketidakselesaiannya sebuah skripsi.Â
Dalam Islam, waktu diibaratkan dengan lebih tepat. "Waktu itu adalah seperti pedang, maka jika kamu tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu". Orang yang paling merugi adalah orang yang tidak menghargai waktu, karena waktu sangat berharga. Â Kata orang-orang demikian.
Memilih kuliah sambil bekerja, itu merupakan pilihan jalan hidup Anda, maka lakukan keduanya dengan baik. Jika Anda tidak bisa memaksimalkan keduanya, maka pilih salah satunya. Memang hidup ini pilihan. Pilih mana yang terbaik bagi hidup Anda. Tapi, alangkah baiknya, bekerja jalan, skripsi jalan. Jadi, mari, kita fokus bekerja, tapi skripsi juga jangan ditinggalkan begitu saja haha.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H