OLEH: KHAIRUL UMAM
Ma…
Kutulis surat ini demi mengurai dahagaku yang kian mendera tubuh yang ringkih dan berdebu. Mungkin dengan sehelai salam dan kabarku ini aku lebih merasa seperti dulu, saat aku masih di rumah bersamamu. Saat itu betapa kubisa mengabdikan diriku sepenuhnya untukmu, ma.
Meski sesekali aku merasa jengkel karena nasihatmu yang seperti air mengalir tak henti-hentinya. Tak ada bendungan yang mampu menghentikan. Sepertinya itu tak begitu penting bagiku, ma. Dan aku mengenyahkannya begitu saja, seperti angin lalu.
Ma…
Mungkin ini terlambat bagiku untuk menyadarinya, bahwa semua nasihatmu adalah benar adanya. Namun keterlambatan itu lebih baik dari pada tidak sama sekali bukan? “Dunia luar adalah rimba, jika kau tak berhati-hati mengarunginya maka, kau akan tersesat di dalamnya” begitulah nasihatmu selalu. Dan ini benar-benar kurasa ketika malam ini aku berada di tengah alun-alun yang begitu besar dengan beribu orang yang memadatinya. Ada banyak warna. Ada banyak rasa. Ada banyak… ah, entahlah. Aku tak bisa menggambarkannya di sini. Yang jelas aku seperti terlunta-lunta di rimba yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Ma…
Aku ngeri. Aku takut. Di sini dunia seperti begitu bebas dan tak punya rasa malu sebagaimana kukenal sejak kecil dahulu. Muda-mudi, tua, atau setengah baya semuanya sama saja. Bagi mereka sepertinya yang penting bahagia. Kalau dulu, di rumah aku diajri yang mana ruang untuk umum dan yang mana ruang untuk pribadi, di sini sudah tak ada lagi.
Ma…
Andai saja bisa, ingin kukembali ke rahimmu. Karena kuyakin tidak Cuma di sini yang sudah berubah, bahkan mungkin di sekitar rumah pun juga nantinya akan begitu. Sayang itu takkan pernah terjadi. Jadi ma, doakan saja aku semoga bisa menjaga diri melanjtukan cita-citamu yang tertunda dulu.
Aku mencintaimu, ma…
Alun-alun Jogja, 28 September 2013