Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Daniel Tifaona: Dari Kasus Tjetje Tadjudin sampai Bambang Widjojanto

2 Februari 2015   08:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58 3859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14228241541592000073

[caption id="attachment_366870" align="alignnone" width="960" caption="Komisaris Besar Daniel Tifaona "][/caption]

Namanya, Daniel Bolly Gyronimus Tifaona, SIK. Seorang perwira menengah Polri berpangkat Komisaris Besar dengan NRP. 69120420.

Putra Flores kelahiran Desember 1969 ini memang dibesarkan di lingkungan Polri. Ayahnya adalah salah seorang tokoh NTT, Brigjen Pol. Anthon Enga Tifaona, yang pernah menjabat Kepala Polda  Sulawesi Utara dan Tengah.

Daniel menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian dan lulus tahun 1992. Prestasinya bagus. Ia tercatat masuk lima besar di angkatan Pratisara Wirya, nama batalyonnya saat taruna.

Selanjutnya ia mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian sekitar tahun 2002. Pada 2008, ia menempuh pendidikan lagi di Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) Polri, Lembang, Jawa Barat, angkatan 47.

Karir Daniel Tifaona banyak tercatat di lingkungan Reserse Kriminal. Mengawali tugasnya, ia menjadi perwira Reserse Polres Kediri, Polda Jawa Timur. Dari Kediri, ia kemudian memimpin unit  Harta Benda (Harda) di Satuan Reserse Polwiltabes Bandung (Jabar).

Ia sempat menjabat sebagai Kapolsek Cimahi sebelum berpindah menjadi Kasatserse Polres Bogor.

Saat kasatserse Polres Bogor, Daniel tersangkut masalah. Ia dinilai bertanggungjawab atas tewasnya Tjetje Tadjudin. Seorang staf Perum Perumnas yang ditahan Polwil Bogor karena diduga terlibat kasus perampokan yang menewaskan Zainuddin Lesmana di tol jagorawi pada bulan Oktober 1896.

Saat kejadian, Tjetje dan rekannya Nurdin Lubis, berada di mobil yang sama dengan korban. Awalnya, Tjetje berstatus saksi dalam kasus yang diduga melibatkan oknum anggota ABRI itu. Belakangan, ia dan Lubis, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Tjetje tewas dengan kondisi mengenaskan. Diduga ia dianiaya dalam proses pemeriksaan.

Daniel Tifaona sebagai Kasatserse harus bertanggungjawab. Dia dicopot dari jabatannya dan diperiksa. Hasilnya, Daniel menjalani penjara selama 9 bulan 10 hari. Kasus ini menjadi perhatian luas. Bahkan Amnesti Internasional mencatatnya dalam laporan tahun 1997. Kasus perampokan dan kematian tahanan itu tetap gelap.

Keluar jeruji besi, Daniel melanjutkan karirnya di kepolisian. Mengikuti berbagai pendidikan lanjutan. Pada tahun 2008, saat menjabat sebagai Kepala Satuan Keamanan Negara Dit.Reskrimum Polda Metro Jaya, ia ikut menangani kasus tewasnya pegiat Hak Asasi Manusia, Munir.

Bersama Kombes Pambudi Pamungkas (dicopot dari jabatannya karena dugaan terima suap dalam kasus Gayus Tambunan) dan Kombes Arief Sulistiyanto (sekarang berpangkat Brigjen menjabat Kapolda Kalbar), ia menangani penyidikan Muchdi PR, mantan Deputi Kepala BIN yang disangka terlibat kasus Munir itu. Kasus ini tetap menjadi 'dark number'.

Pada tahun 2009, Daniel dilibatkan dalam tim penyidik Kombes Wiliardi Wizard, rekan seangkatan Irjen Budi Waseso (Ka Bareskrim saat ini) di Akpol lulus tahun 1984. Wiliardi, mantan Kapolres Jakarta Selatan itu, dituduh terlibat merencanakan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang 'konon' diotaki Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Antasari Azhar.

Wiliardi menilai kasusnya direkayasa.  Dirreskrimum Polda Metro Jaya  KBP M. Iriawan (sekarang berpangkat Irjen, Kapolda Jabar) rekan seangkatannya juga, dituding merekayasa dan membohonginya. Wiliardi tetap diproses dan dipenjarakan. Empat orang asal Flores,  NTT, didakwa menjadi eksekutornya. Antasari Azhar hingga hari ini, masih terus menuntut keadilan dan menganggap ini kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Pada 5 Oktober 2012 malam, gedung KPK di Jalan Rasuna Said dihebohkan dengan kehadiran sejumlah perwira menengah Polri. AKBP Daniel Tifaona salahsatunya. Bersama AKBP Helmi Santika, AKBP Herry Heryawan dan Dirreskrim Polda Bengkulu, mereka berniat menjemput Novel Baswedan.

Penyidik KPK alumni Akpol 1995 itu tengah menangani kasus Korupsi Simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Polri. Novel dituduh terlibat kasus penganiayaan tahanan saat masih berdinas di Polda Bengkulu.

Mirip dengan kasus Daniel Tifaona saat di Bogor. Bedanya, kasus yang diduga upaya kriminalisasi ini, akhirnya tak berlanjut. Irjen DS pun dipenjara.

Kini nama Daniel Tifaona kembali jadi perbincangan. Ia memimpin tim penyidik yang menangkap dan memeriksa Bambang Widjojanto. Komisioner KPK ini dituduh telah merekayasa kesaksian dalam kasus perselisihan hasil pemilukada Kota Waringin Barat, di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Saat itu Bambang masih menjadi advokat.

Bambang Widjojanto ditangkap di depan anak sulungnya dan diborgol selama perjalanan hingga ke Bareskrim Polri. Daniel juga sempat ngotot menahannya, sebelum Wakapolri turun tangan menangguhkan penahanan Bambang.

Drama ini berlangsung di tengah hebohnya jagad politik Indonesia pasca penetapan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus 'rekening gendut' oleh KPK. Apakah tuduhan pada Bambang Widjojanto itu rekayasa atau kriminalisasi? Belum jelas.

Hanya Kabareskrim Budi Waseso dan Kombes Daniel Tifaona yang bisa menjawab. Wajah Polri bergantung pada mulut dan tangan mereka. Sayang, 'rakyat tak jelas' terlanjur meragukan profesionalisme mereka dan menilai ini mengulang kasus-kasus sebelumnya. Duh!

Sumber: olah data dan info ISESS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun