Mohon tunggu...
Khairul Fahmi
Khairul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Lahir di Mataram, 5 Mei 1975. Tahun 1990 melanjutkan studi di kota gudeg, Jogjakarta. SMA 3 Padmanaba, menjadi pilihannya. Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga menjadi tempat studi berikutnya. Kampus ini juga kemudian menjadi alamat domisilinya yang paling jelas selama beberapa tahun. Nomaden, T4 (Tempat Tinggal Tidak Jelas), 'mbambung'. Jangan kaget kalau menemukannya sedang tidur di bangku terminal, stasiun, atau rumah sakit, baik di Surabaya atau di kota lain," kata beberapa rekan dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aksi panggung: Antara pelakon dan sutradara, antara jenderal dan politisi

14 Februari 2015   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423893746137081358

[caption id="attachment_368831" align="alignleft" width="150" caption="Presiden Jokowi saat berkunjung ke Akpol Semarang"][/caption]

In Memoriam Alex Komang

Banyak yang bilang, belakangan ini kita disuguhi banyak drama. Pemerannya, para jenderal dan politisi. Ada yang sedang berupaya memperpanjang durasi, dan ada pula yang sedang berjuang menuju panggung. Aksi para jenderal mencari panggung, baik di TNI maupun Polri ini sebenarnya hal biasa. Tapi rawan menimbulkan ketidakstabilan jika terjadi di fase awal rezim yang berkuasa.
Ketidakstabilan memunculkan keraguan dan ketidakpastian bagi para jenderal yang sedang di atas panggung. Kebanyakan mereka tidak menyukainya. Di sisi lain, ketidakstabilan itu justru memunculkan harapan dan peluang baru bagi mereka yang belum mendapat panggung. Ketidakstabilan bisa menjadi jalan yang ajaib bagi para jenderal ini untuk mencapai panggung dalam sekejap.
Kita bisa melihat aksi cari panggung dan dampaknya di masa pemerintahan Presiden Gus Dur dan Megawati. Pada masa Jokowi, hal itu terulang lagi. Banyak jenderal yang cari panggung dan berusaha survive. Mereka berkolaborasi dengan perangkat politik/pemerintahan yang baru. Pergantian rezim selalu memunculkan harapan. Tapi juga membawa korban.
Panggung yang bagus tidaklah dikemas 'cut to cut'. Harus ada transisi. Lakon baru akan tampil di panggung sebelum yang lama turun. Akan ada sedikit interaksi antara yang lama dan baru untuk menampilkan alur yang natural dan mengalir. Kita bisa lihat contohnya di panggung-panggung srimulat.
Di masa transisi, pencari bakat dan makelar peran bertebaran. Ada yang beneran, ada yang abal-abal. Banyak aktor gagal naik panggung karena ternyata makelarnya abal-abal. Banyak talenta bagus tidak mendapat panggung, karena tak bersua pencari bakat atau ogah mengongkosi makelar.
Untuk soal transisi ini, suka tidak suka kita harus melihat ke masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di awal berkuasa, ia memilih menunda lakon baru muncul di pentas. Ia memperpanjang durasi Endriartono Sutarto sebagai panglima TNI. Begitu pula Da'i Bachtiar di kursi Kapolri.
Penundaan itu bukannya tanpa gejolak. Ryamizard yang sudah pegang tiket naik panggung, akhirnya batal naik. Almarhum Firman Gani yang sudah 'pede'bakal naik panggung, harus pura-pura tegar karena panggung akhirnya jd milik Jenderal Sutanto. Tapi semua itu terjadi di 'backstage', tidak di atas panggung.
Sebagai sutradara, SBY tetap mengendalikan panggung. Panggungnya juga jelas bukan lenong, di mana seorang lakon bisa menyaru jadi penonton dan berceloteh dari bawah panggung. Jokowi masih harus belajar banyak menjadi sutradara yg kaffah. Karena dia bukan sekedar crew atau asisten sutradara. Dia tidak boleh disetir oleh pencari bakat ataupun makelar peran, yang hanya ingin untung tanpa peduli bagaimana pertunjukan bakal berlangsung.
Jokowi sudah punya panggung. Tinggal bagaimana mengelolanya agar penonton tidak bosan dan melempar telor busuk ke atas panggung untuk minta pertunjukan dihentikan. Di sisi lain, panggung yang ditinggalkan atau tanpa penonton tentu saja akan sangat menyakitkan. Maka, jadilah sutradara yang mampu mengendalikan panggung.
===
"Selamat jalan Om Alex Komang. Sang Maha Sutradara telah memanggilmu. Meninggalkan panggung dunia yang fana menuju panggung keabadian. Tulisan ini hadir terinspirasi minggu-minggu perbincangan intensif kita, usai menyimak tayangan film-film berkarakter, yg disutradarai Teguh Karya, di warung Kalibata, dan sembari makan tengah malam di kawasan Blok M."
Khairul Fahmi
Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Divisi Humas dan Jaringan
JARINGAN NASIONAL INDONESIA BARU (JNIB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun