Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, suasana menjelang natal dan tahun baru ini diwarnai meningkatnya ancaman terhadap keamanan, baik domestik, kawasan maupun di berbagai belahan bumi.
Sepekan terakhir, Polri telah melakukan pengungkapan rencana teror dan penindakan terhadap sejumlah warga yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme di sejumlah kota. Di beberapa lokasi, bahkan ditemukan sejumlah bahan peledak. Terakhir kemarin dalam penggerebegan di Tangerang Selatan, Banten.
Sejak Jenderal Tito Karnavian menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) lalu menjadi Kapolri dan posisinya digantikan oleh Komjen Suhardi Alius, sebenarnya muncul ekspektasi agar BNPT dan Polri mengembangkan model pemberantasan teror yang tidak lebih menakutkan ketimbang terornya itu sendiri. Nama besar Tito dan dukungan luas diharapkan jadi modal yang bagus buat menggalang dukungan yang lebih besar bagi proposal pemberantasan terorisme yang ditawarkannya.
Diantara harapan itu adalah agar pemberantasan teror tak melulu mengusung hard approach a la Densus 88, yang dikritik banyak pihak. Ada harapan agar tak ada lagi terduga pelaku teror yang tewas dalam tahanan atau saat penggerebekan, sehingga proses peradilan dapat digelar dan pengungkapannya tak menimbulkan kecurigaan maupun kesimpangsiuran.
Sayang harapan itu belum bisa terwujud. Kemarin, kembali tiga pelaku tewas dalam upaya penangkapan. Hard approach kembali tampak, justru di saat Polri sedang menghadapi tantangan dan kritik tajam atas kegagalan komunikasi publiknya, terkait situasi politik dan keamanan belakangan ini. Kegagalan yang menyebabkan munculnya berbagai spekulasi dan keraguan di kalangan masyarakat atas kerja-kerja kepolisian.
Sementara itu, kesadaran religius sedang meningkat tajam belakangan ini. Hal itu tentu saja sangat positif. Masalahnya, konsolidasi umat pasca 4/11 dan 2/12 kemarin, tak hanya meningkatkan 'ghirah'. Bermunculan firqoh-firqoh baru yang katakanlah, belum jelas 'nasab' alirannya dan berpotensi mengajak umat memilih 'jalan perjuangan' ekstrim.
Jadi apakah bisa dibilang bahwa munculnya gerakan-gerakan perjuangan di ummat Islam belakangan ini justru membawa angin segar buat kelompok teror? Tentu tidak langsung. Potensi ancaman juga tak serta merta meningkat secara langsung. Hanya eforianya yang perlu diwaspadai. Terutama di kalangan apa yang disebut sebagai anyaran alias kelompok 'muslim baru' itu.
Karenanya, penting bagi para ulama dan tokoh-tokoh agama untuk menjaga barisan umat tetap rapat dan solid. Sementara itu, karena kita juga harus konsisten bahwa terorisme bukan bagian dari ajaran agama apapun, pemerintah perlu mengajak semua komponen bangsa meningkatkan daya tahan dan tidak menyemai bibit-bibit ancaman kejahatan berlandaskan kebencian ini seperti diskriminasi, kesenjangan sosial, pemarjinalan dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana pola aksi teror di Indonesia? Mengingat jaringan teror di Indonesia ini didominasi oleh kumpulan fans dan followers (termasuk kelompok Bahrun Naim), tentu saja potensi ancamannya tak akan jauh dari trend global. Kebuntuan akibat tidak dikelolanya pendapat/suara/sikap yg berbeda akan sangat berpotensi meningkatkan ancaman. Secara ekstrim, teror dipandang sebagai penyampai pesan yang efektif sekaligus sarana balas dendam/penghukuman atas perbuatan yang mereka persepsikan sebagai lebih jahat, zalim itu.'
Selain ibukota negara dan kota-kota utama, kita juga masih harus ekstra waspada di daerah Nusa Tenggara. Mengingat alumni/true believer Jamaah Islamiyah (JI) dan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT/Santoso) banyak berasal maupun berkiprah di wilayah itu.Â
Sasaran utamanya tetap pada area publik, fasilitas keamanan dan pemerintah yang lemah beserta personelnya. Alat yang digunakan? Tak jauh dari bahan peledak rakitan, senjata api, secara sporadis dan simultan. Tujuannya, menimbulkan kepanikan, keresahan dan tentu saja menunjukkan eksistensi, dimana masing-masing kelompok penggemar itu saling bersaing.