Istilah golput sudah sangat terkenal di telinga masyarakat luas. Jika Pemilu (Pemilihan Umum) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) akan dilaksanakan dalam waktu dekat, maka gerakan anti golput lah yang paling sering dicanangkan. Bahkan setelah pelaksanaan pemungutan suara pun golput juga kebagian kesempatan untuk didata dan bahkan tak mungkin bahwa ia lah yang memiliki pendukung terbanyak. Lebih lanjut mengenai golput dan filosofinya, marilah kita telaah secara lapang dada.
Golput adalah singkatan dari golongan putih. Istilah ini merupakan rujukan lain dari abstain yang artinya tidak memberikan suara (dalam pemungutan suara). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi masyarakat yang dengan sengaja tidak memilih (golput) dalam Pemilu serta Pilkada akan terus meningkat. Adanya golput di Pilkada dinilai karena kekecewaan masyarakat daerah terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang tidak independen, terjadinya kecurangan-kecurangan yang massif,Â
dan pemihakan penyelenggara Pemilu pada calon-calon tertentu. Golput juga dapat terjadi karena rasa tidak percaya masyarakat kepada sistem Pemilu dan Pilkada, juga kepada calon pemimpin yang akan dipilih. Lain dari pada itu, golput terjadi karena individu yang apatis dan tidak ingin berpartisipasi pada perpolitikan Indonesia dengan menggunakan hak pilihnya.
Perjeratan hukuman mengenai golput tertuang di Pasal 292 dan Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memuat ruang bagi aparat penegak hukum untuk menjerat dan menghukum siapapun yang memaksa orang lain untuk melakukan golput. Pasal ini mengancam dengan pidana siapapun yang dengan sengaja menggunakan tindakan kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara. Bentuk hukuman dapat berupa penjaran paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Menyikapi hal ini, golput atau abstain diperdebatkan kembali. Koordinator Badan pekerja Kontras, Haris Azhar, mengecam pandangan yang menyebut golput bisa dipidana. Beliau mempunyai pandangan bahwa memilih ataupun tidak memilih calon pemimpin merupakan hak masing-masing individu dan merupakan ekspresi atas partisipasi di bidang politik. Bahkan, pelarangan golput atas kemauan sendiri pun merupakan sebuah tindakan melarang demokrasi individu untuk tidak memilih calon manapun. Pelarangan atas golput itu sendiri merupakan pelanggaran hukum.
Dicantumkan sebagai Hak Asasi Manusia di dalam UU No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 23 ayat 1, menyatakan setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Dan juga pada Pasal 43 ayat 1 yang berintikan bahwa setiap masyarakat mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pada kenyataannya setiap pelaksanaan Pemilu atau Pilkada azas-azas luber jurdil tersebut makin memudar dengan maraknya serangan fajar, money politic, ataupun black campaign. Maka tak dapat dihindari lagi masyarakat akan sulit untuk mempercayai para calon pemimpin dan akan bersikap apatis.
Menilik permasalahan mengenai golput pada saat Pemilu dan Pilkada, hal itu dikembalikan ke individu masing-masing. Jika memang seorang individu menjadi apatis akan kondisi perpolitikan yang tidak berjalan dengan baik, lalu mengapa tidak gunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya untuk membantu menentukan pemimpin yang layak dan mumpuni yang dapat memperbaiki kondisi tersebut?
Referensi:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530ef7ca24424/golput-bukan-tindakan-pidana
http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham