Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 14 Februari 2015
Sambil menyodorkan setumpuk “bate incin” ke hadapan saya, seorang teman berujar: “kablo hai sineuk, bate nyoe lagak” (belilah satu, batu ini bagus). “Pu bate teuman nyan?” (batu apa memangnya), tanya saya. Sambil menujuk ke arah batu yang ada di hadapannya, si teman berkata: “yang nyo giok, nyan kecubung, jeh zamrud” (ini giok, ini kecubung dan itu zamrud). Saya hanya mengangguk mendengar ceramah si teman yang terlihat begitu bersemangat. “Nyo bate nyo na khasiet maseng-maseng, ci kapileh keudroe” (batu-batu ini memiliki khasiat tersendiri, coba kamu pilih sendiri), sambung si teman sambil sesekali melirik ke arah saya. “Lon peurle bate yang jeut peuciret Barack Obama, puna bak droekeuh?” (saya perlu batu yang bisa memencretkan Barack Obama, apa kamu punya), tanya saya, sambil menyemburkan kepulan asap rokok ke arah batu-batu itu. Menderngar pertanyaan saya, si teman hanya terdiam. Sejumlah batu yang tadinya dijemur di hadapan saya, perlahan dimasukkan kembali dalam plastik. Dengan wajah cemberut dia berujar: “kahana kablo kakeuh hana, pu yang ka peu nyek-nyek droekuh teuman” (gak mau beli gak masalah, buat apa pakai ngejek segala). “Kah baroe mulai nak pungoe, di lon kalheuh pungo awai, jino kapuleh pungo” (kamu baru akan gila, saya sudah pernah gila, tapi sekarang saya sudah sembuh dari gila), jawab saya. Tanpa membuang waktu, si teman pun berlalu dari hadapan saya.
Klasifikasi Pengguna Batu di Aceh
Kecintaan terhadap batu yang terus meluas akhir-akhir ini telah menjadi semacam “kelucuan nasional”. Berbagai kontes pun dilangsungkan di berbagai daerah. Kecintaan terhadap batu tidak hanya menyerang kalangan “awam”, para politisi, birokrat dan akademisi juga tidak luput dari terjangan batu. Di satu sisi, batu-batu itu adalah anugerah Allah yang patut disyukuri. Munculnya demam batu, khususnya di Aceh, secara tidak langsung telah “berhasil” mendongkrak perekonomian rakyat. Batu-batu yang membanjiri Aceh akhir-akhir ini dijual dengan harga yang bervariasi. Dari ratusan ribu, sampai ratusan juta. Fantastis!.
Namun di sisi lain, jika dicermati, kehadiran batu-batu tersebut tidak lagi sebatas seni, tapi telah “berevolusi” menjadi semacam “berhala” baru di Aceh. Tidak sedikit masyarakat yang dibuat “lalai” karenanya.
Perbincangan tentang batu tidak hanya berlangsung di kedai-kedai kopi, kantor pemerintah dan kampus, tapi juga meluas ke seluruh penjuru mata angin. Bahkan ada yang “ulok-ulok” menjadikan batu sebagai mahar untuk melamar gadis pujaan hatinya. Tragisnya lagi, ketika berta’ziah ke rumah orang meninggal, ada yang mengusulkan supaya batu nisan dipakai giok, biar nampak cantik. Kecintaan terhadap batu telah menyusup ke setiap lini kehidupan. Bukan tidak mungkin, suatu saat akan ada orang yang memasak giok pakai sambal lado agar terlihat keren.
Jika hendak diklasifikasikan, menurut saya ada beberapa tipe pemakai batu di Aceh. Pertama, pecinta seni. Mereka memakai batu hanya sebatas seni untuk menghiasi jari-jari tangan, tidak lebih dari itu. Biasanya masuk dalam katagori ini adalah pecinta batu asli, bukan pecinta batu dadakan. Bagi masyarakat Bireuen, kecintaan terhadap batu bukanlah hal baru. Hal ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Kedua, pengaruh mistis. Tipe kedua ini juga banyak di Aceh. Mereka memakai batu dengan keyakinan batu-batu itu memiliki kekuatan mistis. Istilah “paso asoe” adalah istilah yang lazim mereka gunakan untuk mengisi batu-batu tersebut dengan kekuatan gaib. Pengguna batu tipe ini meyakini bahwa batu-batu itu memiliki khasiat tersendiri. Pengaruh mistis dari batu tidak hanya diyakini oleh masyarakat awam, tapi ramai pula orang ‘alim yang ikut terjebak dengan “kesyirikan” ini. Mereka berdalih bahwa khasiat batu sama halnya dengan khasiat pisau. Menurut mereka, kita tidak-lah disebut syirik hanya karena percaya kepada ketajaman pisau yang mampu memotong benda-benda keras. Demikian pula halnya dengan khasiat batu, itu adalah anugerah Allah yang dititipkan pada batu. Nyan ban cara kieh.
Ketiga, pecinta batu dadakan. Untuk saat ini, tipe ini sangat banyak di Aceh. Kecintaan mereka kepada batu adalah kecintaan semu, di mana suatu saat, seiring perjalanan waktu akan hilang dengan sendirinya. Kecintaan mereka terhadap batu hanyalah kecintaan ikut-ikutan yang bersifat temporal. Penyakit “pungo bate” biasanya akan menyerang pemakai batu tipe ini. Akibat memperturutkan nafsu, mereka rela meninggalkan kehidupan mereka dan beralih kepada kehidupan batu, hingga akhirnya otak mereka pun “membatu”. Yang ada di pikiran mereka, hanya batu, batu dan batu. Han luet sapu le.
Fenomena ini-lah yang menyebabkan gang di sudut-sudut kota penuh batu. Kedai-kedai kopi dibanjiri batu, dan bahkan beranda Facebook pun penuh dengan pameran batu. Akibat munculnya demam batu, otoritas jari manis pun dibajak oleh jari-jari lain. Perhiasan yang dulunya hanya “berhak” dipakai jari manis, kini telah diserobot oleh jari lain. Kalau tidak percaya, lihat-lah jari manis anda, dia menangis terisak. Yang menjadi pesaingnya saat ini, bukan hanya jari tangan, tapi juga jari kaki.
Bek peutimang pungo
Secara pribadi, saya merasa lucu melihat sahabat-sahabat saya yang saat ini dilanda “pungo bate”. Kadang saya tertawa sendiri sambil berujar dalam hati: “dikah baroe pungo, dikee kapuleh pungo” (kamu baru gila, sedangkan saya sudah sembuh).
Dulu, jauh sebelum demam batu itu muncul, saya sudah merasakan sendiri kegilaan terhadap batu. Ketika masih kuliah, saya memakai cincin batu di sepuluh jari. Saya juga memanjangkan kuku sepuluh jari. Saya juga memanjangkan rambut sebahu. Sehingga lengkap-lah kegilaan saya saat itu. Waktu itu, belum ramai yang gila, seingat saya, di kampung, di Darussalam Banda Aceh (tempat kos) dan di kampus, hanya saya yang memakai cincin batu sepuluh jari. Teman-teman menyebut saya bangai, ngeut ujoeng, pungo (bodoh, sangat bodoh, gila), dll.
Namun apa yang terjadi? Pada tahun 2008 saya meninggalkan semua kebiasaan “bodoh” tersebut. Kuku saya potong, rambut saya pangkas, dan sepuluh cincin batu itu saya “mesiumkan” di kamar. Saat ini, ketika saya sudah sembuh dari “gila”, teman-teman yang dulunya menyebut saya bangai dan ngeut ujoeng, justru telah memasuki masa pungo. Melihat fenomena batu yang telah mewabah akhir-akhir ini, saya berkesimpulan bahwa, meskipun saya dan sahabat-saya hidup satu masa, tapi kami menempuh zaman yang berbeda. Ketika saya sudah meninggalkan “zaman batu”, sahabat saya baru memasukinya. Wallahu A’lam.[]
Not: Pungo batee artinya gila batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H