Karena keseringan panik, kita pun sering gagal mengelola kepanikan. Kita ini sering panik bukan pada tempatnya. Akhirnya kepanikan tidak lagi lahir dari "keterkejutan" tapi justru diproduksi secara sadar. Saya tidak memaksa siapa pun untuk membenarkan "tesis" saya ini, sebab saya sendiri belum benar-benar yakin dengan kebenaran asumsi ini. Tapi, menyimak realitas di Indonesia akhir-akhir ini, saya curiga jika asumsi ini benar belaka.
Saya ajukan contoh terbaru yang lagi heboh beberapa waktu lalu. Saat itu beredar sebuah video tentang joget-joget. Dalam video itu cawapres Ma'ruf Amin terlihat bertepuk tangan di Tugu Proklamasi dalam sebuah acara nyanyi plus joget-joget sebelum pengundian nomor urut capres/cawapres. Sebenarnya tidak hanya cawapres Ma'ruf Amin, capres Jokowi dan lain-lain juga berjoget. Bagaimana mungkin tidak berjoget dalam kondisi semua berjoget. Model joget juga bebas, pokoknya gerak mengalun. Tidak mesti jingkrak, apalagi sampai ngebor.
Melihat video ini, sebagian publik panik sembari beristigfar (padahal tidak perlu). Beranda media sosial sebagai "akuarium" terbesar abad ini pun penuh dengan komentar. Mereka mengaku panik sebab ada kiyai berjoget. Padahal di tempat itu tidak ada kiyain, yang ada cuma politisi.
Seperti biasa, video itu pun viral. Sebab sudah viral, ramai netizen yang ingin terlibat dan ikut nimbrung membuat komentar. Melihat fenomena ini, kita tidak perlu heran, sebab penyakit numpang terkenal juga sudah viral di negara ini. Yang buat kita kecewa bukan isi komentar -- sebab model komentar dalam insiden semacam ini sudah kita hafal di luar kepala -- tapi "mayoritas" komentator di medsos itu ternyata tim sukses capres/cawapres "sebelah."
 Kita merasa miris karena mereka nyebut-nyebut "kiyai." Padahal yang berjoget di video itu ternyata cawapresnya Pak Jokowi. Mungkin tim sukses Jokowi kurang sosialisasi sehingga banyak publik yang tidak tahu kalau Ma'ruf Amin adalah cawapres. Dalam kontestasi politik semisal pilpres, yang berkontestasi itu ya capres/cawapres versus capres/cawapres. Bukan capres/cawapres versus penjual roti, petinju, profesor atau jenderal, apalagi santri versus kiyai. Ini adalah kesalahan pikir yang sangat menyedihkan.
Saya curiga kalau kita memang belum mampu menangkap realitas secara tepat sehingga selalu saja terjebak dalam halusinasi dan imajinasi. Padahal ajang pilpres memang murni instrumen politik yang dengan sendirinya melibatkan politisi di dalamnya. Siapa pun yang telah bersedia masuk, diajak masuk atau tak sadar telah masuk dalam ruang politik praktis, maka sejak itulah dia sudah menyandang label politisi. Dalam ruang politik praktis semacam pilpres tidak ada lagi label jenderal, saudagar, penyanyi, pelawak atau bintang film. Dan satu lagi, tidak ada santri, apalagi kyai. Mereka semua telah menjadi politisi baik secara sadar, tidak sadar atau setengah sadar.
Sedikit tambahan, saya juga sempat terkejut membaca berita bahwa cawapres Ma'ruf Amin melakukan klarifikasi di beberapa media. Beliau meluruskan kalau dalam video itu beliau tidak berjoget dan hanya bertepuk tangan. Saya bingung juga kenapa harus klarifikasi, joget kan bisa macam-macam. Lagi pula siapa yang melarang berjoget? Â Â
Nah, jika kita sudah sepakat yang joget di video itu hanya cawapres maka tidak ada lagi yang perlu diributkan. Dalam negara demokrasi macam ini ya wajar saja capres atau cawapres joget. Mereka juga butuh hiburan. Jadi, tidak perlu dibesar-besarkan. Begitu juga dengan foto atau video Sandi lagi senam juga tidak perlu digoreng. Sesat pikir harus diakhiri sehingga tidak ada lagi "kesalahan interpretasi" seperti kiyai joget atau santri senam erobik.
Silakan panik pada tempatnya, tapi bukan di panggung politik praktis semisal pilpres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H