Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 28 April 2015
Sebenarnya tidak ada untungnya membicarakan Ahok, hanya buang-buang waktu dan energi. Dia bukan abang saya, bukan adik saya, bukan ayah saya, bukan mak cik saya, bukan paman saya, bukan sepupu saya, bukan ipar saya, bukan yahwa saya, bukan miwa saya, dan bukan pula anak saya, apalagi kakek saya.
Bagi saya, kagum kepada Ahok itu tak mungkin bin mustahil, karena dia bukan Soekarno, bukan HAMKA, bukan Muhammad bin Abdul Wahab, bukan Daud Beureu-eh, bukan Kartosuwiryo, bukan Jenderal Sudirman dan bukan pula Ibn Taimiyah. Takut kepada Ahok juga “kurang ajar”, karena dia bukan Hitler, bukan Pol Pot, bukan Pinochet, bukan Mussolini dan bukan pula Stalin. Ahok bukan siapa-siapa bagi saya.
Perlu pula saya kemukakan di sini, bahwa saya bukan anggota DPRD DKI, bukan anggota FPI, bukan politisi Gerindra, bukan anggota Muhammadiyah, bukan pula warga Nahdiyin (NU). Dan yang paling penting, saya bukan warga Jakarta. Saya tinggal di Aceh, yang di masa lalu juga sempat “bertegang-urat-saraf” dengan “Jakarta”.
Lantas apa pasal saya menyebut-nyebut nama Ahok? Jujur, saya tahu nama Ahok di Televisi. Itu pun saat dia menjadi wakil Gubernur DKI yang mendampingi Joko Widodo. Sama seperti Ahok, nama yang saya sebut terakhir juga tidak “berkesan” di pikiran saya. Tapi, di sini bukan tempatnya membahas “beliau” itu. Informasi terakhir yang saya tahu, SBY sudah dibuat “gerah” oleh “beliau” akibat statement terkait utang RI pada IMF. Qiqi.
Kembali ke Ahok. Jika ditilik, sejak memimpin Jakarta “sepeninggalan” Jokowi, Ahok telah melakukan berbagai “manuver" yang sulit dimengerti dan juga segudang “kreativitas” yang susah dipahami. “Kehebohan” terbaru yang melibatkan Ahok adalah masalah Miras dan “Pelacuran” alias sertifikasi pelacur.
Menurut Ahok, jika penjualan miras dilarang, akan lebih banyak kasus penyelundupan maupun penjualan secara illegal. Hebat sekali logika Ahok. Jika Miras dilarang maka akan banyak penjualan ilegal. Mari kita teruskan logika Ahok. Jika pembunuhan dilarang, maka akan banyak orang yang jadi pembunuh, maka pembunuhan harus dilegalkan. Jika mencuri dilarang, maka akan semakin banyak pencuri, sekarang mari kita legalkan saja pencuri. Jika korupsi dilarang maka akan banyak koruptor, mari halalkan korupsi. Begitulah, konsekwensinya jika logika Ahok kita anggap benar.
Statement aneh lainnya dari Ahok, “kalau ada yang bilang minum alkohol itu dosa, nyuri duit rakyat lebih dosa”. Dari statement tersebut, nampaknya Ahok ingin menyusun teori baru, bahwa jika masih ada kejahatan yang dosanya lebih besar, maka kejahatan yang lebih kecil dosanya dibiarkan saja. Hebat Ahok. Sekarang tinggal lakukan identifikasi saja, mana yang dosanya besar dan mana yang dosanya kecil. Yang besar-besar dipinggir dulu, yang kecil-kecil dosanya dilanjutkan saja. “Ruar Biasa”. Kalau Hegel, Weber dan Durkheim masih hidup, tentu mereka akan menangis merintih-rintih, karena teori mereka kalah dengan teori Ahok. Wow!
Tidak hanya masalah miras, kononnya Ahok juga punya “hasrat” untuk melakukan sertifikasi pelacur. Genius benar ini orang. Sebagaimana dilansir okezone.com, menurut Ahok, jika pun Nabi diturunkan, maka prostitusi di Jakarta tetap saja tidak bisa dihilangkan. Kalimat majasi yang keluar dari mulut Ahok tersebut, meskipun hanya sebagai statement metaforis, tetap saja saja argument tersebut tak etis untuk dijadikan dalil guna “melegalkan” prostitusi.
Jika memang kejahatan bisa dinyatakan legal setelah disertifikasi, maka tidak akan ada lagi yang namanya kejahatan di bumi ini, minimal di Jakarta. Silahkan saja dilakukan sertifikasi pada semua bidang, baik susila maupun kriminal. Pencuri juga harus disertifikasi agar dia bisa bebas mencuri, demikian pula dengan pembunuh dan gembong narkoba juga harus disertifikasi. Dengan demikian, di masa-masa yang akan datang, Jakarta akan bebas penjahat. Yang tersisa hanyalah penjahat-penjahat bersertifikat yang tentunya dilindungi oleh negara, karena kejahatannya telah dilegalkan alias “disertifikasi”. Hah!
Sudah sampai di sini dulu. Buang-buang waktu saja membicarakan Ahok yang semakin hari semakin “menohok”. Wallahu Waliyut Taufiq.
*Penulis adalah warga negara Indonesia, berdomisili di Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H