Kecenderungan ini berimplikasi pada seseorang yang taat mengerjakan shalat tetapi tidak peduli dan tidak tenggang rasa dengan orang lain (kurang memiliki sikap empati). Atau pada orang-orang yang mengatasnamakan ajaran Islam justru bertindak emosional, saling menuduh dan bertindak brutal mengesampingkan nilai-nilai akhlaq Islami yang mengajarkan kecerdasan Emosional. Pembelajaran pendidikan agama Islam jangan hanya bersifat teoritis, akan tetapi lebih ditekankan pada aplikasi perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tauhid tidak semata penjelasan tauhid dalam dimensi vertikal, tetapi pengembangan materi tauhid dalam dimensi horisontal/tauhid sosial akan lebih bermanfaat bagi upaya pengembangan kecerdasan emosional.
Mengkaitkan secara langsung materi pendidikan agama Islam pada masalah-masalah aktual yang dialami anak baik di rumah, di sekolah maupun di masyrakat lebih menunjang bagi kecerdasan emosi anak. Mengapa banyak anak jalanan? Mengapa ada perkelahian? Mengapa ada rumah anak yatim? Hal-hal tersebut dapat menjadi topik yang didiskusikan denga anak.
Problem solving yang dikemukakan oleh anak sesuai dengan usia mereka. Argumen anak dapat menggambarkan siapa dirinya (anak mengenal dirinya sendiri) serta memberikan kesadaran bagi mereka tentang pentingnya kebersamaan dan rasa bersyukur. Demikian juga langkah apa yang dilakukan oleh seorang anak untuk menggalang kebersamaan dengan teman- temannya memberikan sikap empati anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H