Di tengah dinamika sistem internasional yang semakin multipolar, rivalitas antara Amerika Serikat dan China menjadi salah satu isu utama yang mendominasi hubungan internasional kontemporer. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, tidak luput dari pengaruh rivalitas ini. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kebijakan luar negeri Indonesia tetap konsisten pada prinsip non-blok yang telah menjadi ciri khas sejak era Perang Dingin. Namun, pendekatan ini tidak hanya diterapkan secara pasif, melainkan diwarnai dengan strategi pragmatis berbasis teori realisme. Dalam upaya menjaga kedaulatan, memaksimalkan kepentingan nasional, dan menciptakan stabilitas kawasan, Indonesia menggunakan kebijakan non-blok untuk menavigasi kompleksitas geopolitik tanpa terjebak pada hegemoni salah satu kekuatan besar. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan diplomasi yang adaptif, tetapi juga menunjukkan bagaimana Indonesia berusaha mempertahankan relevansi di tengah perubahan lanskap global.Pendekatan RealisÂ
Kebijakan Non-Blok Indonesia di Tengah Rivalitas AS dan China Era Jokowi
Kebijakan luar negeri Indonesia selama era Presiden Joko Widodo mencerminkan pendekatan pragmatis yang berakar pada teori realisme dalam hubungan internasional. Dalam konteks rivalitas global antara Amerika Serikat (AS) dan China, Indonesia mengadopsi kebijakan non-blok sebagai strategi diplomatik untuk melindungi kepentingan nasionalnya tanpa harus terjebak dalam kutub kekuatan tertentu. Kebijakan ini menunjukkan keseimbangan antara menjaga kedaulatan negara dan memaksimalkan manfaat dari keterlibatan ekonomi dan geopolitik dengan kedua kekuatan global tersebut. Realisme dalam hubungan internasional berfokus pada kepentingan nasional, kekuatan, dan kedaulatan negara. Dalam paradigma ini, negara dipandang sebagai aktor rasional yang selalu bertindak untuk mengamankan kepentingannya di tengah anarki sistem internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Jokowi mencerminkan karakteristik ini. Pendekatan non-blok, yang telah menjadi bagian dari politik luar negeri Indonesia sejak era Perang Dingin, tidak hanya diteruskan, tetapi juga diadaptasi untuk menghadapi dinamika kontemporer rivalitas AS-China.
Rivalitas antara AS dan China tidak hanya mencakup dimensi ekonomi, tetapi juga geopolitik, militer, dan teknologi. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, tidak dapat menghindari dampak rivalitas ini. Dari sudut pandang realis, rivalitas ini menghadirkan ancaman terhadap stabilitas regional dan potensi intervensi kekuatan besar di kawasan. Namun, di sisi lain, kompetisi ini juga menawarkan peluang, seperti peningkatan investasi, bantuan pembangunan, dan kerjasama teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional.Dalam hal ekonomi, misalnya, Indonesia telah memanfaatkan hubungan yang erat dengan China, salah satunya melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI). Proyek-proyek seperti pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menunjukkan komitmen Indonesia untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang ditawarkan China. Di sisi lain, Indonesia juga tetap menjaga hubungan ekonomi yang erat dengan AS, terutama dalam perdagangan dan investasi sektor teknologi.
Kebijakan Non-Blok dalam Rivalitas AS-China
Kebijakan non-blok Indonesia tercermin dalam upaya untuk menjaga netralitas di tengah rivalitas AS-China. Presiden Jokowi menekankan pentingnya kedaulatan dalam setiap kebijakan luar negeri yang diambil. Sikap Indonesia terhadap Laut China Selatan adalah salah satu contohnya. Dalam menghadapi klaim sepihak China di perairan tersebut, Indonesia menegaskan bahwa kedaulatan atas Kepulauan Natuna dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya adalah harga mati. Pernyataan tegas ini mencerminkan prinsip realis yang menempatkan kedaulatan sebagai kepentingan utama.Di sisi lain, Indonesia juga aktif mendorong stabilitas kawasan melalui diplomasi multilateral. Sebagai salah satu negara utama di ASEAN, Indonesia mengambil peran penting dalam pembentukan konsensus ASEAN terhadap isu Laut China Selatan. Kebijakan ini menunjukkan bahwa meskipun berpegang pada prinsip non-blok, Indonesia tetap menggunakan kekuatan diplomasi untuk menciptakan keseimbangan di kawasan. Meskipun pendekatan realis ini memberikan stabilitas dan keuntungan strategis bagi Indonesia, ada beberapa kritik terhadap implementasinya.Â
Pertama, fokus yang besar pada aspek ekonomi dalam hubungan dengan China sering dianggap mengurangi perhatian terhadap dampak strategis jangka panjang. Ketergantungan yang meningkat pada investasi dan proyek infrastruktur yang didanai oleh China dapat melemahkan posisi tawar Indonesia dalam isu-isu geopolitik tertentu.Kedua, ada tantangan dalam menjaga konsistensi kebijakan non-blok ketika rivalitas AS-China semakin memanas. Dalam beberapa kasus, Indonesia menghadapi tekanan untuk memilih salah satu pihak. Misalnya, dalam konteks teknologi 5G, AS telah mendorong negara-negara sekutunya, termasuk mitra-mitra strategis, untuk membatasi kerjasama dengan perusahaan China seperti Huawei. Indonesia harus menavigasi isu ini dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif terhadap hubungan bilateralnya.
Secara keseluruhan, kebijakan non-blok Indonesia di tengah rivalitas AS-China memang mencerminkan pendekatan realis yang pragmatis dan mengutamakan kepentingan nasional serta kedaulatan negara. Meskipun kebijakan ini efektif dalam menjaga stabilitas dan memanfaatkan peluang ekonomi dari kedua kekuatan besar, ada potensi risiko yang perlu dikelola dengan hati-hati. Indonesia harus tetap kritis dalam mengevaluasi kebijakan luar negerinya, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari ketergantungan ekonomi dan tekanan politik yang mungkin timbul dari kedua kutub kekuatan global tersebut. Pendekatan yang seimbang, fleksibel, dan realistis tetap menjadi kunci bagi Indonesia dalam mempertahankan posisi strategisnya di tengah persaingan internasional yang semakin tajam.
Kesimpulan
Pendekatan realis dalam kebijakan non-blok Indonesia selama era Presiden Jokowi merupakan strategi yang pragmatis dan relevan dalam menghadapi rivalitas AS-China. Dengan menekankan pada kepentingan nasional, kedaulatan, dan diplomasi multilateral, Indonesia berhasil menjaga stabilitas di tengah dinamika geopolitik yang kompleks. Namun, tantangan dalam menjaga konsistensi kebijakan non-blok dan mengelola ketergantungan ekonomi pada kekuatan besar tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus diperhatikan oleh pemerintah.Dalam konteks hubungan internasional, kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Jokowi menjadi studi kasus yang menarik tentang bagaimana negara berkembang dapat menggunakan pendekatan realis untuk menghadapi tekanan dan peluang dalam sistem internasional yang semakin multipolar. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, memahami dinamika ini tidak hanya penting untuk mengevaluasi kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi juga untuk melihat bagaimana teori realisme dapat diterapkan dalam praktik diplomasi kontemporer.