[caption id="attachment_343636" align="aligncenter" width="461" caption="SUMBER: costeaandreamihai.blogspot.com"][/caption]
Siang hari ini, kita masih seperti biasanya. Cerah. Langit membentang biru bersih. Tak ada awan. Hanya cahaya mentari yang menyentuh diri kita. Ya, kita. makhluq-Nya. Kita berdua juga.
Baru saja aku berlalu dari pintu gedung, sekelebat aku melihat kainmu tergerai. Di balik batang pohon rimbun. Kaududuk bersama teman-temanmu. Tergerai sangat indah. Terbang-melayang yang nian menyejukkan pandangan. Kain biru muda yang kaukenakan sebagai penutup kepala dan hampir seluruh tubuhmu itu melambai. Melambai tepat di depan mataku.
“Digh! Ayo… tunggu apalagi, ya!” ajak pemudaku sambil menarik rangkulannya pada otot bisepku.
Tersentak. Pandanganku padamu beralih seketika, “Eh. Iya!”
Dari itu akupun terus berjalan dengannya. Mataku tak menoleh lagi padamu. Lurus. Hanya berani menatap lurus. Pandangannku padamu hilang sudah. Dan pikiranku tentang kain itu secepat laun akan pudar juga.
*
“Permisi, Digh.”
Kakiku berhenti. Air-air di rambutku pun kini menetes bebas. Masih basah. Sedang pengeras suara di masjid juga masih mengeluarkan ceramah sang imam Shalat Zhuhur tadi. Tapi kini kaumemanggilku. Ada apa?
Tubuhku berdiri tegap. Mematung. Lalu berpaling menghadapmu, “Ya?”
Aku melihat matamu. Ia yang menatap mataku, “Aku ingin meminta bantuanmu. Boleh?” ucapnya memalingkan wajah dan menunjuk barang-barang yang udah tersusun rapi di dalam kardus.
Ya Tuhan. Kainnya tergerai lagi!
Aku melempar tatapanku ke atas tanah, “Tentu.” Bibirku basah. Ujung mataku basah.
Dari ujung koridor, aku mendengar suara hentakan sepatu. Kulihat sedikit, itu suara sepatu yang pemiliknya mengenakan rok panjang, “Kalian berdua? Ada ada di sini? Wah…”
“Cuma.”
Dadaku mulai berdebar-debar lagi. Kenapa kau tiba-tiba gugup begitu ketika ia dating? Tidak seperti saat kita berdua tadi.
“Seseorang butuh bantuan di sini.”
Kau mendekat padanya. Mendekatkan tanganmu ke pergelangan tangannya.
“Tidak ada apa-apa, sayang. Tolong jangan ceritakan apapun, aku belum siap.”
Wajahku mendongak. Pandangku sekarang memusat pada tumpukan kardus itu. lalu berjalan. Pelan, ”Baiklah. Aku bisa melakukannya.”
Aku mulai meraih mereka dan memeluknya satu-persatu. Tapi kenapa kau hanya melihatku dari jauh? Menatapku sama seperti saat aku menatapmu kala itu?
Ketika sudah sampai ke beberapa tingkatan kardus di dalam pelukanku, aku kehilangan keseimbangan. Tumpukannya ini sudah menutupi kepalaku. Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang tengah berlari ke arahku. Apa itu kau? Kau tidak akan membiarkanku terjatuh, ‘kan?
“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang membantunya,”
Suara seorang lelaki? Ah, dia itu pemudaku.
Kau berjalan mundur. Sedikit, “Maaf. Terima kasih.”
“Mari kubantu. Tadi aku mencarimu di masjid, ternyata kau sudah balik,” ujar pemudaku itu sambil menurunkan beberapa kardus dari pelukanku untuk ia peluk kemudian. “Ohya, kalian boleh kembali sekarang. Insyaa Allah kami berdua bisa mengatasi ini.”
Kau tersenyum. Ia juga. Oh, Mataku. “Terima kasih banyak.”
Ya Tuhan. Kainnya tergerai indah lagi.
Kau dan dia akhirnya berlalu. Dari belakangmu kini aku menatap. Menatap semakin menjauh.
“Ia hampir saja menyentuhmu. Syukur saja, aku tepat waktu.”
Bahkan pemudaku takkan membiarkanmu menyentuh hatiku. Dan akupun begitu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H