Mohon tunggu...
Khairudin M. Ali
Khairudin M. Ali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wartawan

Seorang wartawan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wawo yang Luar Biasa

15 Oktober 2015   07:07 Diperbarui: 16 Oktober 2015   05:51 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Arsyad Adam, tokoh masyarakat Wawo"][/caption]BEBERAPA waktu lalu saya sempat hadiri acara resepsi pernikahan rekan kerja yang sudah lama bersama saya, H Nasir Ali di Kecamatan Wawo. Pria sederhana yang murah senyum ini menjadi orang tua pertama di perusahaan kami yang menikahkan anaknya. Alhamdulillah, beban dan tanggungjawabnya sebagai ayah kini beralih kepada suaminya. Walau saya turut bahagia, tetapi bukan hal ini yang ingin saya tulis. Saya ingin mengungkap sedikit sisi lain dari sebuah kecamatan di Bima, yang bernama Wawo.

Awalnya seh saya merasa tidak ada yang luar biasa ketika duduk paling belakang di acara resepsi kali ini. Saya senagaja pilih kursi paling belakang selain karena telat hadir, juga karena melihat ada kursi kosong yang paling dekat dengan pintu masuk acara. Praktis, jadi tidak perlu sibuk mencari kursi yang kosong di depan. Rupanya keputusan saya untuk duduk di kursi paling belakang ini, saya bisa berkenalan dengan seorang tokoh masyarakat Wawo. Beliau duduk di samping kana saya, namanya Arsyad Adam. Beliau ternyata seorang guru yang pernah menjadi kepala sekolah dasar selama 23 tahun dan kini sudah menjadi Pengawas Pendidikan di Kecamatan Wawo. Selama 15 tahun menjadi kepala sekolah di SDN Riamau, sebuah desa di sisi gunung bagian utara Kecamatan Wawo. Selebihnya menjadi kepala sekolah di Kawae dan sekolah lainnya. Pria asal Desa Maria ini walau seorang tokoh di wilayahnya, tidak memilih duduk manis di kursi depan seperti kebanyakan ‘tokoh’ lainnya. Karena kadang di daerah ini, kehormatan itu identik juga dengan tempat duduk yang paling depan.

Awalnya kami ngobrol biasa saja, saling megenalkan diri. Tetapi obrolan menjadi serius ketika saya mulai ajukan sejumlah pertanyaan terkait dengan kehidupan masyarakat Wawo. Hal itu diawali dengan ketertarikan saya terkait dengan begitu teraturnya para undangan yang memberikan ucapan selamat kepada pengantin dan keluarganya. ‘’Pak, teratur sekali ya para undangan memberikan ucapan selamat pada pengantin?,’’ tanya saya pada Pak Arsyad. Pria 58 tahun menjawab bahwa itu memang sudah menjadi tradisi di Wawo umumnya. ‘’Di sini tidak ada yang rebutan pak,’’ katanya singkat.

Bagi pembaca menganggap mungkin hal yang saya tanyakan itu sederhana. Bukankah memang harusnya teratur? Bukankah di mana-mana juga sudah begitu, teratur dan antre tunggu giliran? Saya ingin menyampaikan bahwa fenomena teratur dan tunggu giliran itu, sudah semakin mahal di Bima. Semakin sulit didapati pemandangan di mana para undangan secara teratur mengikuti instruksi panitia saat memberikan ucapan selamat. Biasanya, begitu pemandu acara memberikan kesempatan kepada wanita terlebih dahulu misalnya, maka seluruh undangan wanita yang hadir langsung berebutan untuk bersalaman dengan pengantin. Biasanya, kondisi tidak terkendali karena berdesak-desakan. Rebutan pun terjadi dan ini terjadi di banyak tempat, termasuk di tempat ‘mewah’ sekelas Paruga Na’e pun terjadi hal seperti ini.

Bisa jadi karena alasan inilah, maka sekarang mulai marak acara resepsi dalam bentuk standing party. Siapa yang sudah datang terlebih dahulu dipersilahkan untuk memberikan ucapan selamat terslebih dahulu dan seterusnya. Tidak ada desak-desakan, karena undangan bisa memilih hadir jam berapa pun yang mereka kehendaki antara pukul 14.00 hingga pukul 16.30 atau 17.00. Artinya tidak perlu berdesak-desakan. Pengantin dan keluarganya pun sudah siap di pelaminan sejak jam yang sudah ditentukan. Jadi lumayan tertib.

Kembali ke Wawo, obrolan dengan Pak Arsyad makin serius. Dia dengan bangga mulai bercerita bahwa itulah salah satu sebab mengapa dirinya duduk di kursi paling belakang. ‘’Untuk mengawasi dan kami akan selalu melakukan evalusi setiap acara seperti ini selesai,’’ katanya. Wah, begitu rupanya? Di tempat saya di Kota Bima, panitia itu terkadang hanya formalitas saja. Yang sungguh-sungguh bertugas ya hanya penerima tamu. Itu pun hanya sebentar.

Menurut saya, apa yang terjadi di Wawo ini memang beda. Bukan sekadar karena tertibnya mereka dalam memberikan ucapan selamat kepada pengantin, tetapi bagaimana mereka mempertahankan dan memelihara sikap disiplin yang demikian inilah yang menjadi sisi menariknya.

Selain mengobrol dengan Pak Arsyad, saya sebenranya sudah cukup lama mencermati kehidupan masyarakat di Kecamatan Wawo. Kecamatan ini berada hanya sekitar 16 kilometer dari titik kilometer nol Kota Bima ke arah timur. Saya sendiri sering sekali bersepada sendirian menuju kecamatan yang berada di atas gunung dengan ketinggian sekitar 250 meter di atas permukaan laut ini. Jalan yang menuju Wawo sudah mulus diaspal hotmix karena memang dilewati oleh jalan negara penghubung ke Pelabuhan Sape. Jalan berkelok-kelok menjadi pemandangan yang menarik sepanjang perjalana menuju Wawo. Kecamatan yasng memiliki luas sekitar 411,27 Km2 dengan 90 persen wilayahnya berbentuk dataran tinggi ini, beribukota di desa Maria.

Berdasarkan pengamatan saya selama ini, Wawo merupakan kecamatan yang paling aman di Bima. Bahkan sebuah media online pernah melaporkan ada desa di Bima yaitu Maria, memiliki tingkat gangguan keamanan nol atau tidak pernah terjadi sama sekali (http://news.detik.com/berita/2884852/di-bima-ada-desa-yang-penuh-kedamaian-dan-zero-kriminal). Ini prestasi luar biasa.

Saya yang kerap melewati kecamatan ini jam berapa pun, selalu merasa nyaman. Tidak ada kecemasan apa pun karena saya sangat yakin dengan keamanannya. Kecamatan Wawo juga terbilang istimewa. Selain masyarakatnya yang ‘sejuk’ juga memiliki banyak budaya yang kesohor. Sebut saja ada Taji Tuta atau Ntumbu (https://ompundaru.wordpress.com/2008/12/07/ntumbu-adu-kepala/), Uma Lengge (https://pesonawisatabima.wordpress.com/obyek-dan-daya-tarik-wisata/wisata-sejarah/uma-lengge-desa-maria-kecamatan-wawo/) dan banyak lagi. Sejumlah televisi nasional sudah mengeskpos keunikan kehidupan budaya masyarakat Wawo.

Menurut Arsyad Adam, masyarakat Wawo hingga kini masih terus melestarikan nilai-nilai budaya nenek moyang mereka. Wawo menurutnya bukan hanya karena berada di atas gunung. Wawo dalam bahasa Bima bisa berarti puncak, tetapi juga manusianya merupakan pilihan atau wawo ba dou. Manusianya yang sabar, berbudaya, taat aturan, dan tertiba dalam menjaga hubungan dengan sesama dan alam, merupakan nilai-nilai yang erus ditanamkan pada generasi Wawo hingga saat ini. Bahkan menurut Arsyad, ada dogma yang terus ditancapkan bahwa bukan orang Wawo kalau membuat keonaran, membuat kekacauan, tidak berbudaya, dan melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Orang Wawo adalah tertib dan berbudaya luhur dan berbudi pekerti yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun