Mohon tunggu...
Khairudin M. Ali
Khairudin M. Ali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wartawan

Seorang wartawan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bersepeda, Menyusuri Pantai Wera yang Eksotik

28 Januari 2014   18:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAGI kawan-kawan yang bergabung dalam Bima Cycling Club (BCC), sudah banyak rute yang dilalui dengan mengayuh sepeda. Suka dan duka pun mereka alami. Kali ini saya punya kesempatan untuk bergabung dengan mereka dalam Sepeda Jelajah Lingkar Utara Kabupaten Bima.Berikut catatan perjalanan saya, bersepeda menyusuri pantai Wera yang eksotik.

Pada Jumat siang, saya sempat diajak oleh rekan Naufal Imran, salah seorang staf Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Bima. Naufal adalah anggota BCC yang sudah sering ikut tour bersama anggota lainnya. Dia mengatakan akan ada tur lingkar utara dari Ncai Kapenta sampai Sape, pada Minggu pagi 26 Januari 2014. Ajakan ini sungguh menggelitik saya, karena memang sudah lama tidak naik sepeda ramai-ramai. Sampai Sabtu, saya belum memutuskan apakah akan ikut dalam tur kali. Mengingat seminggu sebelumnya saya terkena flu berat dan sakit. Tentu dalam kondisi fisik yang belum benar-benar pulih, terlalu berisiko untuk mengayuh sepeda dari Ncai Kapenta sampai Sape. Menurut Ketua BCC, Pak Abdi jauhnya hampir 100 km.

[caption id="attachment_309029" align="alignleft" width="480" caption="Pantai Wera yang eksotik siap menerima kunjungan wisatawan."][/caption] Saya terus berpikir soal akan ikut atau tidak, mengingat kondisi kesehatan saya saat itu. Sementara dua sepeda saya, sudah siap ditunggangi karena baru dua hari lalu diservis berkala di dealer Polygon, Listra Jaya.Pada subuh Minggu sekitar pukul 05.00 Wita, saya kemudian mengirim SMS kepada Pak Abdi menanyakan di mana tempat berkumpul. Itu pun saya masih ragu apakah akan benar-benar ikut atau tidak. Kendati demikian, saya mulai mencari kacamata hitam, helm, kaos tangan, baju dan celana sepeda.Istri saya bertanya mau kemana. Saya katakan akan ikut sepedaan ke Wera sampai Sape. Bahkan saya memintanya untuk membantu menyiapkan baju dan celana cadangan, mengantisipasi terjadinya hujan saat bersepeda. Saya tidak ingin kedinginan kalau saat bersepeda diguyur hujan. Saya mengantisipasi dengan mengganti seluruh pakaian dan memilih naik mobil Polygon jika kondisi saya tidak memungkinkan.

Pak Abdi sendiri kaget begitu saya SMS. Sebagai penanggungjawab tur, dia kemudian menyiapkan segala sesuatunya, termasuk konsumsi lebih untuk saya jika jadi ikut. Karena sewaktu saya kirim SMS kepada dia, saya katakan ‘mungkin saya akan ikut.’ Kata mungkin inilah yang membuatnya ragu, tetapi tetap mengantisipasi dengan membeli perbekalan lebih.

Pukul 05.30 Wita, saya sarapan dengan sebutir telur dan nasi yang baru saja matang. Tidak ada bekal lain yang saya bawa karena memang keputusannya diambil pada ujung watu di pagi hari saat kegiatan akan dilaksanakan. Kalau dalam kondisi normal, biasanya saya akan membeli paling tidak roti tawar. Juga beberapa camilan tambahan karena akan menempuh jarak yang cukup jauh.

Saya sebenarnya sudah cukup lama tidak ikut kawan-kawan BCC yang telah menjelajahi banyak rute. Mereka bahkan di antaranya sudah pernah mengikuti festival Moyo di Sumbawa. Sebelumnya mereka sudah pernah bersepeda dari Kore, Sanggar menuju mata air Hodo, sebuah mata air di pesisir barat Pulau Sumbawa. Bukan lagi jarak yang mereka cari, tetapi menjelajahi medan yang sulit. Bahkan mereka pernah bersepeda dari Parado Wane menuju Lakey di Hu’u. Mereka yang tadinya sesuai survai mestinya langsung bisa sampai di Lakey pada sore hari, ternyata harus menginap di tengah hutan di pinggir pantai di jalan yang tidak jelas arahnya.

Di luar rute itu, mereka juga pernah menjelajah Riamau menuju Sape. Bahkan berkali-kali bersepeda di Sambori, negeri di atas awan.Bagi saya, kawan-kawan itu telah teruji untuk menjelajahi rute-rute sulit, panjang bahkan cenderung esktrem. Mereka pun pernah mengesplorasi jalur Sape-Lambu-Rupe (Langgudu) hingga kembali ke Kota Bima pada akhir Januari tahun 2013 lalu. Tetapi saya baru beberapa kali dari Kota Bima ke Dompu hingga Madaparama, ke Lakey juga ke Sape melalui jalur Kota Bima-Wawo-Sape.

Bersepeda di lingkar utara merupakan sebuah impian walau saya mengerti bahwa rute ini sulit dan panjang. Dengan sepada motor saya pernah melewatinya dengan mantan Bupati Bima, Drs H Zainul Arifin bersama rombongan lain pada kegiatan Tour wisata PWI Bima. Yang pasti kesannya adalah panas, panjang, dan menantang. Ada Pulau Ular yang ingin kami singgahi sejenak dalam jelajah lingkar utara ini, selain menikmati pemandangan pinggir laut yang eksotik.

Pagi pukul 06.10 Wita, saya sudah tiba di dealer Polygon untuk bergabung dengan kawan-kawan BCC. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, sekitar pukul 06. 55 Wita, rombongan yang berjumlah 12 orang itu menuju ke Ncai Kapenta.Sekitar pukul 07.15 Wita rombongan sebagian sarapan dan melanjutkan perjalanan sekitar pukul 07.44 Wita. Bagi kami, jalan menurun di sisi utara Ncai Kapenta merupakan bonus. Kami bisa memacu sepeda dengan kecepatan maksimal untuk menghemat waktu. Jelajah lingkar utara dimulai.

Pandangan keheranan warga yang melihat kami bersepeda menjadi salah satu momen yang menghibur kami. Setiap ada kerumunan warga selalu memanggil kami dengan sebutan ‘mister’ sambil melambaikan tangan mereka dengan penuh keramahan. Inilah yang kami sukai setiap melakukan perjalanan dengan sepeda. Sapa ramah selalu mengiringi setiap kaki kami mengayuh pedal sepeda. Rasa lelah terbayar oleh pemandangan persahabatan dan penuh kekeluargaan seperti ini.

Waktu terus berjalan, kami sudah mulai melewati perbatasan Kecamatan Ambalawi dengan Sape. Kami menyisir pantai dengan terpaan angin laut yang kencang. Kayuhan kami terasa berat apalagi matahari sudah mulai panas. Sekitar pukul 09.15 Wita kami istrahat pertama di Desa Nanga Wera. Menurut Arsyad, petani setempat, desa ini merupakan pemekaran dari Desa Wora sekitar dua tahun yang lalu. Di sini, sebagian dari kami sarapan termasuk saya karena tidak sarapan di Ncai Kapenta. Mobil logistik selalu setia mengiringi kami karena ini perjalanan yang jauh dan sulit.

Di pinggir pantai di areal seluas hampir satu hektare, Arsyad menanam semangka, singkong, dan kacang tanah. Bersama empat orang anaknya dia mengelola lahan tadah hujan itu menjadi lahan produktif. Pada saat kami mampir, semangka baru saja mulai berbunga. ‘’Semangka wati mbuana, ampode na mbunta (semangka belum berbuah, baru saja berbunga, Red),’’ kata Arsyad. Ia terlihat cukup menyesal tidak bisa berbagi semangka hasil kebunnya dengan kami.

Pak Arsyad mulai memanfaatkan lahannya itu untuk menanam semangka sejak tahun 2010 lalu. Dia mengaku cukup beruntung karena pemasarannya yang tidak sulit. Selain ada pedagang yang datang membeli langsung di kebun saat panen tiba, juga terkadang dia membawa sendiri ke Kota Bima untuk dijual langsung. Harganya pun bervariasi mulai dari Rp5ribu untuk ukuran paling kecil hingga Rp15ribu untuk ukuran besar. Dengan usahanya itu, petani yang sudah berusia 50 tahun ini sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA. Tiga anaknya lagi, satu orang masih duduk di bangku SMA dan dua yang paling kecil masih SD. Ada seeokor monyet yang menghibur kawan-kawan dengan tingkah lucunya ketika diberi makanan. Bahkan permen pun dilahap, tangannya lincah membuka isi permen sebelum dimasukkan di mulutnya. Dia juga terlihat riang karena mungkin melihat kami yang ramai menggodanya.

Usai sarapan dan mengobrol dengan keluarga pak Arsyad, kami melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 10.00 Wita, kami tiba di perbatasan Desa Wora dengan Desa Nanga Wera. Hanya sepuluh menit berikutnya rombongan kami tiba di Desa Tawali. Panas makin menyengat. Tidak ada mendung selama kami mengayuh sampai di Desa Tawali. Jalan berlobang dan rusak hampir di semua badan jalan cukup menyulitkan kami. Sekitar pukul 10.30 Wita, ban sepeda Pak Abdi pecah. Sebagian ikut membantu mengganti ban, sementara saya terus mengayuh sepeda hingga tiba di ibu kota Kecamatan Wera. Saya sempat berpose sejenak di depan Kantor Camat sebelum melanjutkan perjalanan ke pasar Tawali. Di sini kami istrahat sejenak dan mengobrol dengan warga di situ, sambil membeli bekal untuk makan siang.

Lewati Tawali, jalan yang kami lalui pun mulai banyak tanjakannya. Semakin ke timur semakin sering menjumpai tanjakan dengan kondisi jalan yang rusak. Panas semakin menyengat, badan serasa terbakar karena hanya mengenakan jersey tipis berwarna kuning. Panas dari atas juga panas dari aspal sungguh sangat menyiksa.

Kawan-kawan memutuskan untuk makan siang di pantai Oi Tui, sebuah desa baru yang merupakan daerah transmigrasi. Daerah baru ini dibuka sekitar tahun 1992, untuk memindahkan warga yang bermukim di Teluk Waworada yang ketika itu lahannya digunakan untuk membuka tambak udang. Banyak masalah yang muncul pada saat itu, tetapi kebijakan pemerintah Orde Baru yang cenderung represif, tidak bisa dihadang apalagi ditentang. Tambak udang itu kini terbengkalai, sementara lokasi transmigrasi di Oi Tui kini sudah mulai ramai. Warga ketika itu protes karena bukan hanya kehilangan lahan pertanian, tetapi juga sumber mata air untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Saya ingat betul ketika Sekda Kabupaten Bima ketika itu, Drs H. Mas’ud Zakariah termasuk salah satu yang menentang pembukaan tambak, karena dinilai menyengsarakan warga. Gaungnya sampai Jakarta. Respon juga datang dari DPR RI. Beberapa kali mereka datang untuk mendengar dan menyerap aspirasi rakyat Waworada.

Dulu lokasi yang tidak disukai, sudah mulai tumbuh dan subur. Di sini pun sudah berdiri sebuah BTS milik operator seluler. Kami putuskan makan siang di pantai dekat transmigrasi Oi Tui, sambil berkabar pada keluarga. Di tempat ini, Gunung Sangiang sudah kami lewati. Posisi Gunung Sangiang sudah berada di barat. Itu artinya perjalanan kami sudah semakin mendekati perbatasan Wera dengan Kecamatan Sape.Setelah istrahat dan makan siang, saya sendiri tidak makan karena masih kenyang, tim melanjutkan perjalanan sekitar pukul 12.00 Wita.

Kayuhan sepeda kami akhirnya sampai juga di sebuah desa yang bernama Kalajena. Di tempat ini kami melaksanakan shalat dzuhur. Saya sendiri memilih untuk melaksanakan shalat jamak qashar. Kemudahan yang diberikan bagi musafir, yaitu menggabungkan dzuhur dengan ashar dengan cara menyingkat dua rakat dua rakat. Ini saya lakukan karena khawatir tidak bisa melaksanakan shalat secara normal. Kami masih sulit memprediksi waktu perjalanan, mengingat medannya yang tidak mudah.

Saya sendiri sempat makan siang nasi jatah saya di tempat ini. Rasanya nikmat sekali. Saya duduk di pinggir gunung di sisi jalan raya. Kemudian saya melanjutkan makan di dalam masjid sebelum saya laksanakan shalat. Usai shalat kami disuguhi kelapa muda oleh warga setempat.

Saya agak tertarik dengan nama desa ini. Karena ada kata ‘Jena’. Ternyata dugaan saya tidak meleset. Kata itu tidak jauh dari cerita jaman kesultanan dahulu. Kabarnya, di desa ini ada sebuah batu cadas yang biasa di pakai oleh rombongan para sultan dari kerajaan Bima untuk menunggu rusa yang turun. Di tempat ini mereka biasa berburu rusa sebagai salah satu hiburan para petinggikerajaan di masa lampau.

Di desa ini saya juga sempat merasakan gejala kram pada otot paha bagian depan. Dua-duanya. Karena panas yang menyengat, saya memutuskan untuk menaikan sepeda saya. Saya khawatir kramnya makin parah. Saya menyerah di Desa Kalajena. Di titik ini, sudah mencapai angka 80 km dari Kota Bima. Saya sudah bulat tidak bersepeda lagi, sepeda pun sudah diikat di atas mobil untuk diangkut. Selain saya, Pak Telo juga sudah lebih dahulu menaikan sepedanya. Beliau paling senior di antara anggota tim. Tetapi fisiknya masih sangat prima dan sering mengikuti tur bersama BCC.

Setelah makan kelapa muda dan minum airnya untuk mengganti ion tubuh yang hilang, cuaca berubah. Ada gerimis dan langit mendung. Rasanya sejuk. Saya berubah pikiran dan memutuskan untuk naik sepeda lagi. Pak Sanjaya Lay, salah satu anggota tim sempat berujar, ‘’wah ini baru biker sejati. Kalau merasa masih mampu gowes tetap lanjut,’’ katanya dengan wajah berseri.

Saya masih ingin gowes. Secara fisik saya belum merasakan kelelahan. Masih prima dan masih kuat mengayuh sepeda tanpa ada rasa lelah. Tanjakan kami lewati dengan baik. Tekad saya untuk melanjutkan gowes sudah bulat dan sepeda pun diturunkan lagi oleh Adi, salah satu anggota tim. Siap berangkat. Pukul 13.00 Wita, saya kembali mengayuh sepeda. Belum sampai dua kilometer mengayuh, kami tiba di tanjakan yang lumayan panjang. Awalnya biasa saja, tidak terjadi apa-apa. Pelan tapi pasti sepeda saya naik dan naik. Tetapi ketika sepeda saya sudah mulai masuk jalan agak mendatar di atas bukit, tiba-tiba saya merasakan otot paha saya tertarik ke dalam dan kram. Dua-duanya. Sakitnya bukan main dan saya tidak bisa bergerak lagi. Saya telentang di aspal panas sambil menahan rasa sakit pada otot paha yang sudah tertarik ke dalam. Ini pertama kali saya rasakan kram. Sakit. Kawan-kawan membantu untuk menaikan sepeda lagi di atas mobil, sambil menunggu otot paha saya kembali normal. Perlu waktu lebih dari dua puluh menit sebelum akhirnya saya bisa menekuk lutut saya. Aman. Lokasinya ternyata sudah dekat dengan jalan masuk menuju Pulau Ular.

Pak Abdi sudah menunggu kami di pintun gerbang. Saya bersyukur ada perkembangan di sini. Ketika dahulu saya pertama ke Pulau Ular, belum ada akses jalan ke tempat wisata yang mulai diminati warga ini. Tetapi sekarang, sudah ada akses jalan yang dibuat di sisi timur sebuah sekolah menengah.Cuma sayangnya belum di aspal. Masih rusak, sehingga kami tidak bisa masuk dengan mobil. Saya memutuskan berjalan untuk menuju ke pantai supaya bisa menyeberang ke Pulau Ular.

Di pantai ada dua bangunan berupa berugak, tetapi tidak terawat. ‘’Kita tidak bisa menyeberanga karenaair laut pasang dan gelombangnya besar,’’ kata Palk Abdi.

Kawan-kawan yang sudah penasaran dengan cerita tentang pulau ini, kecewa karena tidak bisa menyeberang. Sebetulnya bisa saja menyeberang, tetapi menurut warga sekitar, dalam kondisi airnya pasang, ularnya tidak bisa ditemukan. Jadi percuma saja menyeberang. Setelah istrahat sejenak, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Tetapi ada perubahan rencana, semua anggota tim memutuskan untuk menaikkan seluruh sepeda dan tidak melanjutkan gowes. Pertimbangannya, takut kemalaman. Karena ketika kami berada di situ, waktu sudah pukul 14.30 Wita. Sementara perjalanan ke Sape masih diperkirakan 30 km lagi. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi medannya yang berat. Tanjakan ekstrim hampir sepanjang jalan yang ditempuh. Bahkan pada saat tanjakan pertama, mobil yang kami tumpangi tidak bisa naik. Saya yang duduk di bak samping langsung loncat ingin mengganjal ban mobil supaya tidak mundur. Celakanya, justeru kram saya kambuh. Mungkin karena ditekuk selama duduk di mobil kemudian tiba-tiba lompat, mengakibatkan otot paha saya tertarik dan kram berat.Dua-duanya tidak bisa digerakkan. Kawan-kawan saya menolog dan sakitnya bukan main. Perlu waktu lebih dari 20 menit sebelum akhirnya serangan kram itu bisa dilewati. Pada saat kejadian ini, kami semua sudah basah kuyup diguyur hujan.

Kondisi ini memang berat. Dengan naik mobil saja, kami baru tiba di Desa Lamere sudah pukul 16.30 Wita. Baru kemudian di sekitar pantai Torowamba, sebagian dari kami memutuskan melanjutkan gowes. Tidak termasuk saya karena sudah cidera. Rute awal mestinya sampai ke kota Sape. Tetapi setelah istrahat di Desa Kowo, semua sepeda diangkut untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Bima. Kami tiba dengan selamat di Kota Bima sekitar pukul 18.30 Wita. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun