patung-patung berderet di depan rumah penduduk. Entah terbuat dari batu, perunggu, kuningan, yang nantinya dirupakan figur dewa-dewi hindu, raja-raja, buddha, hewan, dan karya-karya seni yang meluap di sela terik perbatasan Mojokerto -- Jombang.
Selain melahirkan falsafah konstitusi, banyak yang tak tahu jika ibukota salah satu kekaisaran terbesar di Asia Tenggara ini juga melahirkan komedi. Selain banyaknya candi-candi Majapahit, jika memasuki kawasan tertentu di Trowulan, tak asing bagi kita denganKerajinan di dataran ini sudah mengakar kuat di pembuluh darah orang-orang Trowulan. Sampai desas-desusnya, mereka tak perlu mengenyam pendidikan artistik di peguruan tinggi untuk menjadi perajin atau seniman handal. Tak perlu lagi mengambil program studi bisnis, manajemen, ataupun pemasaran untuk menjadikan karya seni mereka ladang bisnis yang jangkauannya antar pulau ataupun mancanegara. Dalam tarikan nafasnya, bagi artisan pemeluk Islam tentu profesi ini banyak mengundang perdebatan banyak kalangan, terutama perdebatan hukum fikih. Tentang bagaimana pembuatan patung yang dihukumi sebagai sesembahan dan menyerupai mahluk ciptaan-Nya ataupun berimbas tidak dimasukinya rumah seseorang oleh malaikat jika ia memajang patung.
Namun perihal hukum tidak menyurutkan semangat perajin patung dalam menghidupi dirinya dan keluarga. Tentu islam hadir menjadi penyempurna sekaligus memudahkan aspek kehidupan pemeluknya. Di tengah panas perdebatan hukum fikih ini, anekdot datang sebagai oase bagi jamiyatul garis lucu.
Diceritakan bahwa kebanyakan para perajin di Trowulan ini berumur panjang. Bukan karena ajian, khodam, ataupun hal yang berkaitan dengan paradigma mistik lokal. Usut punya usut, rahasia umur panjang mereka dikarenakan patung yang dipajang di rumah-rumah.
Iya betul, patung-patung yang dipajang di rumah -Â rumah mereka.
Ketika ditanya apa keterkaitan umur panjang dan karya seni, mereka menjawab dengan tawa tergelak.
"Loh lah yo mas, kita tahunya malaekat kan nggak bisa masuk rumah kalau ada patung. Makane tak pajang di depan, biar malaekat Izrail bingung mau masuk lewat mana hahahahaha."
Tentu dengan suasana hangat, percakapan jenaka ini terus berlanjut sampai langit yang dikisahkan jingga merona memayungi candi-candi di perkampungan ini. Lengkap dengan batu bata merah yang menjadi ciri khasnya.
Azan maghrib mulai memanggil, menandakan para perajin bersiap untuk menghadap. Mengenakan peci, menyarungkan kain, tak lupa wewangian non-alkohol khas mereka-mereka. Berjalan menuju panggilan dengan sandal karet reot yang mereka kenakan, untuk bertemu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Untuk melaporkan hal-hal yang mereka alami, untuk mencurahkan apa-apa yang telah terjadi.
Diceritakan bahwa mereka sering menunduk dengan ketidaktahuan dan bersujud dengan ketulusan. Para bapak kami, para penyambung rezeki kami, para perajin Trowulan yang menempa kerelaan dalam perdebatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H