Mohon tunggu...
Khafid Tri Kusumo
Khafid Tri Kusumo Mohon Tunggu... Lainnya - Pegawai Negeri Sipil

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membawa Pajak di Indonesia ke Era Baru: Kepatuhan yang Didukung oleh Insentif Sosial, Ekonomi, dan Psikologis

13 November 2024   21:29 Diperbarui: 13 November 2024   21:39 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kepatuhan pajak merupakan tantangan besar di Indonesia. Sebagai negara berkembang dengan penduduk lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia hanya mampu mengumpulkan pajak sebesar 10-12% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mencapai 15% dan negara maju yang rata-rata mencapai 35%. Rendahnya kepatuhan pajak ini berakibat pada defisit anggaran yang membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sistem perpajakan yang lebih kuat sangat dibutuhkan agar Indonesia dapat mendanai pembangunan nasional yang berkelanjutan, tetapi pendekatan tradisional berbasis sanksi dan pengawasan belum cukup berhasil mendorong masyarakat untuk patuh.

Menurut ekonom James Alm, kepatuhan perpajakan sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial, selain insentif langsung. Alm berpendapat bahwa wajib pajak cenderung lebih patuh ketika mereka merasakan dampak nyata dari kontribusi mereka dan percaya bahwa pajak mereka dikelola dengan transparan. Di Indonesia, tantangan utama dalam membangun kepercayaan ini adalah kurangnya transparansi dan komunikasi tentang penggunaan pajak, sehingga banyak warga (wajib pajak) merasa pajak mereka tidak memberikan manfaat langsung. Dari sinilah, pendekatan baru dapat diambil: "Pajak sebagai Pengalaman Sosial", yaitu mengubah persepsi pajak dari kewajiban semata menjadi pengalaman sosial yang bermanfaat secara langsung bagi masyarakat.

Pendekatan "Pajak sebagai Pengalaman Sosial" ini berfokus pada tiga elemen utama: transparansi melalui teknologi blockchain, gamifikasi pembayaran pajak, dan reward berbasis komunitas bagi para wajib pajak. Pertama, transparansi melalui teknologi blockchain dapat membantu masyarakat Indonesia untuk melihat ke mana pajak mereka disalurkan. Data dari Transparency International mengungkapkan bahwa lebih dari 70% masyarakat global cenderung tidak patuh jika tidak yakin dengan pemanfaatan pajak mereka. Dengan teknologi blockchain, pemerintah Indonesia dapat menampilkan pengalokasian pajak secara terbuka dan terperinci. Misalnya, jika seseorang membayar pajak yang digunakan untuk proyek pendidikan di suatu daerah, ia bisa melihat secara langsung berapa dana yang dialokasikan, bagaimana dana tersebut digunakan, dan perkembangan proyeknya. Negara-negara seperti Estonia telah berhasil meningkatkan kepatuhan pajak hingga lebih dari 95% berkat transparansi e-Governance yang berbasis blockchain, suatu pendekatan yang juga dapat mengubah paradigma perpajakan di Indonesia.

Kedua, konsep gamifikasi dapat diterapkan melalui aplikasi yang memungkinkan masyarakat Indonesia untuk memilih program-program tertentu yang ingin mereka danai. Misalnya, wajib pajak bisa memilih mendukung proyek-proyek kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur lokal. Laporan dari Deloitte menunjukkan bahwa gamifikasi dapat meningkatkan keterlibatan publik hingga 60% dalam program yang kompleks. Melalui aplikasi perpajakan ini, masyarakat bisa mendapatkan lencana, poin, insentif sosial, atau istilah sejenisnya sebagai apresiasi atas kontribusi mereka. Ini menciptakan "Gamifikasi Pajak Sosial" yang mengubah pembayaran pajak menjadi aktivitas yang interaktif dan bermanfaat.

Ketiga, konsep reward berbasis komunitas menawarkan insentif sosial dan ekonomi bagi wajib pajak di Indonesia. Penelitian dari Behavioural Insights Team di Inggris menunjukkan bahwa pengakuan sosial dapat menjadi "motivator" kuat dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pro-sosial, termasuk membayar pajak. Di Indonesia, konsep ini dapat diterapkan dengan memberikan keanggotaan eksklusif bagi para pembayar pajak yang patuh. Mereka dapat menikmati diskon khusus di layanan publik, akses ke acara komunitas, atau hak untuk memberikan masukan terkait proyek-proyek yang didanai oleh pajak. Konsep ini telah berhasil diterapkan di Kanada, di mana wajib pajak yang patuh mendapat akses ke acara-acara eksklusif dan potongan harga untuk layanan tertentu, sehingga meningkatkan kepatuhan hingga 20% dalam waktu lima tahun.

Pendekatan "Pajak sebagai Pengalaman Sosial" ini mampu mengubah paradigma masyarakat Indonesia dalam melihat pajak sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar beban kewajiban. Ketika masyarakat merasa pajak mereka memiliki dampak langsung dan dapat melihat hasilnya secara transparan, mereka akan merasa lebih terlibat dalam pembangunan nasional. Pendekatan ini juga berpotensi untuk meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat kepada pemerintah Indonesia, karena mereka bisa melihat langsung bagaimana dana pajak mereka digunakan. Dalam semangat yang sejalan dengan pemikiran James Alm, inovasi ini dapat mengatasi tantangan perpajakan di Indonesia dengan lebih inklusif, transparan, dan berkelanjutan, serta menciptakan kesadaran sosial yang mendorong kepatuhan secara sukarela dan konsisten. v

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun