Menarik membicarakan persoalan tanah yang semakin hari intensitas konfliknya semakin meningkat. Hampir di setiap daerah di Indonesia, konflik agraria ini menjadi penyumbang PR terbanyak persoalan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini wajar di mana persoalan tanah menyangkut banyak hal. Tanah menjadi kehidupan karena dari tanah manusia hidup dan bertempat tinggal di atasnya. Tanah juga merupakan identitas sang pemilik, karena seorang warga Negara diketahui keberadaannya melalui data di mana ia tingga. Dan selama manusia hidup di atas tanah, maka perselisihan menyangkut pertanahan akan selalui mewarnai.
Lihat saja, pada tahun 2011 data di BPPN ada 106 kasus pengaduan terkait masalah pertanahan, sementara di DPR ada 126 kasus pengaduan, juga laporan Satgas mafia hukum, sekitar 152 pengaduan terdapat 85 % nya adalah kasus sengketa pertanahan. Belum lagi persoalan yang tidak masuk pada data ketiga lembaga Negara tersebut. Hal ini semakin menunjukan bahwa persoalan tanah merupakan hal yang sangat sensitif untuk melecut konflik. Terakhir kita disuguhkan peristiwa yang sangat memilukan terkait hubungan Negara dengan masyarakat, kasus Mesuji di Lampung menjadi puncak kegelisahan penulis melihat fenomena sengketa tanah di Indonesia. Beberapa warga meninggal dunia akibat mempertahankan tanah yang menjadi miliknya.
Apakah memang persoalan tanah harus selalu diakhiri dengan prertumpahan darah. Apakah tidak ada regulasi yang jelas terkait penyelesaian sengketa tanah di Indonesia?. Undang-Undang Pokok Agraria yang menjadi aturan baku terkait kepemilikan dan regulasi pertanahan di Indonesia, memang telah menjadi satu acuan. Namun hal tersebut otomatis tergugat manakala kasus konflik yang semakin banyak membutuhkan penyelesaian dengan segera, semakin meruncing dan intens. Apakah memang aturan yang ada dalam UUPA tersebut belum bisa menjadi acuan dalam menyelesiakn sengketa, atau justru penegakan hukumnya saja yang masih tumpang tindih?
Kalau iya, berarti ada persoalan menyangkut kewenangan dan kebijakan pemerintah sebagai lambaga yang menjadi mediator untuk menyelesaiakan kasus pertanahan tersebut. Alih-alih menjadi penyelesai sengketa, pemerintah malah menjadi pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut. Melalui perangkat keamanannya, konflik semakin merunyam dan Negara dalam posisi vis a vis rakyat, sebuah ironi yang sangat memilukan.
Islam dan Ajarannya
Agama selalu datang di saat kondisi masyarakatnya berada pada puncak kebobrokan moral. Ia membawa seperangkat nilai guna mengatur kehidupan masyarakat agar menjadi semakin baik. Begitupun Islam melalui perangkat aturan hukum yang telah ditetapkan, ajaran Islam yang datang dari Tuhan, di konversikan menjadi seperangkat aturan melalui metode penetapan hukum (istinbaatul ahkaam), sehingga dihasilkan produk hukum Islam yang dinamakan fiqh.
Fiqh menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia, karena dengan fiqh ajaran Tuhan yang masih bersifat universal kemudian ditarik menjadi aturan yang sesuai dengan persoalan yang dihadapi masyarakat. Aturan hukum Islam yang mengatur tentang pertanahan pun banyak di produksi oleh para ulama klasik yang terhimpun dalam Madzahibul ‘Arba’ah (madzhab yang empat), yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Melalui metode yang diterapkan masing-masing, ulama tersebut memproduksi hukum Islam terkait pertanahan.
Al-qur’an yang menjadi sumber utama rujukan Islam menyebutkan, beberapa ayat yang menjadi epistimologi fiqh pertanahan, di antaranya Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 284 yang menyebutkan “kepunyaan Allah segala apa yang ada di langit dan di bumi”. Juga ayat ke 10 dari surat Ar-Rahman :“ Dan Allah telah membentangkan bumi untuk kehidupan makhluk-Nya”
Selain Al-Qur’an, rujukan Al-Hadits sebagai ucapan Nabi juga menyebutkan beberapa hal terkait tanah, di antara hadits tersebut adalah : “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut adalah miliknya”.
Melalui beberapa rujukan di atas, para ulama Imam Madzhab menetapkan hukum dengan caranya masing-masing, Hanafi yang tampil paling tua di antara Imam madzhab yang lain, dengan metode penetapan hukumnya, menetapkan bahwa Tanah yang dihidupkan oleh manusia maka ia berhak memilikinya. Namun Maliki, imam madzhab yang datang kemudian berpendapat berbeda. Ia menetapkan bahwa tanah yang ada di dalam suatu Negara yang sah, maka menjadi hak pemerintah untuk mengaturnya.
Syafi’I tampil sebagai murid Maliki memiliki pendapat yang hampir sama mengenai hukum tanah. Menurutnya, tanah memang miliki Tuhan untuk manusia, namun Tuhan sendiri menempatkan wakilnya di bumi melalui institusi Negara (khalifah), jadi pengelolaan tanah harus melalui Negara sebagai pengatur yang sah. Namun berbeda dengan pendapat Imam madzhab yang terakhir, yakni Hambali, meskipun ia belajar kepada Syafi’I namun hambali nampaknya cenderung memiliki kesamaan pendapat dengan Hanafi yang menyebutkan bahwa tanah mati yang telah dihidupkan seseorang, maka ia berhak untuk memilikinya.
Kita mewajarkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara Imam Madzhab, karena ruang dan waktunya berbeda sehingga memunculkan perbedaan pula dalam penetapan hukumnya. Inilah yang menjadikan Islam sebagai agama yang mampu beradaptasi dalam ruang dan waktu (shaalih likulli zaman wa makan).
Dalam konteks ke Indonesiaan, penggalian hukum Islam atas pertanahan yang memiliki potensi besar memunculkan konflik, harus segera terlaksana. Agar konflik yang ada dapat diminimalisir. Hal inilah yang menjadi tugas para Intelektual Muslim, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H