Menarik membahas persoalan Ormas yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 pengganti UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas prosedur dikeluarkannya Perppu tersebut. Tetapi hanya ingin mengomentari logika yang dibangun oleh Juru bicara ormas HTI Ismail Yusanto dalam acara diskusi di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta pada tanggal 18 Juli 2017.
Awalnya kawan saya tidak sengaja mengganti stasiun televisi, namun saya dan kawan saya tertarik juga dengan tema diskusi dari stasiun televisi tersebut, akhirnya kami menonton. Karena temanya adalah sekitar Perppu No. 2 tahun 2017 kami menunggu beberapa pendapat yang disampaikan oleh pakar hukum dan tata negara, juga tentunya logical frameworkyang disampaikan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan dikeluarkannya Perppu tersebut, dalam hal ini adalah organisasi HTI.
Melalui juru bicaranya, HTI menegaskan menolak sikap pemerintah yang menyatakan membubarkan HTI dikarenakan telah memenuhi tiga alasan, yaitu: pertamaHTI diaggap sebagai organisasi yang keberadaannya tidak banyak meberikan kontribusi positif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam penolakanya Ismail menyatakan bahwa anggapan tersebut keliru, karena HTI telah banyak memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa, melalui dakwah yang dilakukan HTI telah banyak mengajarkan Islam terhadap pelajar, mahasiswa, dan anak-anak sehingga mereka lebih mengenal Islam sebagai ajarannya. Atas dasar inilah Ismail menganggap bahwa tuduhan pemerintah tidak berdasar.
Menanggapi ini, menurut penulis kontribusi yang dimaksud pemerintah adalah kehadiran HTI dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan tatanan kehidupan bernegara. Sebagaimana kita tahu bahwa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah sangat besar, rakyat harus mengorbankan banyak hal. Pasca kemerdekaan pun rakyat Indonesia tidak langsung menikmati hasil perjuangannya, tetapi mereka masih harus berjuang mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu menjamin kehidupan bersama dengan adil dan sejahtera, meskipun hal tersebut harus mengorbankan sesama anak bangsa. Hingga tercptalah satu kesepakatan bersama bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai Falsafah negaranya. Dalam hal ini HTI tidak hadir, dan tentunya tidak memiliki peran apapun.
Alasan kedua,dikatakan bahwa HTI bertentangan dengan Pancasala. HTI menolak anggapan ini karena paham yang bertentangan dengan Pancasila disebutkan dalam UU adalah paham Ateisme, Marxisme, Leninisme dan Komunisme.
Menurut penulis, justru Perppu ini sangat dibutuhkan lantaran definisi tentang paham yang bertentangan dengan pancasila dalam UU tersebut masih terlalu sempit. Tetapi Perppu ini berusaha mencegah gerakan atau paham lain yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena, tidak hanya paham di atas yang berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa tetapi juga gerakan-gerakan teror yang lahir dari paham radikal itu juga sangat berbahaya, dan hal itu sudah nyata terjadi. Dan HTI dengan kesadarannya menolak Pancasila sebagai falsafah negara menunjukkan bahwa mereka memaksakan kehendak terhadap yang lain, bahkan dianggap melawan negara sebagai konsensus bersama. Tafsir monolitik terhadap bentuk negara yang mereka tawarkan adalah wujud penegasian terhadap Pancasila.
Alasan ketiga,HTI dianggap menimbulkan benturan di tengah masyarakat. Menurut Ismail, dalam melakukan kegiatan dan dakwahnya HTI melakukannya dengan santun, damai, tertib dan melaksanakan sesuai dengan prosedur.
Menanggapi alasan ketiga ini Penulis menggunakan logika tuan rumah dan tamu. HTI ibarat tamu yang sedang berada dalam rumah besar Indonesia. Sebagai tamu HTI harusnya mengikuti tatakrama yang dianut dan dipegang oleh tuan rumah, bukan melalukan inovasi memaksakan gaya sendiri di dalam rumah orang lain. Tentu tidak terlalu tepat menganalogikan ini, karena bagaimanapun kader HTI adalah warga negara Indonesia yang keberadaannya dilindungi hukum. Tetapi soal falsafah bernegara, Indonesia sebagai tuan rumah berhak mengusir ideologi baru yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila. Jadi yang diusir adalah cara berfikirnya. Dan cara berfikir itu sudah melekat di dalam organisasi sebagai wadahnya.
Terakhir yang menjadi perhatian penulis adalah kesimpulan Ismail Yusanto tentang perjuangan HTI di Indonesia. Ia menyatakan kurang lebih bahwa, apa yang dilakukan oleh HTI mungkin akan terasa asing saat ini tetapi seiring berjalannya waktu hal itu akan diterima oleh masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan tentang gerakan memakai Jilbab di era 80-an. Pada saat itu pemakaian jilbab sangat dilarang oleh pemerintah, tetapi saat ini jilbab bisa dinikmati dan dirasakan manfaatnya. Analogi itu ia samakan dengan perjuangan HTI yang saat ini keberadaannya disangsikan melalui keputusan Pemerintah tentang pembubaran organisasinya.
Tanggapan penulis, dengan logika yang sama kita dapat membalikkan pernyataan tersebut, bagaimana jika yang kemudian dirasakan manfaatnya adalah keputusan pemerintah. Tentu logika semacam ini sangat mudah dimentahkan, karena ia mengandaikan sesuatu yang belum terjadi. Kedua, Ismail lupa bahwa perjuangan menggunakan jilbab itu adalah berangkat dari kesadaran bersama umat Islam dan diperjuangkan melalui jalur struktural-konstitusional dan juga jalur kultural melalui lembaga dan ormas yang selama ini menjadi jantung pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga pelaksanaannya tidak memaksakan secara sepihak dan hanya berakar dari satu sistem yang pemahamannya cenderung monolitik yakni "khilafah"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H