Mohon tunggu...
Muttaqin Khabibulloh
Muttaqin Khabibulloh Mohon Tunggu... -

Muttaqin Khabibulloh, S.Pd.I., M.Pd.I. adalah Dosen Strata Satu (S-1) Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Qomaruddin dan saat ini sedang menjabat sebagai Ketua LPPM di Lembaga yang sama. Di samping itu, penulis adalah aktivis sosial di Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) The Sunan Giri Foundation (SAGAF) Gresik yang concern di bidang Konsultan Pelayanan Publik, Riset dan Pemberdayaan Masyarakat. Selain itu, Penulis Juga merupakan Wakil Direktur Freedom Center For Research Consultant (FCRC) Gresik yang concern dibidang Riset dan terutama Survey. Penulis lahir di Gresik, 16 Pebruari 1989.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Strategi Berantas Pungutan Liar di Sekolah

20 Januari 2015   15:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_391956" align="aligncenter" width="400" caption="sumbernews.com"][/caption]

Terhitung sejak Sabtu, 03 Januari 2015 lalu kita digemparkan oleh pemberitaan media massa tentang kasus pungutan liar yang terjadi di SMAN 15 Surabaya. Kasus tersebut terjadi lantaran laporan wali murid yang bernama Mayor Siddiq kepada DPRD Surabaya bahwa dirinya diminta oleh Nanang selaku Wakasek SMAN 15 untuk membayar mutasi anaknya yang bernama E. Abrar Dharmawan dari SMAN 66 Jakarta ke SMAN 15 Surabaya sebesar 40 Juta.

Kejadian pungutan liar ini sungguh ironi, sebab sekolah sebagai penyelenggara pendidikan seharusnya dapat menyelenggarakan pendidikan dengan baik yang sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). Bukan malah melakukan hal-hal yang tidak selaras dan tidak searah dengan tujuan pendidikan ini. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan cita-cita besar bangsa Indonesia, maka perilaku dan praktik pungutan liar harus segera dihentikan.

Untuk itu, seyogyanya kita terlebih dahulu perlu memahami apa yang dimaksud dengan pungutan liar. Pungutan liar adalah perilaku yang berkenaan dengan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut.  Pugutan liar ini biasanya dilakukan dengan cara meminta sesuatu (uang) kepada seseorang atau lembaga atau perusahaan yang tidak sesuai dengan peraturan yang lazim.

Dalam konteks pendidikan kejadian pungutan liar ini biasanya dilakukan oleh guru, pegawai atau karyawan, pemimpin sekolah dan sebagainya. Mereka meminta sesuatu kepada anak didiknya untuk memberikan sesuatu yang dapat berupa uang dan lain sebagainya melalui berbagai bentuk pengutan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada seperti sumbangan masjid yang besarannya tidak biasa, biaya seragam, buku, dan sebagainya.

Pungutan liar di sekolah ini, menurut M. Jasin selaku Wakil Ketua Komsi Pemberantarasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu bentuk korupsi yang termasuk dalam kategori Gratifikasi (Skalanews, 03/08/2011). Korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan  menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/ masyarakat (Suwartojo, 1997).

Adapun Gratifikasi adalah Pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (UU No 20 Tahun 2001 Pasal 12B Ayat 1). Pemberian Gratifikasi ini dapat berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Perilaku korupsi di sekolah dalam bentuk apapun merupakan gejala yang tidak secara alamiah terjadi di sekolah, tetapi terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gejala ini terjadi di sekolah. Melihat kasus pungutan liar yang terjadi di SMAN 15 Surabaya, sesungguhnya ada pertanyaan yang terbesit. Apa latar belakang Nanang Selaku Wakasek melakukan pungutan liar?, bukankah upahnya sebagai Pegawai Negeri sudah cukup untuk menghidupi keluarganya?. Kasus pugutan liar ini menurut Syam (2000) disebabkan karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan hanya bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Lebih Jauh Wahyudi (2007) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan pelaku pendidikan di sekolah terdorong melakukan Korupsi karena: Sifat tamak individu, Moral yang kurang kuat menghadapi godaan, Gaya hidup konsumtif dan Tidak mau (malas) bekerja keras.

Dari beberapa faktor tersebut kiranya perilaku korupsi yang berupa pungutan liar ini perlu segera dihentikan, sebab kebiasaan perilaku korupsi di sekolah sangat berpotensi untuk memengaruhi mental, emosi dan perilaku anak didik di sekolah. Tentu saja kita tidak mau sekolah sebagai tempat mencari ilmu menjadi tempat reproduksi calon-calon koruptor baru. Untuk itu perlu beberapa strategi yang segera diimplementasikan untuk menghentikan perilaku pungutan liar di sekolah, antara lain: Pertama, Sekolah secara kreatif mencari sumber-sumber dana yang lain selain orangtua anak didik untuk pembiayaan sekolah, misalnya dengan bekerjasama dengan pihak industri dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sebagai komoditinya; Kedua, Memaksimalkan komite sekolah untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja dan penggunaan anggaran yang diminta oleh pihak sekolah kepada orang tua anak didik, sebagai bentuk transparansi. Di samping itu anggota komite sekolah diisi dari berbagai kalangan –seperti akademisi, profesional, pegiat sosial, kepolisian dan lain sebagainya- dan bukan hanya diisi oleh orang tua yang berasal dari strata ekonomi menengah ke atas; Ketiga, Menerapkan Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah. Dengan diterapkannya pendidikan anti korupsi di sekolah dapat mendorong anak didik untuk mengerti, memahami dan merasakan mengenai seluk-beluk korupsi, sehingga secara tidak langsung anak didik dapat mengawasi dan memantau perilaku para pelaku pendidikan di sekolahnya masing-masing agar perilaku pungutan liar atau korupsi tidak terjadi bahkan menjadi budaya; Keempat, Menanamkan budaya kerja kepada semua pegawai negeri khusunya penyelenggara pendidikan dengan mengedepankan norma-norma dalam pemahaman terhadap makna bekerja, sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan, sikap terhadap lingkungan pekerjaan, sikap terhadap waktu, sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja, etos kerja, dan perilaku saat bekerja atau mengambil keputusan; Kelima, Orang tua harus menanamkan rasa tanggung jawab dan jiwa kritis kepada anak agar apabila di sekolahnya terjadi pungutan liar atau korupsi, anak berani untuk tidak turut serta mendukung tindakan tersebut dan menyelesaikan tanggung jawabnya sesuai dengan aturan tanpa melakukan tindakan yang berpotensi menyogok gurunya; Keenam, Mendorong sekolah untuk membuat pakta integritas yang ditandatangani secara bersama oleh guru, karyawan, pimpinan sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, masyarakat dan dinas pendidikan yang bermuatan ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan; dan Ketujuh, Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk berkomitmen dalam pemberantasan pungutan liar. Salah satunya adalah pemerataan fasilitas sekolah, tunjangan yang layak bagi para guru atau pengajar, sistem pembelajaran yang baik diharapkan mampu memberantas pungutan liar di sekolah.

Melalui strategi-strategi ini, semoga perilaku pungutan liar atau korupsi dapat segera diberantas. Sehingga semua masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan oleh sekolah dengan menempatkan hak yang sama untuk menjadi insan mulia yang cerdas, beradab dan bermoral serta bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun