"Berarti kami masyarakat Indonesia ini hanya merdeka dari penjajahan bangsa luar, tapi di balik itu dijajah oleh pemerintahannya sendiri," ucap salah satu warga Pulau Kabaena.Â
Bukit tinggi gagah terjulang, hutan lebat lebar terbentang, laut biru luas terhampar. Pemandangan elok tiada dua ini dapat kalian temukan di Pulau Kabaena.  Terletak di Sulawesi Utara, pulau ini berbatasan dengan  Selat Kabaena, Laut Flores, Selat Muna, dan Teluk Bone.Â
Pulau Kabaena memiliki pemandangan alam yang memesona, pun menyimpan sumber daya yang kaya. Sayang beribu sayang, kandungan bumi pulau ini dieksploitasi habis-habisan oleh berbagai perusahaan tambang yang buas. Luas pulaunya yang hanya 837 Km
Jika ingin melaksanakan aktivitas pertambangan, haruslah diikuti dengan regulasi bijak. Tambang mesti bertanggung jawab, tidak menyakiti alam dan para penghuninya. Sayangnya, penduduk Pulau Kabaena tidak mendapatkan perlakuan selayaknya.Â
Kegiatan pertambangan di atas bukit membuat resapan air di tanah sulit. Ketika hujan berintensitas tinggi terjadi, air mengalir dari bukit dengan membawa lumpur. Lumpur pun mengendap, sulit diangkat. Sumber air warga berubah keruh, coklat pekat. Pun terjadi banjir di pemukiman warga. Tragedi ini telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.Â
Dengan mata pencaharian penduduk Pulau Kabaena yang mayoritas nelayan, air keruh adalah sebuah bencana. Ikan semakin menipis di lautan. Pun para pencari dan pembudi daya rumput laut dalam nestapa. Rumput laut menjadi sulit untuk subur sebab airnya tidak kondusif. Mencari uang semakin susah, piring akhrinya diisi apa adanya.
Tidak sampai mempersempit mata pencaharian saja, air keruh menyebabkan gatal-gatal yang menambah kesengsaraan warga. Berdasarkan hasil laboratorium dari air dekat pemukiman, terkandung nikel hampir 3 miligram per liter. Baku mutu kandungan nikel di air yang belum dikategorikan tercemar adalah 0,05 miligram per liter. Air di pemukiman Pulau Kabaena jauh dari standar aman dan sehat. Gatal-gatal yang dialami warga tidak kunjung membaik, digaruk terus berujung luka. Kasus penyakit kulit menyentuh angka ratusan di berbagai titik Pulau Kabaena.Â
Perusahaan-perusahaan yang menggali bumi Kabaena seperti tidak ada inisiatif untuk memperbaiki kesalahannya. Tidak ada pergerakan untuk mengatasi perkara air kecoklatan, tidak ada memberi obat-obatan, tidak ada kompensasi dan ganti rugi untuk memperbaiki kesalahan. Warga Pulau Kabaena ditempa sengsara habis-habisan.
Tentu, fenomena serupa tidak terjadi hanya di Pulau Kabaena saja. Tidak sedikit pulau-pulau kecil di Indonesia yang alamnya dijarah dengan rakusnya dan menjauhkan penduduknya dari kesejahteraan. Undang-undang perihal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dianggap cuma-cuma. Padahal, tertulis bahwa pulau kecil diprioritaskan untuk kepentingan konservasi. Namun, sepertinya uang lebih utama dibandingkan alam yang makin terluka.
Keadaan memilukan penduduk pulau kecil ini tidak boleh sampai menjadi situasi yang dinormalisasi. Mereka semua adalah manusia. Mereka semua terlahir dengan memegang hak asasi. Mereka semua berhak untuk hidup sehat dan nyaman. Mereka semua pantas untuk hidup jauh dari bayang-bayang kesusahan.Â