Mohon tunggu...
Kez Sakral
Kez Sakral Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

kata-kata adalah senjata, jika mengandung kebenaran!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktu Itu, Bisu

2 April 2014   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:11 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari-hari masih berjalan seperti biasanya, silih berganti, bertalu-talu seperti ketukan genderang yang membuat para pedangdut asyik menari mengikuti iramanya. Namun tidak untuk dirinya yang bukan penggemar  musik dangdut. Baginya, setiap waktu yang berjalan adalah ruang hampa nan kosong yang siap diisi oleh apapun, dengan apapun. Kadangkala terlihat seperti seorang raja tiranik yang teramatlah serakah, sewenang-wenangan merampas segala harta dan kehormatannya. Kadang-kadang seperti algojo penjara yang tengah mengeksekusi residivis yang hanya mampu pasrah dengan kesalahannya. Ketika sedang menunggu, ia berjalan begitu lambatnya persis seperti keong yang merayap di pematang-pematang sawah. Tatkala usaha menundanya, ia bagai secepat kilat yang menyambar melebihi mata yang berkejap-kejap. Itupula yang ia rasakan, betapa waktu tidak pernah perdulikan dirinya. Ia merasa teraniaya oleh waktu, merasa tak berpihak pada dirinya.

Lalu, ia protes dalam hatinya yang lirih sedikit bertanya: kenapa begitu kejamnya engkau, wahai sang waktu memperlakukan diriku? Tidak dapatkah engkau mengerti kan daku?

Dipojok ruangan yang udaranya agak panas pada siang itu, ia memeluk dirinya dalam kesendirian. Tiada khendak beranjak sejengkalpun semenjak beberapa jam yang lalu. Kipas angin yang berputar terlihat seperti meledek-ledek dirinya yang kegerahan. Buliran-buliran keringat yang menyembul kecil-kecil dikeningnya, seakan-akan turut membantu mengusir kegamangan hatinya. Buku-buku yang ia baca semalaman suntuk, hingga keesokan paginya kembali, terserak, bergeletakan disekitar duduknya, saling tumpang tindih dengan macam-macam jenis barang lainnya – adalah pensil, penggaris, bantal, selimut, asbak rokok, gelas-gelas bekas kopi, kabel-kabel carger yang menjulur-julur, dan semua yang ada didekatnya – serasa seperti tertawa-tawa. Semakin membuat dirinya merasa tersudut oleh keadaan yang sediakala memang duduknya dipojok ruangan. Sedang terdengar dari jauh bunyian yang menguing-uing, entah ambulance, entah mobil patroli, entah gerombolan kampanye partai yang terpaksa dialihkan di jalanan mungkin lantaran tidak kedapatan tempat lagi, berkejar-kejaran terus menjauh hingga tak terngiang lagi ditelinganya.

Namun Ia masih tetap dalam bisunya, seolah memberontak, menuntut keadilan pada sang waktu. Termangu dan semakin ia eratkan tangannya memeluk kakinya yang ia lekukkan, kian membuat dirinya menjadi kaku. Kepalanya ia sandarkan dengan dagu persis diatas lututnya, seraya wajah terpasang begitu sayu kemayu. Hati dan pikirannya bergejolak diam-diam. Ia sesungguhnya hanya ingin mendengar jawaban dari sang waktu. Inginkan sang waktu sendiri menjelaskan pada dirinya, kenapa sampai ia diperlakukan seperti itu. Ia pejamkan matanya pelan-pelan sangat dalam, tapi tak sampailah terlelap. Berkali-kali. Seraya masih mengharap-harap waktu bisa berbicara langsung pada dirinya.

“Apakah kehidupan ini memang adalah waktu?” sesekali ia bertanya begitu entah kepada siapa, kecuali kepada dirinya sendiri cuma. Teman-temannya yang semalam bersama dengannya, sudah sibuk dengan urusannya masing-masing sejak pagi-pagi buta tadi. Hingga ia memang benar-benar sendirian yang tertinggal tak tahu khendak melakukan apa.

“Andaikan aku bisa menghentikanmu wahai sang waktu, apakah kehidupan akan menjadi berhenti pula?” tanyanya kembali setelah jeda beberapa saat kemudian. Begitu seterusnya. Pertanyaan demi pertanyaan timbul tenggelam bermunculan meski tak mendapatkan jawaban. Harapannya akan dijawab oleh sang waktu sendiri, masih terjaga dalam hatinya. Ia teramatlah yakinnya merasa mungkin, kalau sang waktu akan berbicara sendiri kepada dirinya nantinya. Ia masih terpikir oleh ungkapan-ungkapan kebanyakan orang: waktu akan pasti menjawabnya. Lagipula ia hanya ingin melihat sendiri bagaimana waktu akan berbicara langsung kepada dirinya, seperti kepada orang yang membuatnya sampai berkata-kata itu.

“Dapatkah engkau berbicara padaku, wahai sang waktu?” ia pasang telinganya berharap kalau-kalau ada suara yang memberikan jawaban. Namun yang ia tangkap hanyalah hembusan angin yang membikin ribut dedaunan pisang dari balik jendela ruangannya. Ia tak kecewa.  “Barangkali kalah bunyi dengan suara angin” pikirnya memaklumi.

“Kalau begitu, dapatkah engkau memberikanku jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul didalam hatiku, wahai sang waktu?” ia pasang telinganya lagi, seraya menyorot dengan bantuan tapak tangannya kalau-kalau ada suara yang ia rasa jawabannya berasal dari sang waktu. Malah ia mendengar lonceng penjual kopi yang biasanya berkeliling lewat didepan tempat tinggalnya. Bunyinya yang khas sudah sangat familiar ditelinganya. “Ah, kenapa tidak kunjung lewat tadi malam ya?” sesalnya dalam hatinya yang memang semalam menunggu-nunggu tukang jualan kopi hingga larut, tak ada yang lewat.

“Wahai sang waktu! ......Kenapa engkau hanya diam saja!” ia akhirnya berteriak dalam hatinya.

Dalam duduknya yang semakin pasrah tak kunjung mendapat jawaban dari sang waktu, pelan-pelan mulai serasa darah amarah didalam dadanya menyeruak panas, hingga serasa sebak dan sesak. Ia merasa kecewa karena keterputus – asaannya yang menemukan dirinya hanya berdialog sendirian. Kini ia benar-benar mendapatkan dirinya terjebak dalam jalan buntu pertanyaan demi pertanyaan yang ia susuri. Dirinya tak jua menemui jalan keluarnya. Tubuhnya semakin beku dalam duduknya yang seperti terpaku, tangannya seolah tak dapat lepas dari memangku kedua belah kakinya. Kepalanya pun tak dapat didongakkan sedikit saja, meskipun leher terasa sudah seperti mau patah. Ia hanya bisa pasrah. Membiarkan dirinya larut dalam denting jam dinding yang berdetik sangat teratur, namun tak sanggup mengimbangi detak jantungnya.

Bunyi kicauan burung Kutilang yang tengah bertengger didahan-dahan pepohonan seberang bangunan rumah, seakan memecah kesunyian. Jalan buntu yang ia temui, akhirnya seperti tercipta jalan-jalan baru setelah setengah mati dirinya tersandera oleh keinginan utopinya berdialog dengan sang waktu. Ia tekuni bunyi kicauannya yang semakin rame, pertanda ia tak sendirian disana. Sedang didepan matanya, tepat arah dinding ruangannya, seekor cecak sebesar jari telunjuk terlihat seperti tengah menguping tentang hatinya yang sedang menjerit-jerit. Tapi ia sesungguhnya sedang melakukan pekerjaannya, mengintai seekor nyamuk dengan gaya sangat awas, usahanya untuk dapat makan dan mempertahankan hidupnya. Dalam melakukan perburuan, perkiraannya mestilah akurat agar nyamuk tak pergi menjauh darinya. Sebab itu ia nampak sangat berhati-hati, pelan-pelan merayap mendekati mangsanya, lalu dengan lidahnya sebagai senjatanya melumpuhkan seekor nyamuk itu langsung didalam mulutnya dilahapnya. Terlihat  ekornya yang indah itu di goyang-goyangkan tanda senang, atau seakan melambai-lambai memanggil dirinya, ingin memperlihatkan betapa hidup mesti dijalankan seperti itu.

Ia tersentak dalam duduknya, bagai setengah sadar dan tak sadar menyaksikan seekor cecak tepat didepannya. Sudah berjam-jam lamanya ia hanya terpojok dan tersudut sendiri oleh keadaan sekitarnya. Mempertanyakan dengan tidak, akan sama saja halnya. Ia tetap tak perduli dan terus berlalu. Rupanya memang waktu yang ia pertanyakan itu tetap membisu tak pernah memberikan jawabannya.

Iapun tersenyum-senyum. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun