Belanda merupakan salah satu negara yang dikenal dengan kebebasannya. Legalisasi kebijakan seperti soft drugs, aborsi, prostitusi dan perkawinan sejenis yang dikembangkan mempengaruhi dinamika kehidupan bermasyarakat. Sehingga, bagaimana legalisasi di Belanda ini mempengaruhi aspek kehidupan bermasyarakat? Apakah membawa keberhasilan atau memunculkan tantangan baru? Artikel ini akan mengupas lebih dalam kehidupan masyarakat terhadap legalisasi kebijakan di negeri kincir angin ini.
1. Soft Drugs
Tahun 1976, kebijakan gedoogbeleid berupaya melegalkan penggunaan soft drugs dengan tujuan mengatasi kriminalitas, menjaga ketertiban dan melindungi kesehatan individu maupun masyarakat. Gedoogbeleid memunculkan ratusan "coffee shops" di Amsterdam. Legalisasi soft drugs memberikan pengaruh terhadap dinamika masyarakat. Kebijakan ini membuat masyarakat dapat menentukan sendiri risiko penggunaan narkoba. Tidak hanya itu, pelaku kriminal berkurang karena tidak adanya penghasilan dari produksi dan perdagangan. Legalisasi juga mencegah masuknya uang gelap yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Hasil pajak dari coffee shops diinvestasikan untuk pencegahan dan pengobatan bagi pecandu narkoba. Kebijakan ini tidak meningkatkan konsumsi narkoba, melainkan mengurangi terjadinya penyakit, menghemat banyak uang dan mengurangi stigma sosial. Keberhasilan terlihat dalam perbandingan dengan negara Eropa lainnya, warga Belanda yang menggunakan ganja relatif sedikit, yaitu 19 orang penangkapan kepemilikan ganja di Belanda.
2. Aborsi
Tahun 1965 hingga 1981 menjadi proses bersejarah aksi feminisme memperjuangkan aborsi, seperti kemunculan keluarga berencana dan klinik aborsi pertama tahun 1971. Pada 1 November 1984, aborsi disahkan sepenuhnya di Belanda, dengan syarat dilakukan oleh rumah sakit/klinik aborsi khusus dan kondisi darurat wanita hamil. Kebijakan ini memberi reaksi positif bagi Belanda. Jumlah yang stabil sekitar 8,6% per 1.000 wanita berusia 15 hingga 45 tahun di Belanda menunjukkan Belanda menjadi salah satu negara dengan tingkat aborsi terendah di dunia. Kebijakan aborsi juga semakin meningkatkan akses terhadap aborsi dan memberikan hak wanita menentukan nasibnya sendiri. Sehingga pencapaian kesetaraan gender semakin tercapai. Tetapi, akses aborsi juga memberikan tekanan bagi para perempuan di Belanda, ketika wanita memasuki klinik aborsi dan mengalami intimidasi/ketidaknyamanan dari para demonstran anti-aborsi.
3. Prostitusi
1 Oktober 2000, Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan prostitusi. Pemerintah Belanda menerapkan sistem perizinan, pajak, pemeriksaan rumah bordil dan memperbaiki kondisi pekerja seks bagi perempuan. Legalisasi prostitusi di Belanda memberikan dampak positif yang meningkatkan kesetaraan pekerja seks perempuan. Organisasi PG292 (Prostitution and Health Center), menjadi layanan kesehatan dan kemudahan akses pekerja mendapat bantuan menyelesaikan berbagai permasalahan keuangan maupun psikologis. Tetapi, krisis ekonomi begitu menyulitkan pekerja seks dengan biaya sewa yang tinggi ditambah pajak yang tidak cukup bagi rata-rata penghasilan mereka dalam sehari. Dalam situasi kini, para pekerja seks masih mengalami stigmatisasi sosial. Sebagian masyarakat belum dapat menerima prostitusi walaupun secara hukum diterima sebagai pekerjaan normal. Opini publik menimbulkan masalah sosial yang tidak mampu memberikan keadilan bagi pekerja seks dengan berbagai penindasan dibandingkan pemberdayaan pekerja.Â
Belanda juga menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan pernikahan sesama jenis di tahun 2001, termasuk hak adopsi dan hak asuh bersama. Berdasarkan Dutch Central Bureau of Statistics, terdapat 18.000 pernikahan sesama jenis, 53% diantaranya adalah sepasang wanita dan setiap tahunnya 400 pernikahan sesama jenis berakhir. Kebijakan legalisasi pernikahan sesama jenis menimbulkan pengaruh dinamika masyarakat yang meningkatkan toleransi masyarakat terhadap hubungan sesama jenis dibandingkan di negara Eropa lainnya. Mayoritas publik mendukung hak setara bagi pasangan sesama jenis untuk dapat menikah. Persentase masyarakat anti-homoseksualitas telah menurun seiring berkembangnya zaman. Penerimaan yang hangat terhadap pasangan sesama jenis yang telah menikah dan adanya perjuangan hak-hak LGBTQ. Tetapi, tidak menutup kemungkinan masih banyak masyarakat yang belum menerima hingga melakukan diskriminasi yang berdampak pada kesehatan mental kaum minoritas seksual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI