Mohon tunggu...
Kezia Siregar
Kezia Siregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Penulis Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Konsumsi Konten Relate? Koneksi atau Kecelakaan Mental?

6 Januari 2025   18:25 Diperbarui: 6 Januari 2025   18:21 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Gapapa malas-malasan, toh satu dunia melakukan hal yang sama!"

Berdasarkan data dari Global Digital Insights, ada 5,04 miliar pengguna media sosial pada awal tahun 2024, yang setara dengan 62,3 persen dari total populasi dunia. Pengguna media sosial telah tumbuh sebesar 5,6 persen selama setahun terakhir, dengan 266 juta pengguna baru pada tahun 2023 yang setara dengan peningkatan rata-rata 8,4 pengguna baru setiap detik. Postingan di media sosial juga dapat mencapai jutaan likes dengan ribuan komentar pro maupun kontra. Banyak postingan yang berisi konten bermanfaat tetapi konten yang 'menjebak' juga cenderung memiliki banyak peminat.

Salah satu konten yang nge-trend saat ini adalah konten relate yang berisi tentang kehidupan yang berhubungan dengan orang-orang di balik akun media sosial. Contohnya adalah sebuah postingan yang menggambarkan seseorang yang sedang rebahan di tempat tidur dengan sampah makanan yang berserakan dan sebuah laptop yang menampilkan sebuah film. Postingan seperti ini dapat mencapai jutaan likes dengan komentar yang berisi pengalaman sama. Hal ini dapat menggantikan rasa bersalah yang sempat hinggap dalam diri seseorang ketika tidak memanfaatkan hari dengan baik dengan rasa tenang akan stigma "jutaan orang juga sama sepertiku" sehingga perlahan hal ini menjadi sebuah kebiasaan buruk dan mempengaruhi kesehatan mental. Mereka merasa memiliki teman dan koneksi yang banyak karena memiliki kebiasaan yang sama tanpa mempedulikan kerugian yang diakibatkan.

Tidak hanya tentang malas-malasan, tetapi juga tentang hal yang lebih nekat yaitu melakukan self-harm, bunuh diri, dan sebagainya.

Ketika kita melihat sebuah postingan di media sosial yang relate dengan pengalaman kita, kita merasa dipahami. Ini bisa menciptakan rasa kenyamanan, karena kita tahu bahwa kita tidak sendirian. Perasaan ini bisa membuat kita merasa lebih dekat dengan orang lain, meski secara fisik kita terpisah jauh. Media sosial, dengan kemampuan untuk menampilkan berbagai sudut pandang dan pengalaman hidup, menciptakan ilusi bahwa kita berada dalam komunitas yang sama, berbagi cerita yang sama, dan bahkan memiliki pemikiran yang sama.

Fenomena ini sangat kuat, karena otak manusia cenderung mencari pola dan hubungan untuk mengurangi rasa kesepian. Ketika kita melihat konten yang menyentuh atau mengonfirmasi perasaan kita, otak kita melepaskan dopamin -- hormon kebahagiaan yang juga dilepaskan saat kita makan atau mencapai tujuan. Namun, apakah perasaan ini benar-benar membawa kita lebih dekat dengan kebahagiaan dan pemahaman diri?

Banyak orang merasa "relate" dengan postingan yang menggambarkan perjuangan atau kesulitan emosional, tetapi kenyataannya, media sosial tidak memberikan ruang bagi nuansa kehidupan sehari-hari. Apa yang sering terlihat adalah hanya fragmen-fragmen yang kita pilih untuk tunjukkan -- yang kadang-kadang lebih berfokus pada drama atau aspek dramatis dari kehidupan. Akibatnya, kita cenderung membandingkan diri kita dengan citra yang disusun dengan hati-hati, tanpa melihat gambaran utuh.

Kecelakaan mental ini sering kali muncul dalam bentuk perasaan cemas, stres, atau bahkan depresi. Ketika kita terus-menerus terpapar pada konten yang "relate" dengan perasaan kita tetapi tidak memberi kita solusi nyata atau pemahaman lebih dalam, kita justru semakin terjebak dalam lingkaran perasaan yang tidak berujung. Perasaan "terhubung" ini bisa membuat kita merasa lebih buruk, bukan lebih baik.

Kita tidak mengerti algoritma dari media sosial. Namun, kita bisa mengontrol diri kita sendiri. Mengisi hari dengan hal yang bermanfaat dan membatasi penggunaan media sosial adalah permulaan yang baik untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk. Sulit, tetapi apa yang didapatkan di kemudian hari akan jauh lebih baik. Jika mempertahankan kebiasaan buruk, yang rugi adalah diri sendiri, sebaliknya, jika konsisten melakukan kebiasaan baik, manfaatnya adalah untuk diri sendiri. Pilihan ada pada diri masing-masing. Ingin senang tetapi merugikan atau kesulitan tetapi memberi manfaat?

Relate di media sosial memang bisa menawarkan kenyamanan dan rasa terhubung, namun kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi dan kecelakaan mental. Untuk menjaga keseimbangan, kita perlu lebih kritis terhadap konten yang kita konsumsi dan bagaimana hal itu memengaruhi kesehatan mental kita. Koneksi sejati tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga melalui hubungan yang lebih dalam dan nyata dengan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun