Mohon tunggu...
Kezia Irene Yosefa
Kezia Irene Yosefa Mohon Tunggu... -

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2013

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Permukiman Padat Penduduk di Surabaya

30 Desember 2014   02:03 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 5140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kepadatan penduduk adalah salah satu fenomena yang paling sering kita temui di kota-kota besar di Indonesia. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan tingginya arus urbanisasi menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya fenomena tersebut. Begitu juga yang terjadi di kota besar seperti Surabaya. Sebagai kota metropolitan kedua terbesar di Indonesia, data Badan Pusat Statistik Kota Surabaya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kepadatan penduduk setiap tahunnya di Kota Surabaya. Menurut data kependudukan tahun 1990, kepadatan penduduk di Surabaya tercatat sebesar 7.568 jiwa/km2. Nilai ini terus bertambah hingga berdasarkan data kependudukan tahun 2010, kepadatan penduduk di Surabaya tercatat sebesar 8.462 jiwa/km2. Dengan data tersebut, Kota Surabaya menduduki peringkat ke-13 berdasarkan jumlah nilai kepadatan penduduk dari 92 kota besar lainnya yang ada di Indonesia.

Kepadatan penduduk di Kota Surabaya mayoritas diakibatkan oleh tingginya tingkat urbanisasi di wilayah ini. Sebagai ibukota provinsi Jawa Timur, maka tak heran Kota Surabaya menjadi pusat seluruh kegiatan di Provinsi Jawa Timur. Akibatnya, banyak masyarakat yang melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan atau menimba ilmu sehingga tingkat kepadatan penduduk di Kota Surabaya terus meningkat setiap tahunnya.

Kepadatan penduduk yang terjadi tentunya tidak akan menimbulkan masalah apabila wilayah terkait dapat memenuhi kebutuhan dan permintaan yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Namun, pada kenyataannya, ketidaksiapan kota terutama dari segi infrastruktur yang ada membangkitkan banyak persoalan utama. Akibatnya, dengan kepadatan penduduk yang melebihi kapasitas, mengakomodir fenomena yaitu tidak meratanya penyediaan infrastruktur perkotaan dan permukiman penduduk.

Di Kota Surabaya, masalah kepadatan penduduk berdampak krusial terhadap penyediaan permukiman. Kebutuhan dan permintaan permukiman yang tinggi tidak didukung dengan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Akibatnya harga lahan di Kota Surabaya melambung tinggi akibat permintaan yang besar. Masyarakat akhirnya mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhannya dengan mendirikan permukiman di daerah pengembangan non permukiman seperti bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, sekitar pantai, tambak dan lain lain. Kawasan permukiman padat tersebut akhirnya berkembang menjadi kawasan permukiman tidak layak huni atau sering kita sebut sebagai permukiman kumuh. Di Kota Surabaya, permukiman kumuh ini bisa kita dapati di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi seperti Kecamatan Simokerto, Kecamatan Krembangan, Kecamatan Sawahan dan lain-lain.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan sulit terjangkaunya penyediaan sarana dan prasarana kota. Fenomena ini banyak didapati pada permukiman kumuh yang didirikan di lahan illegal, seperti bantaran sungai atau pinggiran kereta api. Infrastruktur yang paling banyak menjadi masalah adalah drainase serta sanitasi dan persampahan. Salah satunya terjadi di permukiman kumuh di kawasan Bulak Banteng. Akibat dari tingginya kepadatan penduduk di wilayah tersebut, kualitas permukiman serta daya dukung lingkungan menurun. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya kualitas air sumur dan sumber air lainnya. Selain itu terbatasnya ketersediaan air bersih juga menyebabkan penduduk sekitar terpaksa menggunakan air sungai untuk kegiatan MCK atau membeli air bersih di pedagang air eceran.

Uniknya, mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan permukiman kumuh ini adalah kaum pendatang yang berasal dari sekitar wilayah Surabaya. Bahkan menurut masyarakat sekitar, lingkungan di sekitar mereka mulai berubah menjadi kumuh setelah kedatangan para pendatang tersebut. Rata-rata pendatang ini melakukan urbanisasi ke Kota Surabaya dengan motif mencari lapangan pekerjaan. Namun, akibat penghasilan yang cenderung pas-pasan, para pendatang ini memilih untuk tinggal di lahan illegal dengan membangun rumah seadanya yang terkesan kumuh agar menghemat pembiayaan.

Pemerintah Kota Surabaya, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap permasalahan ini telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dan mengatasi permukiman padat penduduk. Salah satunya dengan menekan tingkat urbanisasi di Kota Surabaya. Upaya ini direalisasikan dengan bentuk sosialisasi yustisi untuk menjaring para penduduk pendatang di Surabaya yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Upaya perbaikan kualitas lingkungan akibat kepadatan penduduk juga dilakukan dengan menerapkan program Kampung Improvement Program (KIP) yang berupa program penataan lingkungan kampung agar menjadi lebih kondusif. Selain itu, rencana hunian vertikal / rumah susun juga menjadi salah satu solusi yang ditawarkan agar permukiman penduduk lebih tertata dan layak untuk dihuni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun