FOMO atau Fear of Missing Out merupakan sebuah perasaan cemas atau takut akibat ketinggalan sesuatu yang baru seperti berita, tren, dan hal lainnya. Fenomena ini merupakan sindrom yang membuat orang yakin bahwa setiap momen berharga orang lain tidak boleh ia lewatkan.Â
Istilah FOMO pertama kali dikemukakan pada tahun 2013 oleh seorang ilmuwan asal Inggris bernama Dr. Andrew K. Przybylski.
Menurutnya, terdapat tiga kebutuhan psikologi yang jika tidak terpenuhi, akan menimbulkan FOMO, yaitu, autonomy, competence, dan relatedness.
Media sosial termasuk salah satu pemicu terjadinya FOMO karena media sosial sendiri adalah sebuah tempat untuk ajang eksistensi, kemampuan, atau gaya hidup seseorang. Media sosial juga membuat kita lebih mudah menerima jutaan informasi dari luar.Â
Tiap interval 60 detik, 38.000 foto diunggah di Instagram, 347.000 cuitan di Twitter, 2.78 juta video dilihat di YouTube, dan 20 juta pesan terkirim di WhatsApp.Â
Sampai awal tahun 2021, terdapat 155.000 pengguna baru di media sosial. Belum lagi karena adanya pandemi yang mengharuskan kita untuk melakukan pekerjaan secara daring, membuat penggunaan media sosial meningkat dibandingkan sebelumnya.
Banyaknya ragam konten yang tersebar di media sosial, membuat seseorang ingin terus up to date dan tidak ingin ketinggalan informasi (relatedness).Â
Ada pula yang berkeinginan untuk tahu lebih dahulu atau lebih banyak dari orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan timbulnya FOMO.Â
Pengguna media sosial yang mengalami FOMO tidak akan bisa lepas dari media sosial dan terus mengecek jika ada informasi terbaru.
Selain itu, dalam memenuhi kebutuhan psikologi competence, seseorang cenderung berusaha memperbaiki citra atau profilnya sebaik mungkin di media sosial. Contohnya dengan menggunakan fitur mempercantik foto yang disediakan oleh Instagram. Kerap kali ada orang lain yang citranya lebih baik menimbulkan rasa iri dan cemas karena tidak bisa sebaik orang itu. Maka tak jarang, hal itu dapat menyebabkan seseorang mengalami tekanan dari mindset-nya sendiri.Â
Sejumlah penelitian juga telah menunjukkan bahwa pengguna media sosial dengan FOMO yang tinggi lebih mungkin untuk menderita depresi, insomnia, penggunaan media sosial secara kompulsif, kesulitan mengatur penggunaan ponsel, bahkan sampai gangguan makan serta penurunan kesehatan fisik dan mental. Inilah mengapa FOMO perlu diwaspadai oleh para pengguna media sosial. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:
- Menerima jika pada kenyataannya kamu telah tertinggal dan tidak ada yang bisa kamu lakukan tentang itu.
- Cobalah untuk sehari tanpa media sosial. Lakukan dalam beberapa kali dan rasakan manfaatnya. Steve Corona, mantan CTO TwitPic, pernah mencoba untuk tidak bermedia sosial selama satu bulan penuh. Ia menggantinya dengan kegiatan lain, seperti, membaca buku, menghabiskan waktu bersama teman-teman, bermeditasi, berlari tiga mil sehari, dan menulis buku. Setelah itu, Ia sudah bisa menentukan prioritasnya dan menghapus hal-hal yang tidak diperlukan di media sosial.
- Gunakan perangkat lunak yang membantu untuk membatasi diri dari sosial media. Ada beberapa perangkat lunak yang bisa kamu gunakan, contohnya Forest untuk iOS, Space untuk Android, RescueTime untuk Windows, dan SelfControl untuk Mac.
- Hapus aplikasi media sosial. Dengan menghapus media sosial, bukan berarti Kamu berhenti sepenuhnya dalam bermedia sosial. Kamu dapat mengunduh kembali aplikasi media sosial yang telah dihapus setelah beberapa waktu.